Konten dari Pengguna

Menilik Ulang Politik Hukum Pendidikan Indonesia

Zuhad Aji Firmantoro
Zuhad Aji Firmantoro, merupakan dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia dan salah satu pendiri Center for Economic and Law Studies (Celios).
24 Mei 2024 13:26 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhad Aji Firmantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia dihebohkan dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang fantastis. Dari berbagai pemberitaan, diketahui banyak universitas negeri menaikkan UKT nya.
ADVERTISEMENT
Sebut misalkan Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Riau, Universitas Sriwijaya dan lain-lain. Kenaikan itu menimbulkan gelombang protes, terutama dari mahasiswa kalangan kelas menengah ke bawah.
Terhadap protes tersebut, Plt. Sekretaris Dirjen Dikti, Prof. Tjitjik Sri Tjahjandarie, Ph.D menanggapinya dengan menyebut bahwa pendidikan tingkat perguruan tinggi merupakan kebutuhan tersier yang bersifat pilihan.
Penjelasan ini sangat mengkhawatirkan, karena disampaikan di tengah tingkat pendidikan tinggi kita yang masih rendah. Data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tahun 2022 memperlihatkan jumlah total persentase penduduk Indonesia yang mengenyam bangku kuliah hanya 6,48%.
Masalah pendidikan Indonesia juga tercermin dari rata-rata IQ orang Indonesia yang sangat rendah dibanding dengan rata-rata IQ kebanyakan orang di dunia. Rata-rata IQ orang secara global adalah antara 85 sampai 115. Sementara menurut lembaga World Population Review, rata-rata IQ orang Indonesia hanya memiliki skor 78,49.
ADVERTISEMENT
Situasi ini makin memperoleh validasinya dari sulitnya anak-anak muda memperoleh pekerjaan. Menteri Tenaga Kerja menjelaskan fenomena ini disebabkan oleh tidak cocoknya pendidikan (mismatch) dengan kebutuhan dunia kerja.
Ini bukan hanya soal deretan angka-angka. Pernyataan pendidikan perguruan tinggi bersifat tersier atau pilihan tidak bisa dianggap sebagai pernyataan biasa. Pernyataan yang diucapkan oleh orang yang amat terpelajar, bisa dipastikan mewakili paradigmanya terhadap pendidikan. Dalam kacamata ilmu hukum, itu berarti tentang politik hukum Pendidikan Indonesia.

Pendidikan sebagai Hak

Pendidikan merupakan urusan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Perhatikan begitu banyaknya pasal dalam konstitusi yang mengatur tentang pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 28 C menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap orang indonesia.
ADVERTISEMENT
Pasal 28 E mempertegas kembali bahwa setiap orang Indonesia berhak memilih pendidikan. Pasal 31 mengulanginya dengan menyebut setiap warga negara memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
Berkenaan pembiayaan ini Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah harus memprioritaskan sedikitnya 20% dari total anggaran yang dimiliki untuk membiayai pendidikan.
Melihat pengaturan yang demikian, maka dapat diketahui bahwa konstitusi meletakan pendidikan bukan sebagai kebutuhan tersier. Konvenan internasional hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) menyatakan pendidikan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak ekosob biasa disebut sebagai hak positif (Positive right). Artinya hak yang dapat dipenuhi dengan membutuhkan banyak campur tangan negara. Karena itu, pemerintah harus benar-benar memperhatikan. Kelalaian terhadap pemenuhan hak pendidikan dapat menjatuhkannya dalam pelanggaran HAM (acts of ommission).
ADVERTISEMENT
Dua diantara banyak prinsip HAM adalah prinsip tidak dapat dicabut (inalienability) dan tidak dapat dibagi (indivisibility). Meski demikian, ada beberapa hak yang penerapannya dapat dibatasi (derogable right). Satu diantaranya adalah hak memperoleh Pendidikan.
Dalam situasi negara tidak mampu memenuhi hak warga negaranya untuk memperoleh pendidikan maka pendidikan dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat dilakukan dengan syarat yang ketat. Wajib diatur melalui Undang-Undang (UU) dan tidak dimaksudkan untuk mengabaikan pemenuhan HAM.
UUD 1945 Pasal 28J mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang demi menghormati hak orang lain dan tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
ADVERTISEMENT
Penjelasan ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 065/PUU-II/2004 dan putusan nomor 2-3/PUU-V/2007. Dalam pertimbangan hukumnya MK mengatakan bahwa secara sistematis, HAM yang diatur pasal 28A sampai dengan pasal 28I tunduk pada pembatasan pasal 28J UUD 1945.

Politik Hukum Pendidikan

Prof. Mahfud MD, mendefinisikan politik hukum dalam khasanah ilmu hukum sebagai legal polcy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan dengan membuat hukum baru atau merubah hukum lama demi mencapai tujuan negara. Dalam kalimat yang lebih sederhana Prof. Nimatul Huda menyebut politik hukum sebagai upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita negara.
Merujuk pada pengertian itu maka politik hukum setidaknya menjadi ranah tiga lembaga negara, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah dan Mahkamah Konstitusi (MK). MK dimasukan sebagai lembaga yang melakukan politik hukum karena putusannya dalam menguji sebuah UU sering kali menentukan arah bagi para pembuat UU. Tidak jarang putusan MK mengandung perintah, anjuran, saran, larangan atau kebolehan bagi pembentuk UU.
ADVERTISEMENT
Pendidikan dalam perspektif itu hendaknya diletakan sebagai proses untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, yaitu “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…”. Secara ideal, seluruh regulasi menyangkut pendidikan harus ditujukan ke sana.
Pernyataan pendidikan perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier, lebih tepat didudukan dalam kontek derogasi HAM. Derogasi atau pembatasan hak Pendidikan dalam praktiknya sudah diatur dengan pasal 34 ayat (2) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
Jangan terburu-buru menyimpulkan pasal ini membatasi tanggungjawab negara hanya pada penyelenggaraan pendidikan dasar. Putusan MK nomor 97/PUU-XVI/2018 menjelaskan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Bahwa meskipun menurut Pasal 17 ayat (2) UU 20 tahun 2003, jenjang pendidikan dasar meliputi sekolah dasar atau bentuk lainnya yang sederajat serta sekolah menengah pertama atau bentuk lainnya yang sederajat, frasa “minimal pada jenjang pendidikan dasar” pada pasal 34 tersebut tidak dapat diartikan pemerintah hanya bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Pendidikan dasar.
Semangat Konstitusi sesuai dengan tujuan bernegara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesungguhnya adalah memberikan pemenuhan hak atas pendidikan bagi warga negara semaksimal mungkin.
Tanggung jawab negara untuk membiayai pendidikan tidak berhenti hanya pada jenjang pendidikan dasar. Oleh karena itu, dari waktu ke waktu negara harus berupaya keras untuk memenuhi hak atas pendidikan kepada warga negaranya lebih baik dan lebih tinggi dari sekadar jenjang pendidikan dasar.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada putusan MK tersebut maka cara pandang pendidikan perguruan tinggi sebagai kebutuhan tersier atau pilihan adalah sebuah cara pandang yang tidak bisa dibenarkan dan harus dikoreksi. Sebab dinyatakan oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk membuat aturan dalam bidang pendidikan. Kekeliruan memahami politik hukum pendidikan beresiko pada terbentuknya aturan yang menyimpangi tujuan negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.