Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Urgensi Revitalisasi Bahasa Daerah Melalui Undang-Undang
17 September 2024 15:05 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Zilmi Haridhi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bahasa daerah memiliki peran vital dalam menjaga keanekaragaman budaya dan multikurturalisme di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meresmikan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional dan menetapkan Dekade Internasional Bahasa Daerah (International Decade of Indigenous Languages-IDIL) 2022-2032. Peresmian multibahasa ini merupakan usaha menjaga persatuan dalam keragaman budaya, termasuk bahasa daerah sebagai kekayaan Indonesia yang mencakup 718 bahasa, dengan 326 bahasa di Papua.
ADVERTISEMENT
Kemudian, data The United Nations Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) menunjukkan 40% dari sekitar 6.700 bahasa yang digunakan terancam hilang. Berdasarkan data Ethnologue pada 2016, Indonesia memiliki 707 bahasa masih hidup dan 12 bahasa punah. Sementara rentang waktu 2018-2019, tercatat ada 36 bahasa aman, 19 bahasa stabil tetapi terancam punah, 3 bahasa mengalami kemunduran, 10 bahasa terancam punah, 5 bahasa kritis, dan 11 bahasa punah. Fakta ini diperburuk dengan adanya 29 bahasa terancam punah dan 43 bahasa mengalami kemunduran pada 2021. Data dari berbagai lembaga tersebut menunjukkan bahasa daerah menghadapi ancaman kepunahan yang serius. Hal ini bisa dipahami karena penggunaan bahasa daerah didominasi oleh Generasi Pre-Boomer yang lahir pada 1945 dan sebelumnya, yaitu sebesar 87,13%.
ADVERTISEMENT
Dalam rangka perlindungan dan penyelamatan bahasa daerah, pemerintah telah menetapkan kebijakan revitalisasi daerah dengan fokus di pendidikan, sehingga masih perlu memperkuat penggunaan bahasa daerah di masyarakat dan pemerintahan. Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional dapat menjadi momentum untuk merefleksikan bagaimana aplikasi bahasa daerah di lingkungan pendidikan, masyarakat, dan pemerintahan, serta memperkuat kerangka regulasinya. Hal ini sejalan dengan pendapat Ganjar Kurnia, yang menekankan peringatan ini seharusnya mempertimbangkan penggunaan bahasa ibu dalam konteks bermasyarakat dan menjadi refleksi bersama untuk melestarikan bahasa daerah.
Analisis Kebijakan Revitalisasi Bahasa Daerah dan Kerangka Regulasinya
Revitalisasi bahasa daerah telah dilaksanakan pada beberapa masa pemerintahan, dengan fokus meningkatkan penggunaan bahasa daerah di wilayah yang masih kental dengan budaya lokal dan bahasa daerah sebagai pengantar di pemerintahan daerah. Kebijakan ini dilaksanakan melalui Program Intensifikasi Pembinaan Bahasa di masa Orde Baru, penggunaan bahasa daerah di pemerintahan daerah pada masa reformasi, dan Program Gerakan Nasional Penguatan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
Saat ini, revitalisasi bahasa daerah menjadi kebijakan pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan eksistensi bahasa daerah di Indonesia yang terancam punah. Kepala Badan Bahasa menyatakan revitalisasi bahasa daerah adalah tahapan strategis setelah pemetaan, pengukuran daya hidup atau vitalitas, dan konservasi bahasa. Kebijakan ini dimulai dari inisiasi Badan Bahasa pada 2021, dengan merevitalisasi beberapa bahasa daerah di 3 provinsi dengan 5 bahasa daerah pada 2021, 13 provinsi dengan 30 bahasa daerah pada 2022, dan 22 provinsi dengan 59 bahasa daerah pada 2023, dengan generasi muda sebagai sasaran utama. Ada 3 model digunakan, yaitu Model A untuk bahasa aman dengan pendekatan berbasis sekolah; Model B untuk bahasa rentan dengan pendekatan berbasis sekolah dan komunitas; dan Model C untuk bahasa mengalami kemunduran/terancam punah/kritis dengan pendekatan berbasis komunitas, keluarga, atau di pusat kegiatan masyarakat. Selanjutnya, dilaksanakan juga Program Merdeka Belajar Episode Ke-17 pada 2022 dan Festival Tunas Bahasa Ibu Nasional (FTBIN) 2023 dengan tema Revitalisasi Bahasa Daerah dalam rangka Hari Bahasa Ibu Internasional 2023 bertema Pendidikan Multibahasa – Kebutuhan untuk Mengubah Pendidikan.
