Konten dari Pengguna

VIHARA SIDDHARTA : Sejarah dan Toleransi umat Buddha di Tangerang Selatan

Zidane Tirta Nugraha
Mahasiswa Program Studi Sistem Informasi Universitas Pembangunan Jaya
5 Januari 2025 13:16 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zidane Tirta Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kota Tangserang Selatan memiliki keberagaman suku dan budaya. Meski beragam, hingga kini masyarakat Tangsel tetap hidup tentram tanpa adanya gesekan konflik agama, suku dan budaya. Baca lebih lanjut tentang keanekaragaman di Tangsel di sini.
ADVERTISEMENT
Wakil Walikota Tangsel, Benyamin Davnie menyebut bahwa Tangsel merupakan miniatur Indonesia. Karena dilihat dari sisi demografi dan kependudukan latar belakang suku, agama dan budaya ada di Tangsel.
Maka dari itu, Pemerintah Kota Tangerang Selatan terus mendorong dan mendukung kegiatan masyarakat berbasis agama, sosial dan kebudayaan.
Buddha adalah seseorang yang telah mencapai keadaan kesadaran tertinggi, yaitu pencerahan yang sempurna, setelah melalui berbagai proses spiritual yang mendalam. Ajaran Buddha di Indonesia menjadi bagian dari tradisi keagamaan yang ada, dengan pengaruh besar pada perkembangan kebudayaan dan seni di Indonesia.
Sumber : Foto Pribadi
Sejarah dan Toleransi di Vihara Siddharta: Menjaga Kerukunan Antarumat Beragama di Tangerang Selatan
Vihara yang terletak di wilayah Tangerang Selatan ini memiliki cerita menarik tentang bagaimana sebuah tempatibadah bagi umat Buddha dibangun di tengah masyarakat yang heterogen. Sejarah berdirinya vihara ini dimulai sekitar tahun 2006, Ketika beberapa umat Buddha di sekitar wilayah tersebut merasa bahwa mereka membutuhkan tempat ibadah yang representatif. Saat itu, jumlah umat Buddha di kawasan tersebut sudah cukup banyak, sekitar 150 kepala keluarga atau sekitar 500 orang. Namun, belum ada vihara sebagai tempat ibadah yang layak.
ADVERTISEMENT
Melihat kebutuhan ini, sekelompok umat Buddha mulai berkumpul dan merencanakan pendirian vihara. Salah satu langkah awal mereka adalah mencari lokasi yang tepat untuk membangun vihara tersebut. Setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, termasuk calon donatur, Pak Suandi seorang dermawan setempat, akhirnya menyumbangkan tanah leluhurnya seluas sekitar 500 meter persegi. Lahan tersebut kemudian dijadikan tempat untukmendirikan vihara.
Pembangunan vihara ini tidak berjalan mulus tanpa tantangan. Selain harus mengurus berbagai izin, mulai dari tingkat desa hingga kecamatan, mereka juga menghadapi beberapa hambatan dari luar wilayah, termasuk protes dari beberapa LSM yang menentang pembangunan tempat ibadah umat Buddha. Meskipun begitu, dengan dukungan penuh dari warga sekitar yang sebagian besar beragama non-Buddha, pembangunan vihara tetap berjalan lancar. Bahkan, beberapa warga non-Buddha yang tinggal di sekitar vihara memberikan bantuan secara sukarela.
ADVERTISEMENT
Toleransi dan Kerukunan Antarumat Beragama
Toleransi menjadi salah satu kata kunci dalam cerita ini. Meskipun ada beberapa protes dari pihak luar, dukungan kuat dari warga sekitar, baik yang beragama Buddha maupun non-Buddha, memudahkan proses pembangunan vihara. Dalam kesehariannya, warga di sekitar vihara tidak hanya hidup berdampingan dalam kedamaian, tetapi juga aktif berinteraksi satu sama lain. Salah satu contoh nyata adalah ketika umat Buddha di vihara ini mengadakan kegiatan sosial seperti berbagitakjil saat bulan Ramadhan atau memberikan bantuan sembako dan pengobatan gratis. Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya ditujukan untuk umat Buddha, tetapi terbuka untuk seluruh masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama.
Sumber : Foto Pribadi
Seperti yang diungkapkan oleh Romo (pemimpin vihara), kegiatan sosial ini bertujuan untuk mempererat hubungan dan membangun kebersamaan antarumat beragama. Selain itu, Romo juga menekankan pentingnya komunikasi yang baik dengan warga setempat. Sebagai contoh, mereka rutin mengadakan buka puasa Bersama dengan warga muslim di sekitar vihara, sehingga tercipta rasa simpati dan saling pengertian. Bahkan, kegiatan sosial seperti pengobatan massal dan pemeriksaan kesehatan yangdiadakan oleh vihara juga mendapat respons positif dari masyarakat setempat.
