Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Pentingnya Pelindungan terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga
28 Januari 2025 16:32 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah serius di Indonesia. Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan bahwa tahun 2024, telah terjadi total 28.789 kasus kekerasan. Dari total kasus tersebut, mayoritas korban adalah perempuan dengan 24.973 kasus. Sedangkan korban laki-laki berada di angka 3.816 kasus. Angka kasus kekerasan di Indonesia tahun 2024 terpantau meningkat cukup tinggi dibanding tahun 2023 dengan total 18.466 kasus (Abdurohman, 2024). Lebih lanjut, Kemen PPPA menjelaskan bahwa KDRT menjadi jenis kasus kekerasan tertinggi dalam kelompok kasus jumlah korban berdasarkan tempat kejadian. Terdapat 19.045 kasus KDRT yang dilaporkan sepanjang tahun 2024 (Abdurohman, 2024). Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa jumlah kasus perceraian karena faktor KDRT di Indonesia tahun 2023 mencapai 5.174 kasus (Rabbani, 2024).
ADVERTISEMENT
Data di atas secara umum menjadi gambaran bahwa Indonesia darurat kasus KDRT sehingga perlu mendapatkan penanganan serius. Meskipun Indonesia telah memiliki UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), namun ternyata penerapan aturan tersebut dianggap belum terlalu efektif. Masih kuatnya budaya patriaki di masyarakat, minimnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terkait UU PKDRT, dan belum adanya restitusi bagi korban menjadi beberapa kendala pelindungan korban KDRT. Tulisan ini mengkaji urgensi pelindungan terhadap korban KDRT. Pelindungan dibutuhkan agar setiap warga negara mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, tidak terkecuali KDRT.
Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, dan tenteram merupakan dambaan setiap orang dalam berumah tangga. Untuk mewujudkan hal tersebut, sangat bergantung pada kadar kualitas dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga (Widiastuti, 2017).KDRT merupakan salah satu isu sosial yang masih menjadi masalah serius di masyarakat. Meskipun telah ada upaya untuk menanggulanginya, namun kasus KDRT terus saja terjadi.
ADVERTISEMENT
KDRT dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, serta penelantaran ekonomi. Korban KDRT tidak hanya terbatas pada istri, namun juga dapat melibatkan anak-anak dan anggota keluarga lainnya (Rachmawati, 2024). Meningkatnya kasus KDRT menempatkan Indonesia darurat penanganan kasus KDRT. Menurut Kemen PPPA penyebab meningkatnya kasus KDRT sangat kompleks, mulai ketidaksetaraan gender yang terus berlangsung, kurangnya koordinasi dan kolaborasi antarlembaga penegak hukum dalam menangani kasus KDRT, lemahnya kesadaran masyarakat tentang hak dan kesetaraan gender, hingga budaya patriaki yang masih kuat di masyarakat (Dewi, 2024).
Tidak dipungkiri bahwa budaya patriaki turut berkontribusi dalam memicu KDRT. Dalam masyarakat patriaki, laki-laki sering kali diposisikan sebagai pihak superior, sedangkan perempuan dianggap lebih rendah. Kondisi ini menciptakan ketidakadilan gender yang menormalisasi kekerasan karena laki-laki dianggap memiliki hak lebih besar dalam menentukan aturan rumah tangga (Sugiarti, 2024). Dengan ketidakberdayaan posisi perempuan dalam budaya patriaki, maka secara tidak langsung akan memengaruhi pelaporan, penanganan, serta pemulihan korban KDRT karena korban menjadi takut dan enggan untuk melapor sehingga kasus KDRT akan terus terulang. Hal ini dipertegas oleh Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam Rilis Akhir Tahun 2024 yang menyebutkan bahwa jenis kejahatan yang paling banyak dilaporkan sepanjang tahun 2024 adalah kasus KDRT, yakni sebanyak 11.098 perkara (Safitri, 2024).
ADVERTISEMENT
Upaya Pelindungan Negara terhadap Korban Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pelindungan terhadap korban KDRT sangat urgen dilakukan, mengingat segala bentuk kekerasan, terutama KDRT merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi. Disahkannya UU PKDRT menjadi salah satu bukti upaya negara dalam memberikan pelindungan kepada korban KDRT. Akan tetapi sayangnya hingga hampir dua dasawarsa diberlakukannya aturan tersebut kasus KDRT justru makin meningkat. Oleh karena itu, pelindungan terhadap korban KDRT perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagai pihak termasuk pemerintah, lembaga masyarakat, dan masyarakat itu sendiri.
