Konten dari Pengguna

Status 'Kawin Belum Tercatat' di Kartu Keluarga untuk Melindungi Anak dan Istri

Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh SH,MH
Guru Besar Sejak Tahun 2004. Saat ini adalah Dirjen Dukcapil Kemdagri. Pernah menjadi Karo Hukum dan Staf Ahli Bidang Hukum Politik dan HAM Kemdagri. Pernah menjabat sebagai PJ Gub Gorontalo tahun 2016-2017. Hobby Karate dan Bonsai. Ketua Umum Korpri
25 April 2022 5:53 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh SH,MH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh, SH. MH.
Ilustrasi Kartu Keluarga. Foto: kumparan dan shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Kartu Keluarga. Foto: kumparan dan shutterstock
Kawin belum tercatat adalah terminologi baru dalam khasanah hukum administrasi kependudukan di Indonesia. Selama ini hanya dikenal dua istilah yaitu kawin dan belum kawin. Setelah dilakukan kajian terhadap permasalahan perkawinan di Indonesia menyeluruh dari Sabang sampai Merauke, ditemukan fakta-fakta di lapangan ternyata terdapat dua klasifikasi perkawinan yaitu perkawinan yang pasangan kawinnya sudah memiliki buku nikah dan pasangan kawin yang belum nikah. Secara sosiologis keduanya hidup beranak pinak dan diterima dalam struktur sosialnya.
ADVERTISEMENT
Tentu saja kita harus mau menerima adanya realitas sosial ini. Memang ada sebagian kalangan menyatakan bahwa pasangan yang kawin belum memiliki buku nikah ini dianggap belum diakui oleh negara pernikahannya. Persoalan ini perlu dicarikan solusi yang bijak dan terbaik untuk memberikan perlindungan terhadap istri dan anak-anak. Per 30 Juni 2021 Dukcapil Kemedagri mencatat terdapat 66,2 juta lebih pasangan kawin. Sebanyak lebih 31,5 juta pasangan kawin tersebut terdata berstatus 'kawin tercatat' dan memiliki buku nikah. Sedangkan sisanya sebanyak lebih dari 34,6 juta pasangan kawin, berstatus 'kawin belum tercatat' alias belum mempunyai buku nikah. Artinya secara data lebih banyak pasangan kawin yang belum tercatat dan belum punya buku nikah. Dari data yang masuk ke Ditjen Dukcapil ini kemungkinan juga bisa terjadi karena pasangan kawin yang beragama islam belum melaporkan perkawinannya dan nomor buku nikahnya dan tanggal nikahnya ke Dukcapil. Hal ini terjadi karena dualisme Lembaga yang mencatat perkawinan yaitu untuk yang beragama islam di catat di KUA dan yang beragama non islam dan penghayat kepercayaan dicatat di Dukcapil.
ADVERTISEMENT
PENYEBAB KAWIN BELUM TERCATAT
Administrasi Kependudukan dalam tata Kelola pemerintahan merupakan hilir dan hulunya adalah peristiwa perkawinan. Setelah terjadi perkawinan, baru diadministrasikan di Dinas Dukcapil agar pasangan yang menikah mendapatkan dokumen kependudukan seperti KK dan KTP el. Di hulu masih terdapat masalah yang besar terutama masih banyak pasangan yang sudah menikah tetapi tidak memiliki buku nikah.
Dari hasil kajian Ditjen Dukcapil, terdapat 5 (lima) penyebabnya terjadinya kawin belum tercatat yaitu :
Pertama, multitafsir ketentuan sahnya perkawinan. Syahnya suatu perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur di dalam Pasal 2 yaitu: ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan pada ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan suatu perkawinan. Ayat (1) mengatur dengan tegas dan jelas tentang keabsahan suatu perkawinan, yaitu bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkawinan ialah apabila perkawinan tersebut dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dari mereka yang akan melangsungkan perkawinan.
