Konten dari Pengguna

Sebuah Cerita: Korupsi

Zidan Patrio
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Hasanuddin
28 Juli 2021 13:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zidan Patrio tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: istockphoto.com/TheaDesign
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: istockphoto.com/TheaDesign
ADVERTISEMENT
Lawe dan Mudin adalah dua orang petani di sebuah kampung di Sulawesi, sebut saja Kampung Palam. Keduanya merupakan orang yang sejak berpuluh-puluh tahun telah menetap di kampung tersebut. Karena saking lamanya mereka menetap, orang-orang setempat yang juga berprofesi sebagai petani kemudian mulai menaruh percaya pada mereka. Lalu diangkatlah mereka menjadi ketua sebuah kelompok tani di kampung itu.
ADVERTISEMENT
Awal-awal memimpin, Lawe yang memiliki posisi sebagai ketua dan Mudin sebagai wakil ketua, keduanya memiliki idealism yang tinggi. Mereka bertekad untuk berupaya sebisa mungkin memajukan pertanian di kampung Palam. Berbulan-bulan hingga bertahun-tahun mereka menggalakkan beragam upaya untuk kemajuan pertanian di kampung itu. Namun idealism mereka tak lama kemudian mulai goyah.
Hal ini bermula ketika direncanakan akan ada pembangunan Embung di kampung itu. Petani di kampung itu sangat menyambut adanya pembangunan itu. Apalagi diprediksi beberapa bulan ke depan akan terjadi musim kemarau. Lawe dan Mudin juga tak kalah senangnya.
Saat dana proyek pembangunan sudah cair oleh pemerintah setempat yang kemudian di serahkan kepada ketua kelompok tani di kampung tersebut, Lawe dan Mudin kemudian mulai terbujuk rayuan setan. Dana yang seharusnya digunakan secara keseluruhan untuk pembangunan embung justru sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam kantong pribadi. Keduanya memangkas berkali-kali dana yang diberikan pada mereka untuk pembangunan embung. Alhasil, kualitas embung yang dibangun pun tak lebih baik dari sekadar sawah yang dalam semalam terkena hujan deras yang langsung ambruk.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan oleh Lawe dan Mudin adalah bentuk dari Tindakan korupsi yang dilakukan setingkat Kampung (kelurahan). Bayangkan apabila Tindakan semacam ini dilakukan juga oleh pihak-pihak di kampung lain. Kerugian negara pasti tak terhitung banyaknya. Kisah Lawe dan Mudin ini masih dalam tingkatan kecil. Lalu bagaimana mereka yang sudah korupsi dalam tingkatan negara.
Sejatinya korupsi merupakan sebuah budaya yang sudah melekat dalam diri kita sebagai bangsa Indonesia. Korupsi merupakan warisan pra-kemerdekaan yang masih di bawah hingga kini. Persoalan korupsi dari tahun ke tahun tidak pernah berhenti dibahas. Bahkan sering dijadikan sebagai janji-janji para calon pemimpin negara untuk mendapatkan hati masyarakat.
“Kalo saya terpilih jadi presiden, korupsi akan 0 persen,” katanya.
ADVERTISEMENT
Namun kadang janji-janji semacam itu hanya bualan semata. Buktinya dalam tingkat kampung saja masih banyak dilakukan Tindakan korupsi semacam itu. Apalagi dalam tingkatan yang lebih besar.
Kasus Lawe dan Mudin tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Berbagai proyek lainnya juga kadang di korupsi oleh para tikus-tikus kecil. Ini menandakan tindak hukum di negeri kita tidak terlalu tegas dalam menangani masalah semacam ini. Saya masih ingat mengenai proyek irigasi di kampung saya beberapa waktu lalu. Kejadiannya tak jauh beda dengan kisah Lawe dan Mudin di atas. Bahkan desas desus mengenai tindakan korupsi pada proyek irigasi itu sudah tersebar ke seluruh penjuru kampung saya pada saat itu. Namun uniknya, tidak ada ketegasan hukum dari pihak berwajib. Seolah hal itu sudah merupakan hal yang lumrah dan tidak akan diungkit oleh mereka.
ADVERTISEMENT
“Tidak terjadi apa-apa di negara kita," mungkin itu yang dipikirkan oleh penguasa.