ADVERTISEMENT
Kebijakan revitalisasi bahasa daerah didasarkan pada Pasal 32 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Kerangka regulasinya lainnya, yaitu UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan; PP No. 57 Tahun 2014 tentang Pengembangan Pembinaan dan Pelindungan Bahasa dan Sastra serta Pengingkatan Fungsi Bahasa Indonesia; dan Perpres No. 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai dasar penggunaan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah. Meskipun sudah memiliki dasar konstitusional, pengaturan kebijaka revitasliasi bahasa daerah yang lebih kuat, jelas, dan terukur dengan dasar konstitusi yang lebih komprehensif masih diperlukan. Hal ini disebabkan adanya tanggung jawab negara dan hak asasi manusia, serta beberapa pasal terkait bahasa daerah selain Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Urgensi Undang-Undang Bahasa Daerah
Landasan konstitusional bahasa daerah terdapat dalam Pasal 32 ayat (2), Pasal 18A ayat (1), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Landasan konstitusional mengatur secara tegas bahwa bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional (Pasal 32 ayat (2) UUD 1945). Selain itu, bahasa daerah berkaitan dengan hubungan kewenangan pemerintahan memperhatikan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1) UUD 1945); pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2) UUD 1945); penghormatan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional (Pasal 28I ayat (3) UUD 1945); dan tanggung jawab negara untuk pelindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia (Pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Beberapa norma tersebut menunjukkan negara memiliki tanggung jawab negara untuk melindungi dan melestarikan bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan budaya nasional, serta memastikan hak konstitusional dan hak asasi manusia masyarakat menggunakan bahasa daerah. Karenanya, bahasa daerah perlu pengatuan sesuai dengan kebutuhan hukum filosofis untuk melaksanan fungsi pelindungan negara.
ADVERTISEMENT
Pemerintah telah melaksanakan tanggung jawab negaranya terhadap bahasa daerah melalui kebijakan revitalisasi bahasa daerah. Kebijakan ini didasarkan pada beberapa undang-undang, seperti UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU No. 24 Tahun 2009, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ini menunjukkan kerangka hukum revitalisasi bahasa daerah masih tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan lebih menitikberatkan penggunaan dan pembinaan bahasa daerah di pendidikan. Penggunaan bahasa daerah sebagai hak masyarakat dan di lingkungan pemerintahan belum memiliki kerangka hukum yang kuat. Oleh karena itu, ada urgensi hukum secara yuridis menngatur bahasa daerah secara komprehensif integral.
Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang komprehensif untk bahasa daerah karena statusnya sebagai komunitas internasional dan anggota PBB. Hal ini berdasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/56/262- Multilingualism dan No. A/RES/74/135-Rights of Indegenous People yang menyerukan pelestarian, pemajuan dan perlindungan semua bahasa terutama bahasa asli yang menghadapi kepunahan, termasuk minoritas linguistik, melalui upaya berkelanjutan untuk melestarikan, memajukan, dan merevitalisasi bahasa tersebut. Berdasarkan kedua Resolusi PBB tersebut, penguatan kerangka hukum secara komprehensif diperlukan untuk melindungi dan melestarikan bahasa daerah secara berkelanjutan sebagai hak tradisional masyarakat, karena bahasa daerah menghadapi ancaman kepunahan secara global dan nasional dengan didukung oleh data dari beberapa lembaga dan organisasi. Ini merupakan urgensi hukum bahasa daerah secara sosial kemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
Beberapa kebutuhan hukum tersebut menunjukkan pentingnya pemenuhan hak asasi manusia dan tanggung jawab negara atas bahasa daerah. Untuk itu, diperlukan penguatan kerangka regulasi bahasa daerah berupa regulasi yang lebih spesifik, komprehensif, dan integral sebagai dasar hukum sesuai dengan landasan konstitusional, yaitu undang-undang bahasa daerah.
Kesimpulan
Bahasa daerah perlu dilindungi dari kepunahan melalui kebijakan revitalisasi bahasa daerah. Namun, kerangka regulasi dan implementasinya belum memadai sehingga belum memenuhi pemenuhan kebutuhan hukum bahasa daerah.
Kemudian, diperlukan dukungan penuh oleh Pemerintah untuk revitalisasi bahasa daerah melalui fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan, dengan mengusulkan RUU Bahasa Daerah sebagai RUU Prioritas dalam Prolegnas dan segera membentuk undang-undangnya, memperjuangkan anggaran bahasa daerah, dan mengawasi kebijakan pemerintah terkait revitalisasi bahasa daerah.
ADVERTISEMENT