Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
Konten dari Pengguna
Quo Vadis Keanggotaan Indonesia dalam BRICS
28 Januari 2025 16:34 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemerintah Brasil sebagai Ketua bergilir BRICS tahun 2025 (kelompok negara yang mencakup Brasil, Rusia, China, India, dan Afrika Selatan), mengumumkan bahwa Indonesia secara resmi telah tergabung sebagai anggota penuh BRICS. Pernyataan itu diumumkan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Brasil, pada 6 Januari 2025, yang juga menyebutkan bahwa sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dan berpenduduk terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki kesamaan dengan negara-negara anggota BRICS dalam mendukung reformasi institusi-institusi global dan berkontribusi secara signifikan dalam memperkuat kerja sama Dunia Selatan (Global South) (“Indonesia Resmi Jadi”, 2025).
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia, melalui Kemlu RI, menyambut positif diumumkannya keanggotaan Indonesia secara penuh dalam BRICS oleh Brasil selaku Ketua BRICS 2025. Kemlu RI menyatakan, BRICS menjadi wadah penting bagi Indonesia dalam menguatkan kerja sama, memastikan suara dan aspirasi dari negara-negara berkembang (Global South), di luar Eropa dan Amerika, terdengar dan terwakili dalam proses pengambilan keputusan global (Triatmojo, 2025).
Keanggotaan Indonesia dalam BRICS menarik untuk dianalisis, untuk diketahui lebih dalam mengapa Indonesia bergabung ke dalam kelompok negara-negara yang kerap disebutkan sebagai pesaing negara-negara Barat ini. Hal tersebut dianalisis secara singkat melalui tulisan ini, terutama dalam perspektif politik luar negeri bebas aktif Indonesia. Keanggotaan Indonesia dalam BRICS, sebagai perwujudan politik luar negeri bebas aktif, harus dapat memberi kontribusi positif bagi kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Keanggotaan dan Peran BRICS
BRICS, yang pada awalnya bernama BRIC (akronim dari Brasil, Rusia, India, dan China), pertama kali diperkenalkan oleh ekonom Goldman Sachs, Jim O’Neill, dalam penelitian bertajuk “Building Better Global Economic BRICs”, yang diterbitkan pada tahun 2001. Dalam penelitian itu, Jim O’Neill menggambarkan empat negara berkembang yakni Brasil, Rusia, India, dan China, jika pertumbuhannya dipertahankan dapat mendominasi ekonomi global (“Book Review: the BRIC”, 2013).
Pada 16 Juni 2009, KTT BRIC pertama diadakan di Ekaterinburg, Rusia. Pada KTT BRIC pertama tersebut dihasilkan pernyataan bersama pemimpin negara BRIC, yang antara lain menetapkan tujuan BRIC, yaitu untuk mempromosikan dialog dan kerja sama konstruktif di antara negara-negara anggotanya secara bertahap, proaktif, pragmatis, terbuka, dan transparan (“Joint Statement of the BRIC”, 2018). Melalui pernyataan bersama itu, para pemimpin BRIC ingin menegaskan bahwa dialog dan kerja sama negara-negara BRIC tidak hanya kondusif untuk melayani kepentingan bersama negara-negara berkembang, tetapi juga untuk membangun dunia yang harmonis dengan perdamaian abadi dan kemakmuran bersama.
ADVERTISEMENT
Setahun kemudian, keanggotaan BRIC bertambah dengan diterimanya Afrika Selatan sebagai anggota penuh melalui pertemuan Menlu BRIC di New York pada 2010. Kelompok BRIC berganti nama menjadi BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan). Afrika Selatan menghadiri KTT BRICS ke-3 di Sanya, China, pada 14 April 2011. Dalam perkembangan lebih lanjut, pada KTT BRICS 2023 di Afrika Selatan, kelompok ini membuka keanggotaan bagi negara-negara baru yang hendak bergabung. Saat itu, BRICS mengundang enam negara, yaitu Argentina, Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab untuk menjadi anggota. Seluruh negara yang diundang, kecuali Argentina dan Arab Saudi, menjadi anggota penuh BRICS pada 2024 (“Daftar Terbaru Negara”, 2025).
Melalui pengumuman pemerintah Brasil pada 6 Januari 2025, selaku Ketua BRICS 2025, Indonesia pun menjadi anggota penuh BRICS setelah sebelumnya menyandang status sebagai negara mitra. Keanggotaan penuh dalam BRICS diharapkan semakin membuka ruang dan kesempatan bagi Indonesia untuk memperluas pengaruhnya di arena global, termasuk dalam reformasi tata kelola internasional dan penguatan kerja sama ekonomi di antara negara-negara berkembang (Global South). Keanggotaan Indonesia dalam BRICS menambah potensi ekonomi kelompok ini, yang kini mencakup sekitar 30% PDB global, 20% perdagangan barang dunia, dan hampir separuh populasi dunia (“RI Resmi Gabung”, 2025).
