Konten dari Pengguna

Menimbang Kembali Normalisasi Hubungan Diplomatik Indonesia dan Israel

Zidan Patrio
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin
29 Desember 2022 12:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zidan Patrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bendera Israel. Unsplash/Chris Hearn
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera Israel. Unsplash/Chris Hearn
ADVERTISEMENT
Pada 19 September lalu, isu terkait normalisasi hubungan Indonesia dan Israel kembali mencuat ke publik. Media Israel The Jerussalem Post mengabarkan bahwa Indonesia dan Pakistan mengirim delegasi ke Israel untuk melaksanakan sebuah pertemuan rahasia, menurut sebuah sumber yang tidak disebutkan. Dalam pemberitaan itu, Indonesia disebut diwakili langsung oleh seorang pejabat senior.
ADVERTISEMENT
Meskipun tidak ada informasi rinci mengenai pertemuan itu, pemberitaan tersebut seolah kembali mempertegas terkait isu normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Israel yang telah lama digaungkan. Tidak jauh berbeda ketika Menteri Pertahanan (Menhan) Indonesia, Prabowo Subianto, menghadiri pertemuan tahunan The IISS Manama Dialogue di Bahrain pada November 2021 lalu. Pada kesempatan itu, Prabowo tertangkap kamera ketika sedang bertemu dan berbincang dengan delegasi Israel Itay Tagner. Sontak pertemuan yang sangat singkat itu ramai dibincangkan oleh media Israel, yang kemudian turut mendapat tanggapan dari berbagai pihak di Indonesia.
Penandatanganan Perjanjian Abraham oleh Israel dan beberapa negara Arab pada tahun 2020. Perjanjian itu ditengahi oleh Amerika Serikat. (Dok. US Department of State)
Isu normalisasi sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Isu tersebut mulai hangat dibahas sejak 2020 lalu, ketika ditandatanganinya Perjanjian Abraham yang ditengahi Amerika Serikat (AS) antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, yang kemudian disusul oleh negara-negara Arab dan Afrika utara lainnya.
ADVERTISEMENT
Indonesia kemudian disebut-sebut akan menjadi negara mayoritas Muslim selanjutnya yang menormalisasi hubungan dengan Israel.
Tidak adanya hubungan diplomatik kedua negara ditengarai oleh penolakan Indonesia atas tindakan Israel terhadap Palestina. Negara Zionis itu dianggap melakukan berbagai tindakan yang melanggar kedaulatan negara Palestina serta serangkaian kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan amanat UUD 1945.
Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada masa kepemimpinannya bahkan dengan tegas mengutuk tindakan Israel. Tindakannya untuk mengeluarkan Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1964 bahkan salah satunya disebabkan karena alasan bahwa PBB hanya menguntungkan Israel dan merugikan negara Arab seperti Palestina. Terlepas dari itu, normalisasi sempat direncanakan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Namun, langkah itu hanya sebatas wacana karena harus mendapat penentangan kuat dari dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Keinginan untuk melakukan normalisasi juga telah diungkapkan dari pihak Israel sendiri. Dalam laporan Kumparan.com pada Juli 2022, ketika mewawancarai Duta Besar Israel untuk Singapura, Sagi Karni, secara langsung menyampaikan bahwa mereka akan dengan sangat senang bila dua negara mengembangkan hubungan diplomatik sepenuhnya.
Sementara itu, dari pihak Indonesia, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) telah berulang kali menepis adanya rencana untuk mengambil langkah normalisasi dengan negara Zionis tersebut. Kemlu berulang kali mengatakan bahwa mereka berpegang teguh pada politik bebas aktif Indonesia yang berdasarkan pada UUD 1945 dengan mendukung hak-hak yang dimiliki oleh warga Palestina.