ADVERTISEMENT
Kedua, Pencatatan Perkawinan. Di Indonesia meskipun sudah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur agar perkawinan dicatatkan misalnya bagi umat Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan bagi orang non beragama Islam harus dicatatkan di Dinas Dukcapil. Namun dalam kenyataannya tampaknya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan masih belum sepenuhnya dilaksanakan. Di kalangan masyarakat masih terdapat anggapan bahwa melaksanakan perkawinan cukup dengan hanya memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah memadahi dan telah menjamin keabsahan suatu perkawinan. Pencatatan perkawinan dipandang tidak lebih dari sekedar tindakan administratif yang tidak ada pengaruhnya terhadap keabsahan suatu perkawinan.
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, status hukum pencatatan perkawinan bukanlah merupakan faktor yang menentukan sahnya perkawinan, karenanya pencatatan perkawinan tersebut hanya merupakan kewajiban administratif yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Adapun faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing-masing pasangan calon mempelai. Diwajibkannya pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban administratif. Dalam putusan tersebut, ditegaskan pula oleh hakim konstitusi bahwa terdapat dua makna pentingnya kewajiban administratif berupa pencatatan perkawinan tersebut. Pertama, dari perspektif negara, pencatatan dimaksud diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis yang diatur serta dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Sekiranya pencatatan dimaksud dianggap sebagai pembatasan, pencatatan demikian tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusional karena pembatasan ditetapkan dengan Undang-Undang dan dilakukan dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kedua, pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara dimaksudkan agar perkawinan, sebagai perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh yang bersangkutan, yang berimplikasi terjadinya akibat hukum yang sangat luas, di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta autentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan yang bersangkutan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Artinya, dengan dimilikinya bukti autentik perkawinan, hak-hak yang timbul sebagai akibat perkawinan dapat terlindungi dan terlayani dengan baik karena tidak diperlukan proses pembuktian yang memakan waktu, uang, tenaga, dan pikiran yang lebih banyak, seperti pembuktian mengenai asal-usul anak yang tidak dapat dibuktikan dengan akta autentik maka mengenai hal itu akan ditetapkan dengan putusan pengadilan yang berwenang. Pembuktian yang demikian pasti tidak lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan adanya akta autentik sebagai buktinya.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Terjadinya Perkawinan Menurut Adat. Pada umumnya di Indonesia, perkawinan dalam pandangan adat memiliki makna bahwa perkawinan tidak hanya sebagai perikatan perdata, akan tetapi juga merupakan perikatan adat yang sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Dengan kata lain menurut hukum adat ini bahwa suatu ikatan perkawinan bukan hanya membawa akibat hukum terhadap hubungan-hubungan keperdataan misalnya hak dan kewajiban suami-istri, kedudukan anak, harta bersama, hak dan kewajiban orang tua, melainkan lebih dari itu menyangkut hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upcara adat dan keagamaan.
Berdasarkan pada data Kemensos (2021) saat ini di Indonesia terdapat lebih kurang 2300 kelompok komunitas adat terpencil yang saat erat dengan tradisi dan budaya lokal. Perkawinannya sudah dilakukan secara adat namun banyak yang belum dilakukan pencatatan oleh negara, misalnya di Suku Anak Dalam, Baduy, suku-suku di Papua, Mentawai, dan lain-lain. Pernikahan adat ini banyak yang dilakukan dalam pesta adat yang meriah, terbuka dan ramai, namun belum dilakukan pencatatan oleh negara sehingga pasangan yang sudah kawin belum memiliki buku nikah
ADVERTISEMENT
Keempat, Nikah Siri. Nikah siri diartikan sebagai nikah rahasia atau nikah di bawah tangan. Dikatakan nikah di bawah tangan karena pada pelaksanaan perkawinan tersebut tidak didaftarkan pada pencatatan perkawinan. Dalam nikah sirri ini ada suatu kondisi yang sengaja diciptakan untuk tidak menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa di antara kedua calon suami dan calon istri tadi telah resmi menjadi suami istri.
Saat ini sudah banyak pasangan menikah sirri yang melaporkan pernikahannya ke dinas Dukcapil agar ditulis dalam KK. Ini merupakan perkembangan yang positif, sehingga dapat dicatat dalam dokumen kependudukan siapa ayah, ibu dan anaknya.
