Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Kudeta Guinea dan Kerentanan Demokrasi Afrika
6 Juni 2023 10:20 WIB
Tulisan dari Zidan Patrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pukul 8 pagi, suara tembakan tiba-tiba terdengar keras di sekitaran Istana Kepresidenan Guinea di ibu kota Conakry. Pasukan militer berlalu lalang menenteng senjata bak sedang terjadi perang. Insiden saling tembak antara petugas keamanan dan militer tak terhindarkan. Kepanikan melanda warga di sekitar lokasi kejadian.
ADVERTISEMENT
Peristiwa itu terjadi pada Minggu, 5 September 2021, dan berlangsung dramatis. Hari itu menjadi mimpi buruk bagi presiden Alpha Conde yang berkuasa. Pemerintahannya digulingkan usai militer Guinea mengumumkan kudeta terhadap dirinya. Oleh militer, Conde ditangkap dan diseret keluar dari Istana.
Di bawah arahan kolonel Mamady Dombouya, junta militer segera mengumumkan melalui media Televisi Pemerintah terkait pembubaran lembaga pemerintahan, pembatalan konstitusi, dan penutupan akses masuk ke Guinea lewat jalur darat maupun udara (AP News, 2021). Dalam siarannya, Komite Nasional Rekonsiliasi dan Pembangunan (CNRD) yang dibentuk junta, akan memimpin Guinea selama 18 bulan ke depan sebagai pemerintahan interim.
Segera setelah digulingkannya Conde, warga terutama yang berada di pedesaan bersorak menyambut langkah itu dan disusul kecaman dunia internasional (Radio Canada, 2021).
Conde terpilih dalam pemilihan presiden 2010 mengalahkan mantan perdana menteri Cellou Dalein Diallo. Ia menjadi presiden pertama yang dipilih secara demokratis sekaligus mengakhiri rezim otoriter yang berlangsung 52 tahun di Guinea (Britannica, 2022). Pada 2015, ia terpilih kembali menjadi presiden dengan perolehan 58 persen suara.
ADVERTISEMENT
Di bawah pemerintahan Conde selama dua periode, ia berusaha mengubah ekonomi buruk di Guinea. Guinea merupakan salah satu penghasil biji besi dan bauksit terbesar di dunia. Pertambangan menjadi sumber pendapatan utama dan menyumbang hingga 18% PDB negara itu.
Di bawah periode kepemimpinan Conde, ekspor biji bauksit terus mengalami peningkatan lebih dari empat kali lipat antara tahun 2015 dan 2020, dari 20 menjadi lebih dari 80 juta ton per tahun (IGF Mining, 2023). Conde juga mulai membuka keran investasi di Guinea dan berhasil meningkatkan ekonomi lebih lanjut.
Pada 2019, iklim perpolitikan Guinea mulai berubah. Di tengah prestasi yang ditorehkan Conde, ia berupaya untuk mengubah konstitusi negara dan memperbolehkan presiden menjabat selama tiga periode. Langkah itu mendapatkan respons penolakan dari para oposisi.
ADVERTISEMENT
Conde berhasil memenangkan pemilihan yang ketiga kalinya pada 2020 namun pemerintahannya berakhir otoriter. Pemerintahan periode ketiga Conde sewenang-wenang dan marak terjadi aksi korupsi, salah urus, dan kemiskinan yang kembali meningkat. Atas dasar itu kemudian dilakukan kudeta pada 2021.
Apa yang dilihat dari peristiwa kudeta Guinea hanyalah satu dari sekian banyak kudeta yang terjadi di Afrika. Menurut VOA (2022), 45 dari 54 negara di Afrika telah melakukan kudeta paling tidak sekali sejak 1950. Di Guinea, sejak tahun 1950 itu, ada 9 upaya kudeta. Tiga di antaranya sukses menggulingkan pemerintahan, terutama yang terjadi pada 2021 lalu.
Dewan Perdamaian dan Keamanan Uni Afrika (2014) mengatakan, ada banyak penyebab utama rawannya terjadi kudeta di Afrika. Beberapa di antaranya adalah keserakahan pemimpin, manipulasi konstitusi, serta peninjauan ulang konstitusi yang inkonstitusional untuk melayani kepentingan sempit, dan aksi korupsi. Hal ini sejalan dengan yang terjadi di Guinea di mana pemerintahan Conde berupaya mengubah konstitusi yang telah berlaku.
Sikap otoriter Conde bisa dilihat dari jabatannya yang ke-tiga dengan mereformasi konstitusi, menangkap pemimpin oposisi politik, menutup media, dan mencopot pihak yang bersebarangan dengannya, misalnya kepala daerah, komis pemilihan, ketua Mahkamah Konstitusi dan menteri kehakiman.
ADVERTISEMENT
Sistem demokrasi yang juga belum matang dan tidak berjalan dengan baik membuat hal itu kian mudah terjadi. Menurut indeks demokrasi yang dirilis EIU (2022), demokrasi Guinea menempati ranking 145 dari ratusan negara di seluruh dunia dan urutan ke-38 dari 44 negara Sub-Sahara Afrika. Dengan itu, Guine dilaporkan memiliki rezim dengan tipe otoritarian.
Terlebih daripada itu, kentalnya hubungan sipil dan militer di Guinea terutama karena lamanya masa pemerintahan yang otoriter dari kalangan junta sebelum pemerintahan Conde juga membuat kondisi negara itu memang rawan kudeta.
Menurut Bah (2015), militer Guinea memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas politik selama periode antara 1984 dan 2010. Oleh karena itu, perlu kematangan demokrasi terutama partisipasi politik yang baik pada Guinea. Keterlibatan militer dalam perpolitikan juga perlu dibatasi agar upaya kudeta bisa diminimalisir dengan baik.
ADVERTISEMENT