Konten dari Pengguna

Dipaksa Kuasai Bahasa, Siswa Hadapi Krisis Identitas?!

Zidni Dinia Anugrah
Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Sastra Inggris.
11 Oktober 2024 10:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zidni Dinia Anugrah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Image by John Hain from Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Image by John Hain from Pixabay
ADVERTISEMENT
Teknologi semakin berkembang di era globalisasi dengan dituntutnya siswa dalam penguasaan berbagai bahasa agar dapat bersaing di dunia digital. Bahasa asing, seperti bahasa Inggris sering dianggap sebagai kunci sukses dalam pendidikan dan karier. Bahkan sebagian sekolahpun ada yang sudah menerapkan mata pelajaran bahasa asing lain, seperti bahasa Prancis, German, Arab, Jepang, Korea, Mandarin dan berbagai bahasa asing lainnya agar siswa pandai berbahasa international.
ADVERTISEMENT
Dalam interaksi sosial, siswa akan cenderung mencoba menyesuaikan bahasa khususnya ketika berada di daerah asing agar dapat menyesuaikan dan diterima dalam kelompok, contohnya siswa pindahan dari Sulawesi datang ke Jawa Barat maka mereka akan belajar bahasa Sunda di lingkungan sekolah maupun pertemanan. Hal ini akan sangat menguntungkan karena siswa akan tahu dan mengenal berbagai macam budaya khususnya agar memudahkan mereka ketika berinteraksi dan berkomunikasi dalam interaksi sosial sehari-hari. Namun, tuntutan itu tidak hanya berakhir manis dan positif, terdapat dilema yang dihadapi siswa ketika mereka semakin pandai dan menguasai banyak bahasa. Resiko ini akan semakin besar ketika mereka perlahan-lahan akan melupakan bahasa ibu dan akhirnya berpotensi pada krisis identitas dan mulai mempertanyakan “Aku ini siapa?”.
ADVERTISEMENT
Menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf dalam “Hipotesis Sapir-Whorf”, struktur bahasa seseorang mempengaruhi cara mereka berpikir dan memahami dunia. Sapir dan Whorf berpendapat bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan kenyataan, tetapi juga membentuk pengalaman dan persepsi kita terhadap dunia. Lalu, bangaima seseorang yang pandai berbahasa? Bagaimana cara berpikir mereka terhadap interaksi sosial? Apakah mereka punya 1001 cara pandang dan bertindak?
Dengan menguasai banyak bahasa asing maupun lokal tentu berpotensi dalam memperkaya pengalaman, pemikiran dan juga persepsi seseorang. Dalam kuesioner yang saya bagikan kepada 27 siswa secara acak, sebanyak 26 orang memilih opsi bahwa mereka akan menyesuaikan bahasa yang digunakan ketika berada di tempat yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa hal ini merupakan cara yang efektif untuk menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan. Akan tetapi kita tidak boleh menutup mata pada masalah dan dilema yang kerap dialami, berikut adalah dilema yang dihadapi siswa ketika mereka menguasai bahasa:
ADVERTISEMENT
Krisis Identitas
Mempelajari dan berbicara bahasa baru khususnya bahasa international akan memberikan pride tertentu pada psikologi seseorang, terutama dalam berbahasa Inggris. Mereka akan cenderung lebih percaya diri ketika berbicara dalam bahasa Inggris. Krisis identitas terjadi ketika seseorang lebih nyaman dengan budaya luar dan cara pandang orang luar. Hal ini akan sangat berdampak buruk khususnya kepada para siswa yang seharusnya bisa lebih mencintai bahasa nasional dan memperkenalkannya ke jenjang international.
Fenomena Chameleon Effect
Fenomena chameleon effect adalah fenomena dimana seseorang secara otomatis menempatkan dirinya sebagai orang lain khususnya saat berkomunikasi atau berinteraksi. Orang-orang ini cenderung akan mengikuti gaya, mimic, nada dan bahasa yang digunakan lawan bicara. Hal ini terjadi ketika seseorang mampu berbahasa dan menempatkan dirinya dalam kondisi tertentu. Dalam kuesioner yang saya berikan, 22 dari 27 siswa merasa seperti bunglon yang berkamuflase. Mereka menyadari bahwa setiap kali menggunakan bahasa yang berbeda, cara mereka berperilaku juga ikut berubah. Akibatnya, mereka merasa kehilangan ciri khas diri mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Alienasi Budaya
Alienasi budaya adalah fenomena di mana individu mulai merasa terpisah atau terasingkan dari budaya atau komunitas asal mereka. Hal ini dapat terjadi akibat beberapa faktor, seperti migrasi. Ketika seseorang berpindah ke tempat baru, mereka akan mempelajari dan mengadopsi budaya baru, yang seiring waktu dapat mengikis budaya asli mereka. Hal yang serupa terjadi pada bahasa; siswa yang merantau untuk melanjutkan pendidikan ke luar pulau atau ke luar negeri akan belajar bahasa baru serta mengadopsi pemikiran dan cara pandang yang berbeda. Dan itu bisa menyebabkan terpisahnya mereka dari budaya asli kebudaya baru.
Meskipun berbahasa dapat menyebabkan krisis identitas bagi sebagian siswa, proses ini juga menawarkan peluang yang berharga untuk pertumbuhan dan pengembangan diri. Ketika siswa belajar bahasa baru, mereka tidak hanya beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda, tetapi juga mengembangkan kemampuan untuk memahami dan menghargai perspektif yang beragam. Proses ini memungkinkan mereka untuk menjalin hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, memperluas jaringan sosial, dan memperkaya pengalaman hidup mereka. Tantangan yang muncul dari belajar bahasa baru seharusnya dapat menjadi langkah penting menuju pembentukan identitas yang lebih kuat dan komprehensif. Dengan demikian, tindakan seperti bimbingan, pengawasan, serta pemberian edukasi dapat menjadi langkah awal untuk kemajuan dunia pendidikan dalam berbahasa sehingga siswa bisa menguasai banyak bahasa tapi tidak akan melupakan budaya dan identitas diri mereka.
ADVERTISEMENT