ADVERTISEMENT
Pandangan Warga Terhadap Vihara dan Umat Buddha
Sumber : Foto Pribadi
Dari sudut pandang warga sekitar, vihara ini memiliki tempat yang khusus di hati mereka. Bagi sebagian warga, vihara ini bukan hanya sebuah rumah ibadah umat Buddha, melainkan juga simbol kedamaian dan persaudaraan antarumat beragama. "Bangunannya bagus, seperti istana," kata seorang warga. Meski begitu, ia menambahkan bahwa vihara ini hanya ramai pada hari Minggu, namun pada hari biasa biasanya tampak sepi. Seorang ibu yang tinggal di sekitar vihara juga mengungkapkan pengalamannya tentang manfaat yang dirasakan dari keberadaan vihara. "Walaupun berbeda agama, kami tetap saling mendukung. Saya pernah ikut serta dalam kegiatan yang diadakan vihara ketika anak saya jatuh sakit. Mereka memberikan pengobatan gratis," ujarnya. Ini menunjukkan bahwa keberadaan vihara benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat setempat, tidak hanya bagi umat Buddha, tetapi juga bagi warga non Buddha yang membutuhkan bantuan sosial.Selain itu, masyarakat di sekitar vihara juga merasakan manfaat dari kegiatan pembagian sembako dan pengobatan gratis yang rutin diadakan pada saat-saat tertentu. "Mereka rutin memberikan sembako dan pengobatan gratis pada acara-acara besar keagamaan," ujar seorang warga pria yang tinggal di sekitar vihara. Kegiatan-kegiatan seperti ini semakin memperkuat hubungan antarumat beragama dan menunjukkan bahwa vihara ini bukan hanya sekadar tempat ibadah, tetapi juga bagian dari kehidupan sosialmasyarakat.
ADVERTISEMENT
Kerukunan Antarumat Beragama di Tangerang Selatan
Sebagai pemuka agama, Romo juga aktif berperan dalam menjaga kerukunan antarumat beragama di Tangerang Selatan melalui Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Di forum ini, berbagai pemuka agama dari berbagai agama saling berkomunikasi dan berdiskusi untuk menjaga agar tidak terjadi kesalahpahaman di masyarakat. Hal ini juga tercermin dalam interaksi antarwarga yang saling mendukung dan menjaga toleransi. Seperti yang disampaikan oleh salah seorang warga, "Kita harus saling mengingatkan dalam ibadah, dan jika terjadi perselisihan, kita bicarakan secara baik-baik." Inilah contoh nyata dari hidup berdampingan yang penuh toleransi.
Pesan Untuk Generasi Muda
Romo juga memberikan pesan khusus untuk generasi muda mengenai pentingnya menjaga toleransi. "Rukunlah, terutama dengan diri sendiri. Jika kita rukun, maka masyarakat di sekitar kita juga akan rukun. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti orang lain, apalagi yang berkaitan dengan agama," pesan Romo yang penuh kebijaksanaan ini.
ADVERTISEMENT
Harapan untuk Masa Depan
Sumber : Foto Pribadi
Meskipun sudah berjalan dengan baik, Romo berharap vihara ini dapat terus mengembangkan program program sosial yang lebih intensif, seperti meningkatkan frekuensi bakti sosial yang sebelumnya dua kali setahun menjadi lebih sering lagi. Selain itu, ia juga berharap agar isu pembangunan fasilitas pengolahan sampah di dekat vihara dapat segera mendapatkan solusi yang baik, karena merasa kurang pantas jika tempat ibadah bersebelahan dengan fasilitas yang dapat mencemari lingkungan. Ke depan, harapannya adalah vihara ini bisa semakin menjadi tempat yang tidak hanya bagi umat Buddha, tetapi juga bagi seluruh masyarakat untuk merasakan kedamaian, kebersamaan, dan persaudaraan, tanpa memandang perbedaan agama. Vihara ini membuktikan bahwa melalui toleransi, kerukunan, dan kegiatan sosial, kita semua dapat hidup bersama dengan damai.
ADVERTISEMENT
Transkrip Wawancara Bersama Romo Nanda
Interviewer: “Pertanyaan pertama, bisa diceritakan sedikit tentang sejarah berdirinya vihara ini? Bagaimana terbentuknya dan proses pembangunannya?”
Romo: “Sejarah berdirinya vihara ini dimulai dari kumpul-kumpul beberapa orang yang bertanya-tanya, "Mengapa di wilayah sini belum ada vihara sebagai tempat ibadah umat Buddha, padahal jumlah umat Buddha di sekitar sini cukup banyak, sekitar 150 kepala keluarga atau sekitar 500 orang." Dari sana, kami memutuskan untuk mendirikan vihara. Kami pun mencari lahan, dan salah satu donatur, Pak Suandi, menyumbangkan tanah leluhurnya sekitar 500 meter persegi untuk vihara ini. Sebelum membangun, kami mengurus berbagai izin, mulai dari tingkat desa hingga kecamatan. Tentu tidak mudah; ada proses panjang yang harus dilalui. Namun, kami bersyukur karena warga non-Buddha di sini sangat mendukung. Meskipun ada sedikit protes dari warga luar wilayah, kami tetap melanjutkan pembangunan karena dukungan dari warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Kami juga menjaga toleransi dan hubungan baik dengan warga, misalnya dengan bekerja sama dengan RT dan RW di sini. Kami bahkan beberapa kali mengadakan buka puasa bersama di masjid, sehingga tumbuh rasa simpati dan kebersamaan antara umat Buddha dan warga non-Buddha, terutama yang beragama Islam.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Interviewer: “Wah, berarti memang toleransi di sini sangat kuat ya, Pak. Vihara ini berdiri sejak tahun berapa?”
