Konten dari Pengguna

'PR' dalam Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi 8%

Zilmi Haridhi
Seorang paralegal dan peneliti hukum di Edi Yunara, S.H & Associates Law Firm
18 Desember 2024 10:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar 1. Ilustrasi grafik pertumbuhan ekonomi. Sumber: Canva
zoom-in-whitePerbesar
Gambar 1. Ilustrasi grafik pertumbuhan ekonomi. Sumber: Canva
ADVERTISEMENT
Dalam laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2024, International Monetary Fund (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di 5%, dengan pertumbuhan tahun 2025- 2029 hanya mencapai 5,1%. Namun, Presiden Prabowo membuat target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Dalam sejarahnya, pertumbuhan Indonesia pernah mencapai level tertinggi pada 1973, 1977, dan 1995. Pada saat itu pertumbuhan ekonomi mencapai 8% meskipun rasio investasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tergolong rendah. Sementara itu, kontribusi konsumsi rumah tangga rata-rata mencapai 66% terhadap PDB dan belanja pemerintah rata-rata mencapai 10%. Menariknya, rasio investasi pada saat itu hanya 17,9% (1973), 20,1% (1977), dan 28,4% pada 1995.
ADVERTISEMENT
Kunci untuk pencapaian tersebut adalah perubahan struktural melalui industrialisasi dan meningkatkan peran modernisasi. Selain itu, faktor akumulasi kapital dan investasi fundamental di bidang kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan kelembagaan juga harus tetap ditingkatkan. Stimulus Keynesian melalui berbagai jalur perlu diidentifikasi untuk mendorong pertumbuhan. Jalur utamanya ada tiga, yaitu: pertama, kebijakan produktivitas tenaga kerja yang tepat untuk mengatasi kesenjangan produktivitas yang masih tinggi. Kedua, terobosan memaksimalkan efek pertumbuhan jangka pendek dari investasi pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kelembagaan. Ketiga, hilirisasi dan modernisasi sebagai perubahan struktural harus diprioritaskan.

Urgensi Pertumbuhan Ekonomi 8%

Dalam perhitungan Kementerian PPN/Bappenas, untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah (Middle Income Trap/MIT), Indonesia harus tumbuh minimal 6-7%. Pertumbuhan ekonomi 8% diperlukan agar Indonesia keluar dari MIT dan mewujudkan cita-cita menjadi negara maju. Bonus demografi Indonesia diprediksi mulai berakhir pada 2030 sehingga momentum itu harus dimanfaatkan sebelum bonus demografi berakhir. Dibandingkan dengan negara berpenduduk besar lainnya seperti China dan India, dalam 16 tahun terakhir ini Indonesia belum pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.
ADVERTISEMENT
Rata-rata pertumbuhan India berada di 8-9%. Sementara China dalam 20 tahun terakhir, pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2007, yakni 14,23%. Pertumbuhan mendekati 8% terakhir dicapai China pada 2012. Namun, itu pun ternyata belum menjamin India dan China keluar dari MIT. Mereka menghadapi tantangan jauh lebih besar untuk mengubah status menjadi negara berpendapatan tinggi.
Bank Dunia mengusulkan strategi yang terdiri atas tiga fase agar negara-negara MIT bisa keluar dari jebakan tersebut, disesuaikan pada tahap perkembangan ekonomi setiap negara. Negara-negara berpendapatan rendah disarankan dapat berfokus pada kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan investasi atau fase 1i, ketika suatu negara mencapai status berpendapatan menengah ke bawah, maka perlu memperluas arah bauran kebijakannya ke fase 2i, yakni investasi dan infusi yang terdiri dari adopsi teknologi dari luar negeri dan mengakomodasinya ke seluruh aspek perekonomian. Sementara, pada tingkat berpendapatan menengah ke atas, negara-negara tersebut harus mengubah arah bauran kebijakan ke fase 3i yang terdiri dari penguatan investasi, infusi, dan inovasi.
ADVERTISEMENT
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah kestabilan, inklusivitas, dan keberlanjutan pertumbuhan itu perlu dijaga. Jangan sampai memaksakan dengan mengorbankan kestabilan dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) secara berlebihan. Pengalaman krisis moneter tahun 1997-1998 di Indonesia menjadi pelajaran berharga bahwa jangan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga harus memitigasi risikonya.
Pertumbuhan 8% perlu dicapai dengan tetap berhati-hati (prudent) dalam menjaga stabilitas moneter dan fiskal serta tetap memerhatikan aspek lingkungan, pemerataan, dan sosial budaya masyarakat yang seimbang. Terkadang ekonomi bisa tumbuh terlalu cepat (overheating). Overheating terjadi ketika ekonomi mencapai batas kapasitasnya untuk memenuhi semua permintaan individu, perusahaan, pemerintah, dan beberapa produsen tak dapat memasok semua barang yang diminta konsumen. Hal ini dapat menyebabkan harga naik lebih cepat daripada yang seharusnya. Tentu hal tersebut perlu dihindari.
ADVERTISEMENT

