Konten dari Pengguna

Dialektika Kepemimpinan Baru di Indonesia

Zideananda Kristalova
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
31 Desember 2024 17:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zideananda Kristalova tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1.1. Sumber: DALL-E AI Generated Image
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1.1. Sumber: DALL-E AI Generated Image
ADVERTISEMENT
Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka kini berdiri berdampingan di puncak politik Indonesia, membentuk pertemuan antara dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, Prabowo adalah representasi dari kekuatan otoritas yang teguh, sosok yang telah melalui ujian waktu dan pengalaman yang panjang. Sementara Gibran adalah simbol kebaruan, pembawa semangat perubahan yang dinamis dan fleksibel. Namun, pertemuan mereka lebih dari sekadar simbol persatuan. Ini adalah konflik dialektika yang menggabungkan dua kutub kepemimpinan yang tampak bertentangan.
ADVERTISEMENT
Sebagai seorang militer dan tokoh politik senior, Prabowo membawa otoritas yang kuat, yang terbentuk dari pengalaman panjangnya dalam militer dan politik. Gibran, di sisi lain, adalah wajah baru yang muncul di tengah perubahan zaman, melambangkan semangat generasi muda yang lebih terbuka terhadap teknologi dan perubahan sosial. Dalam berbagai kesempatan, perbedaan antara mereka terlihat jelas. Prabowo adalah simbol stabilitas, mengedepankan pendekatan yang sering kali konservatif, sedangkan Gibran lebih cenderung pada inovasi dan fleksibilitas dalam menghadapi tantangan zaman. Namun, dialektika antara keduanya (pertemuan antara tradisi dan inovasi) merupakan titik kritis bagi masa depan Indonesia.

Pertarungan antara Tradisi dan Inovasi

Prabowo, dengan latar belakangnya yang sarat dengan pengalaman militer dan politik, memancarkan karisma yang terbangun melalui otoritas yang tradisional dan kuat. Ia adalah pemimpin yang menekankan pentingnya keteguhan dan stabilitas dalam menghadapi perubahan. Sebaliknya, Gibran mewakili otoritas yang lebih fleksibel dan bersifat rasional, terbuka terhadap perkembangan zaman dan teknologi. Keberadaannya sebagai figur muda dalam politik membawa perspektif baru yang diperlukan untuk menjawab tantangan yang dihadapi bangsa.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam dunia yang serba cepat ini, masyarakat Indonesia mencari lebih dari sekadar stabilitas. Mereka juga mendambakan pembaruan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Di sini, Gibran memiliki peran penting. Kepemimpinannya yang lebih progresif mengedepankan pembaruan dan inklusivitas, menawarkan angin segar dalam sistem yang kadang stagnan. Di sisi lain, Prabowo dengan pengalaman dan kepemimpinan yang sudah teruji menyoroti pentingnya landasan yang kokoh, agar perubahan dapat berlangsung dengan tetap menjaga keseimbangan.

Bayang-bayang Keadilan dan Pluralitas

Prinsip ini sangat relevan di Indonesia, negara dengan masyarakat yang plural, yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan budaya. Tuntutan terhadap kepemimpinan yang adil dan merata menjadi penting, di mana setiap kelompok, baik yang dominan maupun minoritas, merasa dihargai.
ADVERTISEMENT
Tantangan besar bagi kepemimpinan Prabowo dan Gibran adalah bagaimana mereka dapat merangkul keberagaman Indonesia tanpa mengorbankan satu kelompok demi kelompok lain. Prabowo dengan kekuatannya yang berasal dari pengalamannya dalam mengelola negara dan militer dihadapkan pada realitas sosial yang semakin menginginkan perubahan yang adil. Sementara Gibran, sebagai pemimpin yang lebih muda, memiliki kesempatan untuk memperkenalkan kebijakan yang lebih inklusif, berbasis pada pemikiran yang lebih progresif.
Namun, hal ini bukan tanpa risiko. Keadilan yang dijanjikan oleh keduanya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang dapat mengurangi ketimpangan sosial, memberikan akses yang setara bagi semua kelompok, serta memperhatikan kepentingan kelompok yang sering kali terpinggirkan. Tidak ada ruang untuk melupakan kelompok-kelompok tersebut dalam perjalanan menuju Indonesia yang lebih baik.
ADVERTISEMENT

Kepemimpinan sebagai Dialektika, Bukan Dogma

Dalam konteks kepemimpinan Prabowo-Gibran, dialektika ini menggambarkan pertemuan antara dua gaya kepemimpinan yang berbeda. Satu sisi lebih bersifat otoriter dan tradisional, sementara sisi yang lain lebih progresif dan terbuka pada inovasi. Namun, dialektika ini bukanlah proses yang mudah. Ketegangan antara keduanya bisa saja berujung pada polarisasi, atau malah saling melengkapi, menghasilkan solusi yang lebih kuat.
Dalam menghadapi perbedaan ini, yang diperlukan bukan sekadar kompromi, tetapi kemampuan untuk membangun sebuah sistem kepemimpinan yang dapat mengakomodasi keduanya. Mereka harus mampu menyelaraskan visi dan misi yang berbeda untuk menciptakan harmoni, bukan hanya menjaga kestabilan, tetapi juga melakukan inovasi yang mendorong perubahan. Kepemimpinan mereka harus mampu mengarahkan Indonesia melalui periode transformasi, dengan tetap menjaga identitas bangsa yang beragam dan penuh nilai.
ADVERTISEMENT

Di Persimpangan Moralitas dan Realitas

Dalam hal ini, Prabowo dan Gibran harus menghadapi tantangan besar, yaitu bagaimana tetap relevan di tengah perubahan sosial yang cepat, sambil menjaga moralitas dan keadilan dalam setiap kebijakan yang diambil.
Harapan rakyat kepada mereka adalah besar. Tidak hanya sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai figur yang bisa membawa bangsa ini keluar dari ketidakpastian. Prabowo dan Gibran, meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, harus mampu berkolaborasi untuk membangun Indonesia yang lebih adil, inklusif, dan progresif. Keberhasilan mereka tidak hanya dilihat dari seberapa baik mereka memimpin negara, tetapi juga seberapa banyak nilai-nilai positif yang mereka tinggalkan untuk generasi mendatang.

Epilog: Sebuah Refleksi untuk Masa Depan

Maka, di persimpangan ini, kita tak hanya berharap mereka menjadi pelindung, tetapi juga pencerah yang membawa bangsa ini keluar dari kelamnya ketidakpastian. Kepemimpinan mereka bukanlah tujuan akhir, melainkan proses panjang yang akan menguji keteguhan hati dan jiwa mereka. Di ujung perjalanan ini, mungkin mereka akan menemukan bahwa kekuasaan hanyalah bayangan yang berlalu, sementara yang abadi adalah nilai-nilai yang mereka tinggalkan bagi rakyatnya.
ADVERTISEMENT

Referensi

Bauman, Z. (2000). Liquid modernity. Cambridge, Inggris: Polity Press ; Blackwell.
Rawls, J. (1997). A Theory of Justice. Cambridge, Massachusets: Harvard University Press.
Weber, M. (1958). The Three Types of Legitimate Rule. Berkeley Publications in Society and Institutions, 4(1), 1-11.
Zalta, E. N., & Nodelman, U. (2016, Juni). Hegel’s Dialectics. California: Stanford University. Dipetik Oktober 12, 2024, dari https://plato.stanford.edu/entries/hegel-dialectics/#toc