Pelindungan yang dimaksud, pertama: peningkatan edukasi dan berbagai kampanye anti kekerasan yang intensif hingga tingkat desa/kelurahan. Tidak dipungkiri bahwa kasus KDRT telah memunculkan stigma sosial sehingga korban seringkali malu atau merasa enggan melaporkan karena takut mendapatkan stigma sosial dari lingkungan. Dibutuhkan upaya besar dalam meningkatkan kesadaran masyarakat pentingnya melawan KDRT, menghilangkan stigma, serta memberikan dukungan terhadap korban KDRT. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan melakukan kampanye dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang KDRT (definisi, jenis-jenis KDRT, konsekuensi KDRT, dan sebagainya), memperkuat bimbingan perkawinan serta melakukan inovasi untuk mempermudah akses pelaporan bagi korban KDRT sebagaimana diamanatkan Pasal 12 UU PKDRT.
ADVERTISEMENT
Kedua, perlunya pelindungan ekonomi dengan memastikan tanggung jawab pelaku tidak hanya berhenti pada hukuman pidana saja, namun juga pemberian restitusi atau ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Sayangnya UU PKDRT belum mengatur hal tersebut. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan untuk melakukan revisi UU PKDRT dengan memasukkan hak restitusi ke dalam Pasal 10 terkait hak-hak korban KDRT. Materi mengenai restitusi korban dapat meliputi proses penghitungan kerugian, mekanisme pengajuan restitusi, hingga kejelasan pihak yang memiliki kewenangan dalam pelaksanaan penghitungan kerugian. Terkait dengan hal ini sebaiknya materi hak restitusi yang akan diatur nantinya dapat diselaraskan dengan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, dan PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perlunya penguatan jaminan rasa aman bagi korban KDRT melalui mekanisme perintah pelindungan. Pasal 10 UU PKDRT menegaskan bahwa perintah pelindungan dapat diberikan oleh pengadilan negeri untuk memberikan pelindungan segera kepada korban atau anggota keluarga korban yang terancam keselamatannya. Perintah pelindungan tersebut mencakup larangan bagi pelaku untuk mendekati korban dalam jarak tertentu, memerintahkan pelaku untuk meninggalkan rumah, serta memastikan keamanan korban melalui pengawasan dari APH (Pasal 16 UU PKDRT). Namun sayangnya implementasi aturan tersebut belum sepenuhnya efektif dilakukan karena minimnya kebijakan turunan yang menjelaskan mekanisme dan tata laksananya. Kondisi ini dinilai menyulitkan APH dalam memberikan pelindungan bagi korban KDRT. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan/aturan turunan yang mengatur bentuk, cara, dan prosedur pemeriksaan permohonan pelindungan yang dapat dilakukan terhadap korban KDRT sehingga dapat memberikan pelindungan yang efektif bagi korban.
ADVERTISEMENT
Keempat, perlu adanya kesamaan pemahaman dan keahlian penegak hukum dalam menangani kasus KDRT. Masih adanya perbedaan penafsiran antarpenegak hukum menjadikan laporan menjadi ditolak, tertunda, maupun berlarut-larut sehingga pelindungan terhadap korban KDRT tidak optimal. Untuk itu dibutuhkan sosialisasi intensif mengenai UU PKDRT bagi APH.
Kelima, perlunya penguatan pasal pemulihan korban KDRT. Pemulihan korban KDRT sangat dibutuhkan mengingat tidak sedikit korban KDRT yang mengalami trauma mendalam sehingga membutuhkan dukungan untuk memulihkan diri. Substansi ini sebenarnya telah diatur dalam Pasal 39 UU PKDRT, namun belum efektif dijalankan. Revisi diperlukan dengan memasukkan materi mengenai penguatan pemulihan korban KDRT yang diselaraskan dengan UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan KUHP yang baru seperti mekanisme pemantauan efektivitas program pemulihan korban KDRT, peningkatan kapasitas lembaga layanan sosial yang menangani pemulihan korban di setiap kabupaten/kota, rehabilitasi atau kerja sama dengan lembaga lain (LPSK) dalam upaya pemulihan korban KDRT, hingga peningkatan partisipasi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Keenam, perlunya penguatan pasal mengenai sanksi tambahan berupa konseling bagi pelaku KDRT. Sanksi tambahan berupa konseling sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf b UU PKDRT pada dasarnya dilakukan dengan tujuan agar mendorong pelaku mengambil tanggung jawab untuk menghentikan tindakan kekerasan dan meningkatkan kualitas hidupnya sendiri. Akan tetapi aturan tersebut belum efektif dilakukan karena ketidakjelasan anggaran maupun lembaga/mitra yang memfasilitasi konseling tersebut sehingga membingungkan pengadilan. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan revisi dengan memasukkan pasal, termasuk alokasi dana untuk fasilitasi konseling bagi pelaku KDRT.
ADVERTISEMENT