Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Glass Cliff: Kepemimpinan Perempuan Masih Merajalela
7 Oktober 2023 10:17 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari ZILMI HARIDHI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Pada hakikatnya, semua hal yang inheren dengan kemanusiaan mengindikasikan bahwa perempuan layak menjadi pemimpin. Sayangnya, masyarakat sering menetapkan pendapat, yakni semakin tinggi perempuan menjadi pemimpin maka semakin banyak para bawahan protes baik terhadap kinerja atau manajemen pekerjaan. Samantha Spica dalam “Why we dislike criticism when it’s given by a woman boss” turut berpendapat bahwa pemikiran bos pria lebih disukai dibanding bos wanita sepenuhnya adalah bias gender.
Benar adanya bahwa berdasarkan psikologi kepemimpinan, perempuan lebih bersifat demokratis sementara laki-laki bersifat otoriter. Hal ini didukung dengan penyampaian fakta oleh Vivien Shiao melalui “Why we don’t like women bosses (and why it matters)” yang berkesimpulan pada 76% pegawai di perusahaan-perusahaan besar Singapura memilih bos pria dibanding wanita yang notabene lebih tinggi dari rata-rata suara secara global yang hanya 65%.
ADVERTISEMENT
Lantas, sebenarnya apa yang menjadi inti permasalahan selama ini? Apakah perempuan benar tidak kompeten memimpin atau malah perempuan terkepung dengan kesulitan beban yang timbul akibat ekspektasi tinggi masyarakat?
Menurut perspektif penulis, ada beberapa alasan perdebatan yang selama ini terjadi di masyarakat. Pertama, perempuan sebenarnya tidak benar-benar buruk dalam memimpin hanya saja masyarakat menilai standar yang berbeda terhadap perempuan. Secara historis, masyarakat terbiasa dengan kepemimpinan laki-laki yang membuat masyarakat memiliki ekspektasi berbeda terhadap pemimpin laki-laki dan perempuan di zaman sekarang yang lebih membuka peluang tangga kepemimpinan bagi perempuan.
Kedua, perempuan cenderung demokratis sehingga dalam delegasi tugas kepada bawahan sering disertakan dengan mentoring. Hal ini menimbulkan perspektif negatif yang menilai bahwa itu merupakan salah satu bentuk intervensi dan masyarakat umum belum sepenuhnya memahami maksud tersebut.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kita harus memahami bahwa situasi dan kondisi masyarakat sedang mengalami masa transisi yang disertai dilema, yakni di satu sisi perempuan berpeluang menjadi pemimpin dan di satu sisi masyarakat mengidealkan pria sebagai pemimpin. Oleh karena itu, perempuan dibebankan untuk bisa cakap beradaptasi dan dibuat pusing karena harus menyesuaikan dengan gaya kepemimpinan pria.
Pro kontra dari perdebatan di atas tanpa masyarakat sadari menimbulkan Glass Cliff dalam kepemimpinan perempuan, yaitu suatu kondisi di mana perempuan sering kali diberikan kepemimpinan dalam kondisi yang sulit atau krisis yang dapat membuat perempuan rentan dengan kegagalan karena terjun ke dalam situasi yang penuh tantangan.
Seringkali kondisi Glass Cliff dimanfaatkan sebagai ajang pembuktian kompetensi dalam suatu organisasi, perkumpulan, atau perusahaan yang menuntut perempuan untuk bekerja keras dalam mewujudkan kompetensi dan kualifikasi mereka, mengingat adanya skeptisme masyarakat terhadap perempuan sebagai pemimpin. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Macy Bayern dalam “Why risk-taking is vital for women to become leaders in the workplace” bahwa setengah dari perempuan yang disurvei setuju untuk maju dan mengambil risiko.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, sebagian besar wanita yang disurvei juga menjawab bahwa mereka takut untuk mengambil risiko yang akan mengancam kenyamanan mereka di tempat kerja. Dengan demikian, masyarakat haruslah memahami bahwa laki-laki dan perempuan tidak akan pernah menjadi sama baik secara psikologis dan fisiologis.
Yang harus kita ketahui bersama bahwa secara naluriah pria selalu berpikir bahwa ia bosnya dan selalu ingin menjadi pemimpin serta menjadi resah jika dalam relasi dengan pasangan ia berada di posisi selain posisi tersebut karena ini adalah dorongan alamiah dari dalam dirinya. Sejak zaman dahulu hingga kini, kita terpaku untuk selalu terdoktrin menerima fakta di lapangan bahwa bagaimanapun dan dimanapun laki-laki akan selalu menjadi pemimpin.
Namun perlu dipahami secara saksama bahwa zaman telah berubah. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan secara esensial dapat menjadi pemimpin karena pemimpin bukan terkait dengan gender, akan tetapi terkait dengan kemampuan, keahlian, karakteristik, dan keberanian dalam membuat suatu keputusan.
ADVERTISEMENT