Konten dari Pengguna

Denda Pajak bagi UMKM: Beban atau Dorongan untuk Kepatuhan?

ZIAN NUR IMAMAH FARID
Halo aku zizi! mahasiswa di Politeknik Keuangan Negara STAN
7 Februari 2025 20:38 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari ZIAN NUR IMAMAH FARID tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar ilustrasi pajak umkm dari freepik
zoom-in-whitePerbesar
gambar ilustrasi pajak umkm dari freepik
ADVERTISEMENT
Sebagai sektor penting yang mendukung stabilitas dan penggerak perekonomian Indonesia, jumlah UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) saat ini mencapai 64,2 juta dengan kontribusi terhadap PDB sebesar 61,07 persen atau senilai 8.573,89 triliun rupiah.
ADVERTISEMENT
UMKM menyerap sekitar 117 juta pekerja atau 97 persen dari total tenaga kerja yang ada. Namun, hal tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan pajaknya. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pemahaman terhadap aturan perpajakan, termasuk sanksi administratif akibat pelanggaran seperti keterlambatan pelaporan atau pembayaran pajak.
Permasalahan ini menjadi nyata ketika sanksi yang bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak, dinilai memberatkan pelaku UMKM yang sedang bangkit dari pandemi COVID-19.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), tingkat kepatuhan formal wajib pajak UMKM hanya mencapai sekitar 40% pada tahun 2023. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar relevan dan efektif, atau malah menjadi hambatan baru bagi keberlangsungan UMKM?
Penerapan sanksi administratif sering kali tidak mempertimbangkan kemampuan ekonomi UMKM. Sebagai contoh, Pada bulan September, tarif bunga per bulan untuk sanksi administratif berkisar antara 0,56 persen hingga 2,23 persen. Sedangkan untuk periode Oktober, tarif bunga berkisar antara 0,55 persen hingga 2,21 persen.
ADVERTISEMENT
Tarif sanksi ini mungkin terasa kecil untuk perusahaan besar, tetapi bagi pelaku UMKM dengan omzet terbatas, jumlah tersebut dapat mengganggu arus kas.
Selain itu, kelalaian administratif seperti keterlambatan pelaporan SPT Masa PPh dikenai denda Rp100.000 dapat menjadi beban tambahan jika terjadi berulang kali. Padahal, sering kali masalah tersebut disebabkan kurangnya informasi teknis dan minimnya akses pelaku UMKM terhadap layanan perpajakan yang memadai.
Untuk memahami lebih jauh, dasar hukum penerapan sanksi administratif ini diatur dalam sejumlah peraturan perpajakan yang menjadi acuan, di antaranya:
1. UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP): Mengatur perubahan kebijakan pajak untuk meningkatkan kepatuhan.
2. Pasal 7 UU KUP: Mengatur denda atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), yang dapat mencapai Rp100.000 untuk PPh dan Rp500.000 untuk PPN.
ADVERTISEMENT
3. Pasal 9 ayat (2a) UU KUP: Denda keterlambatan pembayaran pajak sebesar tarif yang ditetapkan oleh menteri keuangan dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
Dampak Penerapan Sanksi Administratif terhadap UMKM
Dalam studi yang dilakukan oleh OECD (2021) mengenai kepatuhan pajak usaha kecil, ditemukan bahwa kebijakan pajak yang terlalu kaku justru dapat meningkatkan ketidakpatuhan karena menambah beban administratif bagi pelaku usaha.
Sebagian besar UMKM menghadapi keterbatasan dalam memahami kewajiban perpajakan mereka, terutama karena kurangnya sosialisasi dan akses terhadap layanan perpajakan yang memadai (International Monetary Fund, 2022).
Lebih lanjut, penelitian oleh Kusuma & Rahayu (2023) dalam Journal of Taxation and Policy menunjukkan bahwa UMKM yang mendapatkan pendampingan pajak cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hanya menerima sanksi tanpa edukasi tambahan. Hal ini menunjukkan bahwa solusi terbaik bukan hanya pemberian sanksi, tetapi juga peningkatan literasi perpajakan.
ADVERTISEMENT
Dengan mempertimbangkan temuan-temuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendekatan yang lebih seimbang dalam kebijakan perpajakan bagi UMKM sangat diperlukan. Pendekatan yang hanya berfokus pada penegakan hukum melalui sanksi tanpa diiringi edukasi justru dapat meningkatkan ketidakpatuhan akibat kurangnya pemahaman.
Oleh karena itu, kebijakan perpajakan yang lebih fleksibel, disertai dengan peningkatan akses terhadap layanan perpajakan dan program pendampingan yang berkelanjutan, akan lebih efektif dalam mendorong kepatuhan pajak.
Dengan demikian, pemerintah tidak hanya menegakkan aturan, tetapi juga menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan UMKM sekaligus meningkatkan kontribusi mereka terhadap penerimaan negara.
Solusi yang Dapat Dipertimbangkan
Penerapan sanksi administratif seharusnya disesuaikan dengan karakteristik wajib pajak, terlebih wajib pajak yang rentan terhadap perubahan seperti pelaku UMKM. Solusi yang dapat dipertimbangkan antara lain:
ADVERTISEMENT
1. Memberikan dispensasi atau pengurangan denda bagi UMKM yang terdampak pandemi atau bencana alam, sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara seperti Malaysia dan Singapura (World Bank, 2023).
2. Meningkatkan sosialisasi aturan perpajakan melalui pelatihan gratis, pendampingan intensif, dan penggunaan media digital untuk mempermudah akses informasi bagi UMKM.
3. Meningkatkan layanan berbasis daring seperti coretax dan PSIAP agar UMKM lebih mudah dalam melaporkan dan membayar pajak.
4. Mengadakan evaluasi kebijakan perpajakan secara berkala untuk menyesuaikan besaran sanksi dengan kemampuan ekonomi wajib pajak serta mempertimbangkan model insentif kepatuhan seperti yang diterapkan di Australia dan Kanada (OECD, 2022).
Dengan memperkuat edukasi dan pendampingan bagi UMKM serta melakukan evaluasi kebijakan secara berkala, diharapkan UMKM dapat lebih berperan dalam perekonomian nasional sekaligus meningkatkan tingkat kepatuhan perpajakan mereka. Oleh karena itu, solusi yang lebih adaptif dan berbasis insentif perlu dipertimbangkan agar sistem perpajakan lebih inklusif dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT