Konten dari Pengguna

Bagaimana Pembagian Waris Jika Berbeda Agama?

Muhammad Zidan Anshori
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta - Program Studi Hukum Keluarga
12 Agustus 2024 12:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Zidan Anshori tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
source image : pexels.com/Photo by Zeynep ipek
zoom-in-whitePerbesar
source image : pexels.com/Photo by Zeynep ipek
ADVERTISEMENT
Sebelum menjawab pertanyaan mengenai pembagian waris bagi orang yang berbeda agama, tentu harus mengetahui terlebih dahulu definisi hukum kewarisan itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia waris diartikan orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninnggal. Dalam Islam yang dinamakan hukum kewarisan ialah yang mengatur segala peralihan hak kepemilikan atas harta kekayaan seseorang setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup baik berupa uang, tanah, benda atau apapun yang berupa hak milik legal secara syariat.
ADVERTISEMENT
Hukum kewarisan tidak hanya diatur dalam ketentuan hukum Islam, melainkan terdapat aturannya sendiri dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam buku II KUHPerdata yang juga mengatur tentang hukum waris menyatakan “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajiban beralih kepada ahli warisnya”. Hak-hak dan kewajiban yang dimaksud adalah, yang beralih kepada ahli waris seperti ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.
Dari definisi diatas kemudian muncul permasalahan mengenai bagaimana pembagaian waris bagi yang berbeda agama, pada Pasal 830 KUHPerdata menyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Oleh karena itu, pembagian waris dapat terjadi bila pewaris telah meninggal dunia, dan prinsip pembagian waris menurut KUHPerdata adalah berdasarkan pada hubungan darah sebagaimana dalam Pasal 832 KUHPerdata.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam pembagian ahli waris dalam KUHPerdata dibagai menjadi 4 golongan;
1. Golongan I
Ahli warisnya terdiri dari: anak beserta keturunannya sampai derajat ke-6, dan istri atau suami yang hidup terlama.
2. Golongan II
Ahli Warisnya adalah orang tua (yakni bapak dan ibu) dan saudara.
3. Golongan III
Ahli Warisnya adalah kakek, nenek, saudara kakek-nenek.
4. Golongan IV
Ahli Warisnya adalah paman dan bibi, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam.
Dan perlu di ingat, dalam KUHPerdata tidak terdapat aturan mengenai pembagian waris jika berbeda agama antara pewaris dan ahli waris. Sebagaimana pada Pasal 838 KUHPerdata yang tidak menyebutkan perbedaan agama menjadi dasar pengahalangnya seseorang tidak menerima bagian waris.
Kemudian, jika kita merujuk pada perdata Islam dalam pasal 171 huruf C KHI disebutkan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
ADVERTISEMENT
Dari ketentuan ini dimaksudkan sekaligus untuk menafikan adanya penghalang saling mewarisi. Dalam persoalan berbeda agama dalam kompilasi tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai penghalang mewarisi.
Kompilasi hanya menegaskan bahwa ahli waris beragama Islam pada saat meninggalnya pewaris (Pasal 171 huruf c). Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama Islam, Pasal 172 menyatakan: "Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya".
Sedangkan identitas pewaris hanya dijelaskan dalam ketentuan umum huruf b, yaitu orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (Ps. 171).
ADVERTISEMENT
Yang dimaksud berbeda agama di sini adalah antara orang Islam dan non-Islam. Perbedaan agama yang bukan Islam, atau sama-sama non-Islam. misalnya antara orang Kristen dan Budha, tidak termasuk dalam pengertian ini. Mereka tetap dapat saling mewarisi, karena berarti tidak berlaku ketentuan hukum Islam.
Kemudian terdapat dasar hukum yang menyebabkan pembagian waris dapat terhalang oleh perbedaan agama yakni hadis Rasulullah SAW yang berbunyi:
لا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ (متفق عليه)
"Orang Islam tidak berhak mewarisi harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak mewarisi harta orang Islam." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Sudah jelas bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk bisa saling mewarisi dalam Islam.
Kesimpulannya, jika kita menggunakan KUHPerdata dalam pembagian waris bagi yang berbeda agama antara pewaris dan ahli waris maka sah saja, dikarenakan perbedaan agama tidak menjadi faktor penghalangnya seseorang mendapat warisan dalam KUHPerdata sebagaimana pada Pasal 838 KUHPerdata yang menyatakan beberapa sebab terhalangnya sesorang tidak menerima waris. Sedangkan bagi yang beragama Islam hal tersebut menjadi salah satu sebab seseorang terhalang mendapatkan bagian waris. Kemudian dalam persoalan ini Mahkamah Agung telah mengeluarkan keputusan yang menjadi yurispudensi, yaitu dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 51/K/AG/1999 dan Nomor 16/K/AG/2010 yang dalam isinya menetapkan bahwasanya ahli waris yang berbeda agama tetap mendapatkan bagian harta warisan melalui wasiat wajibah dengan bagian hak warisnya tidak lebih dari sepertiga (1/3) harta warisan.
ADVERTISEMENT