Romo: “Proses awalnya dimulai sekitar tahun 2006. Namun, tiang pertama baru bisa dicor pada tahun 2008, dan vihara ini resmi bisa digunakan pada tahun 2010.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Interviewer: “Apakah ada bentuk diskriminasi atau intoleransi di awal-awal pembangunan vihara ini?”
Romo: “Dari warga sini sendiri, tidak ada masalah, malah mereka sangat mendukung. Namun, dari luar wilayah, memang sempat ada beberapa kali demo dari LSM tertentu. Tapi karena warga sekitar mendukung, kami tetap melanjutkan pembangunan. Tidak ada perusakan fasilitas; mungkin karena pada awalnya bangunan belum berdiri. Setelah bangunan berdiri, mereka juga tidak datang lagi.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
ADVERTISEMENT
Interviewer: “Bagaimana Bapak menangani isu-isu kontroversial yang muncul di masyarakat?”
Romo: “Kami rutin mengadakan pertemuan dan menjalin silaturahmi. Kami sering mengadakan bakti sosial (baksos) di masa bulan puasa, seperti berbagi takjil kepada warga sekitar dan mereka yang lewat. Kegiatan ini kami lakukan untuk mempererat hubungan dan membangun kebersamaan.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Interviewer: “Kegiatan sosial di vihara ini apa saja, Pak?”
Romo: “Setiap tahun kami mengadakan baksos dua kali. Selain itu, saat bulan puasa, kami mengadakan pembagian takjil seminggu sekali untuk warga sekitar dan aparat pemerintah setempat. Selain baksos, kami juga mengadakan pengobatan massal, potong rambut gratis, dan kegiatan lain seperti cek kesehatan dan cek darah.” (Romo, pemimpin vihara)
Interviewer: “Apakah kegiatan sosial ini terbuka untuk umum, atau khusus umat Buddha saja?”
ADVERTISEMENT
Romo: “Terbuka untuk semua warga, termasuk yang bukan warga sekitar. Kami mengutamakan warga sekitar, tapi semua orang boleh datang.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Interviewer: “Wah, kegiatan-kegiatan sosialnya memang sangat bermanfaat bagi warga ya, Pak. Apakah ada kasus di mana umat Buddha merasa mengalami diskriminasi atau dikucilkan?”
Romo: “Tidak ada, khususnya di Tangsel ini sangat heterogen. Masyarakat di sini saling membaur, jadi tidak pernah ada perbedaan.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Interviewer: “Apakah Bapak juga berteman dengan pemuka agama lain di sekitar sini?”
Romo: “Ya, kami tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Tangsel. Forum ini adalah wadah untuk membina kerukunan antarumat beragama. Jika ada masalah, kami saling berkomunikasi melalui FKUB untuk mencegah kesalahpahaman.” (Romo, pemimpin vihara.
ADVERTISEMENT
Interviewer: “Apakah Bapak juga berteman dengan pemuka agama lain di sekitar sini?”
Romo: “Ya, kami tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Tangsel. Forum ini adalah wadah untuk membina kerukunan antarumat beragama. Jika ada masalah, kami saling berkomunikasi melalui FKUB untuk mencegah kesalahpahaman.” (Romo, pemimpin vihara.)
Interviewer: Adakah pesan Bapak untuk generasi muda tentang pentingnya menjaga toleransi?
Romo: “Pesan saya sederhana: Rukunlah, terutama dengan diri sendiri. Jika kita rukun, maka masyarakat di sekitar kita juga akan rukun. Jangan pernah mengeluarkan kata-kata yang bisa menyakiti orang lain, apalagi yang berkaitan dengan agama.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Interviewer: “Terakhir, apa harapan Bapak untuk kemajuan vihara ini?”
Romo: “Harapan kami adalah agar vihara ini terus menjalin hubungan baik dengan warga sekitar melalui program-program sosial. Kami ingin meningkatkan intensitas program baksos, mungkin jadi tiga atau empat kali setahun.
ADVERTISEMENT
Kami juga sedang menghadapi masalah dengan adanya rencana pembangunan fasilitas pengolahan sampah di dekat vihara. Kami merasa kurang pantas jika ada tempat ibadah bersebelahan dengan pengolahan sampah. Kami berharap ada solusi untuk masalah ini, baik dari pemerintah maupun perusahaan terkait.” (Romo Nanda, pemimpin vihara)
Farant Marchelino, Zidane Tirta Nugraha, Rifqah Maharani, Syifa Alesia Salsfabila, Syahrani Nurlatiefa, Vincent Ferdianto, Muhammad Rizaki Zaidan, Muhammad Ghifary Billah, Faiz Hibatulah, (mahasiswa Universitas Pembangunan Jaya)