Langkah yang Sulit

Indonesia sejak lama sudah memiliki hubungan dagang dengan Israel. Hubungan yang dilakukan di luar kesepakatan diplomatik tersebut bahkan sudah dimulai sejak masa pemerintahan Orde Baru yang saat itu dilakukan secara diam-diam. Pun demikian juga saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, hal tersebut telah menjadi rahasia umum. Pada hakikatnya, hubungan Indonesia dengan Israel bisa jadi memberikan dampak yang sangat signifikan bagi perekonomian. Israel dikenal sangat unggul di bidang persenjataan, pertanian, dan farmasi.
Jika Indonesia menerima tawaran untuk upaya normalisasi tersebut, maka negara ini sangat berpotensi mendapatkan banyak manfaat dari Israel. Indonesia juga akan sangat berpeluang untuk mendapatkan banyak bantuan dari AS jika hal itu benar-benar tercapai.
Perlu diketahui bahwa upaya Israel dalam memperbaiki hubungan dengan negara-negara mayoritas Muslim diinisiasi oleh AS. Washington bahkan menjanjikan tawaran yang menggiurkan jika negara-negara tersebut bisa menormalisasi hubungannya dengan negara Zionis. Sudan misalnya, pada 2021 lalu, negara itu menormalisasi hubungannya dengan Israel dan mendapatkan bantuan ekonomi senilai 1 milliar Dollar AS.
ADVERTISEMENT
Demikian juga dengan Maroko, yang menjadi negara ke-tiga yang menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020, mendapat legitimasi dari Pemerintahan Donald Trump terkait sengketa wilayah Sahara Barat yang disengketakan dengan Aljazair. AS tidak segan memberikan bantuan materil dan dukungan diplomatik jika memang negara terkait mau melangkah ke jenjang yang lebih serius dengan Israel.
Meski demikian, di Indonesia, upaya normalisasi tersebut dibatasi oleh kebijakan politik luar negeri bebas aktif yang dengan tegas menolak segala bentuk penajajahan. Kebijakan politik tersebut telah dicetuskan oleh para pendahulu bangsa.
Melakukan normalisasi sama saja mengkhianati para founding father dalam upaya memberikan dukungan penuh pada kemerdekaan Palestina. Negara ini juga tidak semestinya ‘menggadaikan’ idealisme bangsa dalam mendukung hak-hak rakyat Palestina meski atas dasar janji-janji kemakmuran yang ditorehkan AS maupun Israel.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Indonesia yang dengan tegas menolak upaya normalisasi hubungan dengan Israel merupakan sebuah hal yang sudah sepatutnya dilaksanakan. Disamping dukungan atas Palestina, upaya normalisasi pun tidak akan mudah, sebab penolakan terhadap segala bentuk penjajahan negara berdaulat telah diatur dalam Pembukaan UUD 1945. Upaya normalisasi akan membuat negara ini harus mengubah konstitusinya tersebut dan mengubah arah kebijakan luar negeri.
Indonesia juga akan berada dalam posisi sulit, sebab merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia. Negara ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia Islam. Menormalisasi hubungan dengan Israel hanya akan menuai banyak penolakan dari negara-negara Muslim lainnya seperti Malaysia yang secara langsung juga dapat mengganggu stabilitas hubungan diplomatik yang telah dijalin selama bertahun-tahun. Bukan hanya dari luar negeri, dari dalam negeri juga akan mendapat penentangan keras dari segenap masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Secara luas, masyarakat Indonesia memiliki perasaan dekat dengan Palestina dan memandang Israel sebagai sebuah negara yang kejam. Pandangan yang telah mengakar kuat semacam itu hanya akan membangkitkan amarah rakyat jika hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel tercapai.
Bagaimanapun, masalah Palestina menjadi hal utama yang harus diperhatikan, oleh negara ini dan negara lainnya.
Menlu Retno Marsudi pada pertemuan negara Gerakan Non-Blok (GNB) pada September lalu di New York telah menekankan bahwa dibutuhkan tindakan yang nyata dalam mewujudkan kemerdekaan bagi Palestina dan mendukung solusi dua negara (two state solution) dalam konflik tersebut.
GNB yang dengan 120 anggota memiliki 60 persen suara di PBB sudah semestinya memilih untuk memihak ke siapa, karena ‘utang’ kemerdekaan terhadap Palestina belum lunas terbayarkan. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk memimpin negara lainnya dalam upaya membebaskan Palestina dari pendudukan Israel yang berdasarkan pada kebijakan politik Luar Negeri bebas aktifnya.
ADVERTISEMENT