Banalitas Demokrasi Pemilu Indonesia

Zuhad Aji Firmantoro
Zuhad Aji Firmantoro, merupakan dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia dan salah satu pendiri Center for Economic and Law Studies (Celios).
Konten dari Pengguna
7 Mei 2024 9:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhad Aji Firmantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pemilu.  Foto: Dok Kemenkeu
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah pergulatan sengit, akhirnya Mahkamah Konstitusi menyatakan permohonan sengketa hasil pemilihan umum tidak beralasan menurut hukum, dan karena itu permohonan ditolak untuk seluruhnya. Pasangan calon presiden dan calon wakil atas nama Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka kini ditetapkan KPU sebagai pemenang dengan perolehan suara sebesar 96.214.691. Sementara dua pasangan rivalnya yang lain masing-masing memperoleh 40.971.906 suara untuk Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan 27.040.878 suara untuk Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
ADVERTISEMENT
Ketegangan pemilu pasca reformasi biasa terjadi saat proses penghitungan suara. Karena tidak ada satu orang-pun yang dapat mengetahui secara pasti hasilnya. Kali ini berbeda. Tidak ada satu pun calon incumbent yang bertanding, tetapi hampir semua lembaga survei dengan penuh percaya diri memberitahukan kemenangan Prabowo-Gibran satu putaran jauh hari sebelum dilakukan pemungutan suara. Ketegangan itu baru muncul dirasakan, justru menjelang dibacakannya putusan sengketa hasil pemilu oleh MK.

Tentang Pembatasan Kekuasaan

Pemilu tahun 2024 diwarnai dengan perdebatan masa jabatan presiden yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia pasca reformasi. Pasal 7A UUD 1945 secara terang mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi selama-lamanya adalah lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
ADVERTISEMENT
Masih lekat dalam ingatan, awal tahun 2023 banyak elite politik melontarkan wacana untuk mengubah masa jabatan presiden dengan berbagai macam cara dan alasan. Pertama, dengan menunda pelaksanaan pemilu. Kedua, dengan memperpanjang masa jabatan presiden dalam satu periode masa jabatan. Ketiga, dengan menambah periode jabatan presiden menjadi boleh dipilih kembali pada periode ketiga.
Memang tidak ada penjelasan tunggal yang valid tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya untuk dua periode. Tetapi timbulnya wacana perubahan masa jabatan presiden tersebut cukup jelas membuktikan adanya niat pihak tertentu untuk memperlama kekuasaan presiden yang sedang menjabat.
Dalam hal ini presiden Joko Widodo. Wacana ini mendapat banyak perlawanan hingga kita memperoleh kejutan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut memaknai syarat usia minimal capres dan cawapres empat puluh tahun disepadankan dengan pengalaman pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
ADVERTISEMENT
Keterangan yang mulia Prof. Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya menyebut bahwa putusan ini diambil dalam rapat permusyawaratan hakim MK yang berlangsung luar biasa aneh dan diliputi pekatnya konflik kepentingan yang mulia hakim ketua MK Anwar Usman sebagai paman Gibran Rakabuming. Dari segi substansi, mayoritas ahli hukum berpendapat bahwa legal standing pemohon serta pertimbangan hukum dalam putusan juga sangat lemah.
Kelemahan itu sangat terlihat jika membandingkannya dengan putusan MK lain yang sama-sama mengadili soal syarat batas usia pejabat publik. MK selalu konsisten mengatakan pengaturan syarat batas usia pejabat publik sebagai open legal polcy. Artinya wewenang penuh bagi pembuat UU untuk mengaturnya sesuai kebutuhan. Kali ini MK berbeda sikap. Akhirnya tidak dapat disanggah, putusan MK ini berhasil menghantarkan Gibran Rakabuming menjadi calon wakil presiden terpilih dalam pemilu tahun 2024.
ADVERTISEMENT