Kelima, Perkawinan Antar Agama. Di Indonesia pada hakekatnya perkawinan harus dilakukan dalam agama yang sama, bila masih memeluk agama yang berbeda, perkawinannya tidak bisa dicatat oleh negara. Selain itu juga masih ada agama-agama leluhur atau penghayat yang belum mempunyai organisasi yang terdaftar di Kemdikbud dan agama-agama diluar yang saat ini diakui sebagai agama resmi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
HULU HILIR MASALAH PERKAWINAN
Banyak pengamat perkawinan salah mengerti dan menganggap bahwa hukum dan ekosistem perkawinan hanya sebatas pada UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pandangan ini tentu tidaklah tepat. Ekosistem dan Hukum Perkawinan meliputi pula di dalamnya UU Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). UU Perkawinan berada di hulu dan UU Adminduk berada di hilir. Jadi kesimpulannya bila urusan perkawinanya beres dan tuntas maka proses Adminduknya pasti benar dan mudah. Masalah yang terjadi adalah di hulunya masih banyak perkawinan yang bermasalah sehingga menyulitkan dalam tindakan pemerintah untuk melakukan administrasi kependudukan dari peristiwa perkawinan yang terjadi. Pertanyaannya adalah, perkawinan yang sudah terjadi dan belum memiliki buku nikah, ditulis apa status hubungannya perkawinannya dalam Kartu Keluarga ? apakah ditulis kawin ? atau ditulis belum kawin ? atau kawin belum tercatat ?
ADVERTISEMENT
Sebelum tahun 2016, status perkawinan dalam KK hanya ditulis 'Kawin', 'Belum Kawin', 'Cerai Hidup' dan 'Cerai Mati'. Namun bagi pasangan nikah yang tidak punya buku nikah/akta kawin, Dinas Dukcapil di daerah berbeda menyikapinya. Ada yang menulis status 'kawin' pada KK, ada pula yang menulis di KK 'belum kawin'. Dalam hal ini Dukcapil Ketika menerima pelaporan dari penduduknya, harus bertindak konkret, karena dalam KK ada kolom yang sifatnya mandatory harus diisi. Masalahnya, ketika ditulis di KK status 'kawin' atau 'belum kawin' menimbulkan implikasi hukum yang bagi suami, istri dan anak.
Apabila dalam KK ditulis statusnya “Belum Kawin” maka akan muncul implikasi terhadap istri, suami, dan anak yaitu a) suami dan istri dianggap belum kawin padahal peristiwa perkawinannya sudah terjadi sehingga apabila Dukcapil mencatat sebagai belum kawin dapat dianggap terjadi pembohongan/menerbitkan dokumen yg tidak sesuai dgn kenyataan, b) Kepala Dinas Dukcapil sangat takut terkena masalah hukum dan Kadis yang menandatangani kartu keluarga berpotensi terkena sanksi pidana karena memberikan keterangan yang tidak benar, c) Anak dianggap bukan anak dari ayahnya, d) Pihak perempuan dapat kawin lagi (Poliandri)
ADVERTISEMENT
Apabila dalam KK ditulis statusnya “Kawin” maka akan muncul Implikasi terhadap istri, suami, dan anak yaitu a) suami dan istri sudah kawin tetapi tidak ada buku nikah/akta perkawinan, b) pencatatan kelahiran anaknya yaitu tidak dapat memenuhi syarat fotocopy buku nikah/akta kawin sehingga terjadi kebingungan, apabila akta kelahiran ditulis sbg “anak seorang ibu” padahal peristiwa perkawinannya sudah terjadi (ayahnya sudah diketahui). Apabila akta kelahiran ditulis sbg “anak ayah dan ibu” namun tidak bisa memenuhi syarat buku nikah/akta kawin c) dengan status perkawinan di tulis Kawin, maka tidak bisa lagi diisbatnikahkan d)pasangan juga enggan mendaftar isbat nikah karena di KK sudah ditulis “Kawin”.