ADVERTISEMENT
Data potensi ekonomi juga menunjukkan bahwa BRICS kini mendominasi sekitar 40% produksi dan ekspor minyak mentah global, sekaligus menguasai cadangan bahan mentah strategis untuk transisi energi hijau, seperti logam dan mineral langka (Cohen, 2025). Belum lagi potensi meningkatnya perdagangan intra-BRICS atau sesama negara anggota BRICS. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi BRICS tidak dapat diabaikan begitu saja oleh negara-negara di dunia, dan pada saat bersamaan, hal tersebut menjadi penopang bagi BRICS dalam menjalankan peran politiknya di tingkat global.
Implementasi Politik Luar Negeri Bebas Aktif
Keanggotaan Indonesia di forum BRICS mungkin saja akan dinilai tidak tepat oleh negara-negara Barat, yang selama ini juga memiliki hubungan baik dengan Indonesia dan telah terbangun kemitraan secara positif di arena internasional baik dalam kerangka kerja sama multilateral maupun bilateral. Sejumlah negara Barat itu pun bahkan menjadi investor dan penyandang dana dalam berbagai program pembangunan di Indonesia, seperti dari Uni Eropa dan Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat yang telah berjalan dengan baik selama ini, penilaian kritis Barat terhadap keanggotaan Indonesia dalam BRICS dapat saja tetap muncul dan mengemuka di kemudian hari. Hal tersebut terjadi karena Barat selama ini menganggap BRICS sebagai penantang dominasi perekonomian global mereka dan persepsi yang dibangun oleh Barat terhadap BRICS. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian Barat kerap memberikan penilaian yang tidak proporsional terhadap negara-negara BRICS.
Barat, misalnya, sering kali menghadirkan stereotip negatif terhadap BRICS, terutama dalam hal tata kelola pemerintahan dan hak asasi manusia. Barat sering kali kurang mengakui kontribusi positif dan cenderung meremehkan peran BRICS dalam merumuskan agenda global. Barat sering kali hanya memandang BRICS sebagai kelompok ekonomi, tanpa mengakui inisiatif-inisiatif lain yang telah dirintis BRICS. Padahal, faktanya, BRICS juga telah berupaya membangun kerja sama dalam berbagai bidang, termasuk diplomasi, pendidikan, dan keamanan global.
ADVERTISEMENT
Merespons pandangan yang menilai kritis keanggotaan Indonesia ke dalam BRICS, kiranya dapat dipahami jika langkah yang diambil Indonesia tersebut merupakan implementasi dari prinsip politik luar negeri bebas aktif, di samping memajukan kepentingan negara-negara berkembang (Global South). Prinsip “bebas” ditafsirkan sebagai bebas dari intervensi pihak luar dalam memutuskan kebijakan luar negeri. Sementara prinsip “aktif” berarti Indonesia tidak hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri melainkan juga berkontribusi pada penciptaan tatanan internasional yang damai, adil, dan sejahtera. Kebijakan bebas dan aktif memungkinkan Indonesia menjaga keseimbangan antara kekuatan Barat dan non-Barat tanpa terikat pada satu pihak.
Meskipun demikian, keanggotaan Indonesia dalam BRICS bukan tanpa tantangan. Indonesia harus dapat mengantisipasi dinamika hubungan internasional di tengah pertarungan geopolitik global yang terjadi saat ini. Pertarungan geopolitik global direpresentasikan oleh adanya saling memperkuat pengaruh di antara kekuatan negara-negara Barat (diwakili AS dan Uni Eropa) dan negara-negara besar dunia pesaing Barat di blok yang berbeda (diwakili oleh Rusia dan China yang tergabung dalam BRICS). Terkait hal ini, melalui prinsip politik luar negeri bebas aktif, pemerintah Indonesia diharapkan mampu mengelola tantangan tersebut, termasuk dalam mencari peluang kerja sama, baik dengan negara Barat maupun negara BRICS, terutama untuk mendukung prioritas pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Melalui keanggotaan Indonesia di forum BRICS, secara politik Indonesia diharapkan dapat memperkuat daya tawarnya di panggung diplomasi internasional, mengingat BRICS memiliki anggota inti negara-negara besar (terutama Rusia, China, dan India) yang turut memengaruhi tatanan global. Melalui keanggotaan di dalam BRICS, Indonesia lebih leluasa mengaktualisasikan perannya sebagai pemimpin negara-negara berkembang. Meskipun demikian, Indonesia perlu untuk terus menjaga hubungan baik dengan Barat.
Politik luar negeri Indonesia tidak boleh berpedoman pada kecenderungan untuk berpihak pada salah satu kubu. Negara-negara Barat juga merupakan mitra strategis bagi kepentingan nasional Indonesia. Oleh karena itu, keanggotaan Indonesia dalam BRICS diharapkan tidak saja dapat berperan dalam menjaga keseimbangan antara kekuatan Barat dan non-Barat, tetapi juga dapat berperan sebagai jembatan penghubung yang mempertemukan kepentingan negara-negara maju dan negara-ngara berkembang (Global South).
ADVERTISEMENT