Tantangan dalam Mencapai Target Pertumbuhan Ekonomi 8%

Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tidak dapat hanya berpatokan pada angka akhir yang tinggi, namun setiap komponen rencana pemerintah yang akan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi harus berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah sudah harus memperhitungkan nilai keberlangsungan dan manfaatnya bagi masyarakat.
Secara umum, ada beberapa tantangan yang akan dihadapi dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%. Pertama, meningkatkan angka pekerja formal melalui transmigrasi serta penguatan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Pekerja formal juga menjadi tantangan di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif. Kedua sektor ini diidominasi oleh pekerja informal dan perlu penguatan terlebih dahulu untuk dapat memformalkan pekerja informal pada kedua sektor ini.
Kedua, optimalisasi hilirisasi dan antisipasi cadangan nikel yang terlalu dieksploitasi. Pemerintah Indonesia berencana memanfaatkan cadangan nikel, bekerja sama dengan produsen mobil listrik internasional untuk pengembangan baterai. Kendati hilirisasi terlihat menjanjikan, pemerintah tetap perlu memerhatikan keberlangsungan lingkungan atas smelter nikel. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia menyatakan bahwa cadangan nikel berkualitas Indonesia dapat habis dalam waktu 6 tahun ke depan atau sekitar tahun 2030.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perlunya anggaran makan gratis yang ketat namun tepat sasaran. Pemerintah perlu membuat standarisasi sistem makan gratis secara nasional yang dapat disesuaikan dengan kondisi tiap daerah. Keempat, tantangan mempertahankan pertumbuhan ekspor. Indonesia saat ini sangat bergantung pada pasar ekspor China. Bank Dunia memperkirakan ekonomi China akan mengalami pelambatan dengan proyeksi pertumbuhan hanya mencapai 4,6%, yang merupakan penurunan sebesar 0,4% dari perkiraan Januari 2023. Proyeksi untuk 2025 pun menunjukkan tren pelemahan yang berlanjut, dengan perkiraan pertumbuhan hanya sebesar 4,4%, serta kondisi geopolitik yang semakin tidak menentu dan pasar global yang mulai melambat, tantangan untuk meningkatkan ekspor Indonesia semakin besar. Hal ini menjadi peringatan bagi ekspor Indonesia dalam jangka menengah hingga panjang, jika tidak segera mengalihkan fokus pada pasar-pasar lain.
ADVERTISEMENT
Kelima, kebijakan fiskal yang serius guna menunjang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hingga saat ini UMKM terus berkembang dan jumlahnya semakin meningkat. Selain itu, banyak UMKM yang sudah menggunakan teknologi digital sebagai alat bantu penjualan mereka. Artinya, UMKM tidak hanya bertambah secara kuantitas namun juga mengembangkan potensi mereka masing-masing. Kendati demikian, beberapa kebijakan fiskal untuk UMKM perlu dilakukan penyesuaian kembali dengan kondisi terbaru karena digitalisasi dan perlunya sosialisasi masif. Kontribusi pajak UMKM masih rendah padahal jumlah wajib pajak UMKM sudah meningkat, mengindikasikan banyak UMKM baru yang belum paham tentang perpajakan.
Keenam, insentif fiskal dan pembiayaan kreatif untuk menunjang pertumbuhan ekonomi hijau-biru dan ekonomi syariah. Pemerintah sudah mengesahkan pajak karbon melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tanggal 7 Oktober 2022, namun sayangnya pajak ini masih belum dijalankan hingga saat ini. Padahal menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pajak lingkungan dapat dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu pajak energi, pajak transportasi, pajak atas polusi, dan pajak atas sumber daya.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, penggunaan pajak lingkungan harus difokuskan secara eksklusif untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Indonesia masih banyak tertinggal dalam pengaplikasian pajak lingkungan, selain harus disesuaikan dengan industri yang akan terkena pajak. Pajak lingkungan akan membebani industri rumah tangga jika tidak hati-hati dan hanya akan membuat harga barang menjadi mahal karena harga pokoknya meningkat. Masih kurangnya dukungan fiskal dalam ekonomi biru maupun ekonomi hijau menjadi tantangan sendiri karena go-green merupakan salah satu langkah presiden dalam menaikkan pertumbuhan ekonomi.
ADVERTISEMENT