Dengan kondisi diatas yang masih berpotensi menimbulkan berbagai persoalan dalam kehidupan sosial, Dukcapil kemudian membuat kebijakan afirmatif untuk melindungi istri dan anak-anak dengan mencantumkan status yang paling sesuai dengan realitasnya yaitu status Kawin Belum Tercatat. Dengan status tersebut terdapat Implikasi terhadap istri, suami, dan anak yaitu: a) suami dan istri dianggap sudah kawin tetapi tidak ada buku nikah/akta perkawinan. Untuk itu diperlukan bukti pendukung lain misalnya surat pernyataan dari yang bersangkutan. SPTJM adalah dokumen pendukung sebagai pegangan bagi Dinas Dukcapil, b) Pencatatan kelahiran anaknya, yaitu dapat dicantumkan nama ayah dan ibunya dalam akta kelahiran dengan tambahan frasa yang perkawinannya belum tercatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, c) diperoleh data untuk ditindaklanjuti ke Isbat Nikah/ pengesahan perkawinan melalui penetapan pengadilan agama/negeri dan pencatatan perkawinan massal, d) status anak dalam KK bisa ditulis anak dan e) status istri di KK bisa ditulis istri.
ADVERTISEMENT
Disinilah tampak pentingnya administrasi kependudukan terhadap peristiwa perkawinan dilakukan dengan tepat. Setiap peristiwa perkawinan harus diadministrasikan dalam dokumen kependudukan berupa Kartu Keluarga dan KTP Elektronik. Kartu Keluarga adalah kartu identitas untuk keluarga yang memuat nama dan identias dalam satu keluarga. KTP Elektronik adalah kartu identitas pribadi. Dalam kartu keluarga penulisan status perkawinan bersifat mandatory atau wajib. Status yang harus dituliskan adalah Kawin Tercatat, Kawin Belum Tercatat, Cerai Hidup atau Cerai Mati. Status perkawinan tidak boleh dikosongkan. Selain itu, Status Hubungan Dalam Keluarga (SHDK) juga harus diisi yaitu kepala keluarga, suami, istri, anak, mertua, famili dan lainnya. Oleh karena itu Dukcapil harus menuliskan peristiwa penting yang dilakukan oleh penduduknya sesuai UU Adminduk. Dukcapil menuliskan sesuai kaidah UU Adminduk yaitu menuliskan terjadinya peristiwa perkawinannya secara jujur apa adanya. Apabila peristiwanya adalah perkawinan yang belum dicatat oleh negara dan belum memiliki buku nikah maka ditulis dalam KK “Kawin Belum Tercatat” sedangkan perkawinan yang sudah dicatat oleh negara dan sudah memiliki buku nikah maka status perkawinan di KK ditulis “ Kawin Tercatat”
ADVERTISEMENT
PERLINDUNGAN UNTUK IBU DAN ANAK
Dengan penerapan status perkawinan dalam kartu keluarga bagi pasangan kawin yang belum tercatat oleh negara dengan “Kawin Belum Tercatat” memberikan manfaat konkrit yang dirasakan oleh masyarakat antara lain: Pertama, memberikan kepastian mengenai status perkawinan dan hubungan dalam keluarga pada kartu keluarga. Kedua, memudahkan penduduk untuk mengakses berbagai layanan publik tanpa adanya diskriminasi (perlindungan hukum dan kepastian hukum). Ketiga,memberikan jaminan agar penduduk mendapatkan hak sesuai dgn status perkawinannya (sebagai istri/suami/anak).Keempat, mencegah terjadinya poliandri dan membatasi terjadinya perkawinan tanpa batas. Kelima, memberikan kepastian mengenai asal usul anak (siapa ayah dan ibunya). Keenam, memberikan kepastian apabila perkawinan yg belum tercatat tsb mengalami perceraian, baik melalui putusan pengadilan (setelah dilakukan isbat nikah dlm rangka penyelesaian perceraian sesuai ketentuan Kompilasi Hukum Islam) atau melalui surat pernyataan tanggung jawab mutlak perceraian belum tercatat. Ketujuh, dapat mulai membuka informasi tentang perkawinan siri dan perkawinan adat yg kemudian didorong dan dilanjutkan dgn isbat nikah
ADVERTISEMENT
*) Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh SH,MH adalah Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri.