Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Darurat Pendidikan: Pemangkasan Anggaran dan Ancaman terhadap Hak Akademik
17 Februari 2025 9:25 WIB
ยท
waktu baca 3 menitTulisan dari Zidane Azharian Kemal Pasha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pemangkasan Anggaran Pendidikan Adalah Penghianatan terhadap Amanat Konstitusi
Pendidikan adalah amanat konstitusi yang tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, kebijakan pemerintah saat ini justru bertolak belakang dengan semangat tersebut. Dengan dalih efisiensi anggaran, negara melucuti hak pendidikan masyarakat, mengkhianati amanat konstitusi, dan menjadikan cita-cita besar bangsa ini sekadar retorika kosong.
Pemotongan anggaran pendidikan terjadi secara masif. Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengalami pemangkasan sebesar Rp22,5 triliun, sementara Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dipotong sebesar Rp8 triliun. Dampaknya sangat nyata: pemecatan massal guru honorer, sulitnya akses pendidikan di daerah, lebih dari 70% penerima KIP-K on going yang tidak mendapatkan dana, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), serta berkurangnya pendanaan untuk penelitian. Pemotongan ini juga berimbas pada Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang berkurang drastis, sehingga menimbulkan pertanyaan besar mengenai bagaimana para pimpinan PTN akan menyikapi efisiensi ini.
Sebagai mahasiswa, kita patut mempertanyakan nasib pendidikan di tengah kebijakan yang semakin menekan hak-hak akademik kita. Bagaimana mimpi-mimpi anak bangsa dapat terwujud jika akses terhadap pendidikan semakin sulit? Seharusnya, pendidikan dijamin sebagai hak yang berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat, bukan malah dipangkas dengan alasan anggaran. Di mana sila kelima Pancasila yang menjunjung keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
ADVERTISEMENT
Dampak dari Pengefisiensi Anggaran
Kondisi ini semakin parah dengan masuknya RUU Sisdiknas dalam Prolegnas 2025, yang dapat menjadi langkah hukum dalam melegitimasi liberalisasi pendidikan. Pemotongan anggaran BOPTN & BPPTNBH sebesar 50% (Rp4,194 triliun) serta pengurangan bantuan kepada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebesar 50% (Rp735 miliar) pasti akan menyebabkan kenaikan biaya pendidikan. Beasiswa pun tidak luput dari pemangkasan, di mana anggaran KIP dikurangi sebesar 9% (Rp1,4 triliun), sehingga 663 ribu dari 844 ribu penerima on going tidak lagi mendapatkan bantuan, dan tidak akan ada penerimaan mahasiswa baru penerima KIP pada 2025.
Pemotongan juga terjadi pada tunjangan dosen non-PNS sebesar 25% (Rp676 miliar) serta tunjangan kinerja dosen ASN yang tidak dibayarkan selama lima tahun. Selain itu, mahasiswa semakin dipaksa menjadi tenaga kerja murah atau bahkan gratis dalam skema Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), yang sejatinya hanya menguntungkan pemilik modal besar, tuan tanah, serta kapitalis birokrat. Transformasi PTN Badan Layanan Umum (BLU) ke PTN Badan Hukum (BH) juga dipercepat, yang berpotensi semakin memberatkan mahasiswa dengan kenaikan biaya pendidikan.
Tak hanya itu, kampus yang seharusnya menjadi ruang akademik yang bebas dan demokratis justru semakin dikekang. Kekerasan seksual di institusi pendidikan merajalela tanpa penanganan serius, sementara ruang demokrasi diberangus. Kampus pun kian digunakan untuk melegitimasi kebijakan rezim yang berpihak pada kepentingan elite dan asing. Bahkan, pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada kampus menambah daftar panjang bentuk komersialisasi pendidikan.
Pendidikan dasar dan menengah juga terkena dampak besar dengan pemotongan anggaran sebesar 21% (Rp7,272 miliar). Pemangkasan ini mencakup program peningkatan kualitas pengajaran dan pembelajaran tenaga pendidik serta PAUD, SD, dan sekolah menengah hingga 80%. Bahkan, anggaran untuk program wajib belajar dipotong sebesar 87%.
Dampaknya tidak dapat dihindari. Biaya pendidikan pasti naik, pekerja kampus akan semakin terpuruk, kualitas fasilitas pendidikan menurun, dan mahasiswa hanya akan dijadikan tenaga kerja murah. Akibatnya, anak-anak buruh dan petani akan semakin sulit mengakses pendidikan tinggi.
Situasi ini sudah darurat! Pendidikan yang seharusnya menjadi hak fundamental bagi setiap warga negara kini sedang dilucuti demi kepentingan segelintir elite. Sudah saatnya kita bersatu, menyadari ancaman ini, dan berani melawan kebijakan yang menghambat hak dan masa depan kita.
ADVERTISEMENT
Zidane Azharian KemalPasha (Ketua Umum Dewan Perwakilan Mahasiswa UNJAYA, Direktur Eksekutif Voicedlawid)