Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Kekuasaan sebagai Latar Belakang Konflik
31 Maret 2024 9:45 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Zhelita Nur Maharani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam konteks manajemen resolusi konflik, penting untuk memahami peran kekuasaan sebagai latar belakang yang mempengaruhi terjadinya konflik. Kekuasaan memiliki dampak yang signifikan dalam menciptakan, mempertahankan dan meredakan atau menyelesaikan konflik.
ADVERTISEMENT
Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita pahami dulu apa itu kekuasaan. Kekuasaan bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau situasi yang terjadi di sekitarnya. Kekuasaan dapat bersifat formal, seperti kekuasaan yang berasal dari posisi atau jabatan yang diemban, atau bersifat informal, seperti kekuasaan yang muncul dari keahlian atau pengaruh personal.
Machiavelli mengartikan kekuasaan sebagai sesuatu yang ingin dicapai. Sedangkan menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku individu atau kelompok lain sesuai dengan kehendak mereka dengan menggunakan kekuatan atau kapabilitas yang dimiliki.
Dalam konflik , kekuasaan bisa menjadi sumber masalah jika digunakan secara tidak adil atau mengeksploitasi. Misalnya, jika seorang atasan memanfaatkan kekuasaannya untuk memperlakukan bawahan secara tidak adil, maka konflik bisa muncul di antara mereka. Perbedaan signifikan dalam kekuasaan antara pihak yang terlibat dalam konflik juga bisa memicu masalah. Ketika salah satu pihak memiliki kekuasaan yang lebih besar, mereka cenderung mengabaikan kepentingan pihak lain dan menolak upaya penyelesaian yang adil. Hal ini dapat memperburuk konflik yang sedang berlangsung.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan yang keras dan kekuasaan yang lembut. Kekuasaan keras melibatkan penggunaan kekuatan fisik atau otoritas formal untuk mengendalikan orang lain. Contohnya, penggunaan militer atau kepolisian dalam politik untuk menindas oposisi atau mempertahankan rezim yang berkuasa.
Sementara itu, kekuasaan yang lembut melibatkan strategi persuasif dan pengaruh yang lebih halus. Contohnya, pemimpin yang mempengaruhi orang lain melalui kecerdasan emosional atau strategi diplomasi untuk mencapai tujuan politik tanpa kekerasan atau ancaman secara langsung.
Dalam manajemen konflik, pemahaman tentang kedua jenis kekuasaan ini sangat penting. Meskipun kekuasaan keras mungkin dibutuhkan dalam situasi tertentu, kekuasaan lembut seringkali lebih efektif dalam jangka panjang.
Kesimpulannya, peran kekuasaan dalam konflik sangatlah penting. Kekuasaan yang tidak adil atau tidak seimbang bisa menjadi latar belakang konflik, sementara pengelolaan kekuasaan yang bijaksana dapat membantu meredakan konflik dan mencapai solusi yang adil.
ADVERTISEMENT