Mengharapkan MK

Dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang tidak terpilih mengajukan permohonan sengketa hasil ke MK. Salah satu dalil yang diajukan oleh keduanya hampir sama, yaitu keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam memenangkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut dua atas nama Prabowo subianto-Gibran Rakabuming membuat pemilu berlangsung secara tidak adil. Itu berarti melanggar ketentuan pasal 22E ayat 1 UUD 1945 yang secara tegas mengatur pemilu harus dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Para pemohon sangat yakin presiden Joko Widodo telah menyalahgunakan bantuan sosial pemerintah untuk memenangkan Prabowo-Gibran selama pemilu tahun 2024. Keyakinan itu berusaha mereka buktikan dengan berbagai macam cara seperti menghadirkan saksi fakta, saksi ahli, dokumen surat, rekaman video, rekaman suara dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, pembuktian itu tidak berhasil meyakinkan mayoritas hakim MK. Dalam amar putusan nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024, MK menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Ada dua hal penting dalam putusan ini, yaitu mengenai kewenangan MK dan munculnya dissenting opinion dari tiga hakim yang mengadili.
Pasal 24C ayat 1 memberi wewenang MK untuk mengadili perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Peraturan MK nomor 4 tahun 2023 yang mengatur tentang hukum acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden dan Wakil Presiden) mendetailkannya dengan menyebut perselisihan hasil pemilu yang menjadi wewenang MK adalah perselisihan antara Peserta Pemilu dengan KPU mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Berdasarkan pengaturan tersebut maka seharusnya MK tidak berwenang mengadili pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu karena tidak berkenaan secara langsung terhadap hasil perolehan suara para calon. Tetapi nyatanya berbeda. MK menyatakan berwenang mengadili permohonan para pemohon dengan alasan terdapat indikasi tidak terpenuhinya asas-asas dan prinsip pemilu pada tahapan pemilu sebelum penetapan hasil yang berpengaruh terhadap hasil perolehan suara peserta pemilu.
ADVERTISEMENT
Meskipun permohonan ini pada akhirnya ditolak seluruhnya, tetapi tuduhan adanya kecurangan pemilu yang berakibat pada terlanggarnya konstitusi tidak bisa disimpulkan tidak terbukti sama sekali. Faktanya, yang mulia hakim Prof. Saldi Isra, yang mulia hakim Prof. Eni nurbaningsih dan yang mulia hakim Prof. Arif Hidayat menyatakan dissenting opinion. Mereka menyakini telah terbukti adanya kecurangan yang terjadi hingga harus dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa wilayah di Indonesia. meski ada perbedaan pendapat namun secara terperinci, kedelapan hakim MK yang mengadili perkara ini sepakat perlunya perbaikan pemilu Indonesia di masa yang akan datang.

Banalitas Demokrasi

Secara prosedural hukum, pemilu tahun 2024 memang sudah selesai. Banyak elite mengimbau supaya publik kembali pada rutinitasnya. Imbauan yang jika dibedah secara kritis seolah ingin mengatakan seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang pemilu adalah sebuah kewajaran. Pada kadar tertentu, pewajaran itu berisiko melahirkan banalitas demokrasi.
ADVERTISEMENT
Hanna arent dalam sebuah reportasenya yang fenomenal tentang peradilan Adolf Eichman memperkenalkan istilah banalitas. Sebuah istilah yang mengacu pada kondisi di mana kejahatan dianggap sebagai kewajaran. Kewajaran itu terjadi akibat dangkalnya pikiran dan perasaan manusia terhadap kejahatan yang terjadi. Pelaku kejahatan tidak mampu membayangkan keberadaannya sebagai korban. Dalam hal ini, banalitas demokrasi dapat diartikan sebagai sistem demokrasi yang kehilangan prinsip-prinsip substantif demokrasinya seperti pemilu yang bebas, jujur dan adil.
Banalitas demokrasi dapat saja terjadi lantaran tiadanya instrumen hukum yang memadai untuk mengadili kecurangan pemilu yang semakin menunjukkan kecanggihannya. Pelakunya dengan bebas tetap merasa menjadi orang baik. Pemilu tetap dianggap memenuhi asas bebas, jujur dan adil. Padahal semuanya semu, terhijab oleh prosedur formil hukum kepemiluan.
ADVERTISEMENT
Indonesia tidak boleh mundur kembali ke belakang. Perbaikan harus dilakukan. Sebagai alarm pengingat dan kehati-hatian, ada baiknya dibaca kembali pendapat yang mulia Prof. Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya: