Konten dari Pengguna

Putusan MA untuk Kaesang (?)

Zuhad Aji Firmantoro
Zuhad Aji Firmantoro, merupakan dosen tetap di Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia dan salah satu pendiri Center for Economic and Law Studies (Celios).
13 Juni 2024 17:55 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhad Aji Firmantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep di kawasan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/1/2024). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep di kawasan Jalan Braga, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/1/2024). Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
ADVERTISEMENT
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dikabarkan menjodohkan Anies Baswedan dengan Kaesang sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Jakarta tahun 2024. Kaesang besar kemungkinan lolos syarat usia minimal calon Gubernur atau Wakil Gubernur berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 tertanggal 29 Mei 2024.
ADVERTISEMENT
Putusan itu mengubah pemberlakuan syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 9 tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 mengatur usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, sedangkan usia minimal calon bupati dan wakil bupati atau walikota dan wakil walikota adalah 25 tahun pada saat ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
MA menyatakan pasal ini bertentangan dengan pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
ADVERTISEMENT
Alasan utama MA mengabulkan permohonan itu ada dua. Pertama, MA menemukan adanya perubahan titik mulai penghitungan usia calon kepala daerah yang dilakukan oleh KPU. Pada tahun 2010, KPU menetapkan titik mulai penghitungan batas usia calon kepala daerah dilakukan sejak pendaftaran calon.
Tetapi pada tahun 2020 KPU menetapkan titik mulai penghitungan usia calon kepala daerah sejak penetapan pasangan calon. Perubahan itu membuat MA khawatir akan menciderai rasa keadilan warga negara dan tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum.
Kedua, pengaturan batas usia yang demikian dinilai memangkas original intent UU Nomor 10 tahun 2016. Terutama, dalam hal mengakomodir kesempatan anak-anak muda untuk berpartisipasi membangun bangsa dan negara. Sayangnya MA tidak menjelaskan lebih jauh tentang original intent yang dimaksudkan.
ADVERTISEMENT
Sejak lama terjadi perdebatan hukum mengenai batas usia sebagai syarat pejabat publik. MK meletakkan pengaturan tentang pembatasan usia dalam urusan kepemiluan sebagai open legal polcy atau dalam bahasa Indonesia disebut kebijakan hukum terbuka. Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007 mengatakan:
ADVERTISEMENT
Selain putusan tersebut, MK telah menggunakan konsep kebijakan hukum terbuka dalam banyak putusan. Misalkan putusan MK Nomor 16/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009, putusan MK Nomor 02/PUU-XI/2013 dan masih banyak lainnya. Berdasarkan putusan-putusan MK, dapat diperoleh pengertian kebijakan hukum terbuka (Open Legal Polcy) sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk UU untuk membuat kebijakan hukum.
Kebijakan hukum terbuka, sering kali diikuti dengan activism judicial (Aktivisme yudisial). Sebuah teori tindakan hakim atau pengadilan untuk melakukan kontrol atau mempengaruhi institusi politik dan administrasi dalam membuat keputusan dan kebijakan. Wujud tindakan ini biasanya berbentuk positive legislature atau pembuatan hukum oleh hakim melalui putusan pengadilan.
Pada sisi yang lain, dikenal teori judicial restraints (pembatasan yudisial) yang dalam praktiknya berbentuk negative legislature. Dalam teori ini, pengadilan menahan diri untuk tidak membuat putusan yang bersifat mengintervensi kewenangan legislatif dan eksekutif dalam membentuk hukum.
ADVERTISEMENT
Sayangnya tidak ada penjelasan yang terang mengenai batasan open legal polcy menurut konstitusi sehingga penerapan positive legislature dan negative legislature sering mengalami kekacauan. Karena itu, kebijakan hukum terbuka rentan ditunggangi oleh kepentingan pragmatis. Untuk mencegahnya, mesti dimengerti bahwa penggunaan judicial activism secara objektif merupakan langkah untuk menghindari kekosongan hukum yang terlalu lama karena menunggu proses pembentukan hukum di lembaga legislatif.
Pasal 6 Peraturan MA nomor 1 tahun tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil memberikan dua pilihan bentuk putusan. Pertama, bagi permohonan yang dikabulkan maka amar putusan MA menyatakan peraturan tidak sah dan memerintahkan kepada instansi bersangkutan untuk segera mencabutnya.
Kedua, bagi permohonan yang tidak dikabulkan maka amar putusan MA menyatakan menolak permohonan. Itu berarti MA mengatur dirinya sebagai negative legislature. Dalam perkara uji materiil kali ini MA menyimpanginya dengan membuat putusan bersifat positive legislature karena amar putusan MA membuat pengaturan baru mengenai titik awal penghitungan batas usia calon kepala daerah.
ADVERTISEMENT
KPU menghitung batas usia calon kepala daerah sejak tahap pendaftaran, kemudian diubah oleh MA menjadi sejak dilantik sebagai kepala daerah.

Tentang Mahkamah Agung (MA)

Banyak orang mencurigai MA sedang melayani kepentingan politik kelompok tertentu dalam putusan ini. Kelompok politik yang memiliki calon kepala daerah tetapi belum memenuhi syarat usia jika penghitungan usia minimal dilakukan sejak masa pendaftaran. Kecurigaan itu harus dimaklumi, sebab MA membuat aturan main sendiri dalam putusannya dengan argumentasi yang bertentangan dengan pendapat hukumnya di putusan perkara sebelumnya.
Pada tahun 2019, MA pernah melakukan uji materiil terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017. Objek yang diatur dalam pasal itu adalah sama dengan objek yang diatur dalam pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 yaitu tentang syarat usia calon kepala daerah. Dalam amar putusannya nomor 81 P/HUM/2019, MA menyatakan menolak permohonan uji materiil yang dimohonkan.
ADVERTISEMENT
MA beralasan bahwa maksud dan tujuan penerbitan pengaturan syarat usia calon kepala daerah adalah untuk memberikan kepastian hukum atau sebagai pedoman mengenai sejak kapan penghitungan syarat usia bagi calon kepala daerah yang akan mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah.
Pengaturan tersebut telah sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas kepastian hukum. Selain itu, pemberlakuan syarat usia calon kepala daerah justru dianggap oleh MA sebagai perwujudan perlindungan hak setiap warga negara untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah.
Pendapat itu kini berubah menjelang tahapan pendaftaran calon kepala daerah yang akan dibuka bulan agustus 2024 mendatang. Tiba-tiba MA menyatakan bahwa pengaturan KPU tentang penghitungan titik awal usia calon kepala daerah yang dapat diubah-ubah adalah melanggar prinsip kepastian hukum dan rasa keadilan.
ADVERTISEMENT
MA menyatakan aturan itu tidak sah dan membuat pengaturan baru:
MA sebenarnya tidak perlu sampai membuat putusan yang memuat pengaturan baru sekalipun isi suatu aturan dinilai buruk. MA cukup membatalkan saja. Kecuali norma yang bersifat open legal policy tersebut terang benderang melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable.
Bagi warga negara yang tidak setuju terhadap pengaturan demikian, maka selanjutnya dapat mengajukan mekanisme “legislative review”, yaitu dengan mengajukan usul perubahan kepada pembentuk peraturan sesuai dengan tingkatannya masing-masing, dalam hal ini KPU selaku pembuat PKPU.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya, pengaturan baru yang dibuat oleh MA tidak memiliki arti penting bagi rakyat. Meski demikian, sebagai sebuah negara nomokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan hukum, Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjalankan putusan MA walaupun berisiko pada terbunuhnya demokrasi.
Dalam situasi yang dilematis seperti ini, penelitian Sebastiaan Pompe yang akurat tentang MA menjadi penting untuk kembali dibaca. Pompe sejak lama telah melihat adanya infiltrasi kepentingan politik di tubuh MA. Dari waktu ke waktu, hakim MA memiliki kecenderungan lebih sadar politik, lebih memahami arti penting status.
Sayangnya, kesadaran itu justru diikuti dengan makin merosotnya standar profesional hakim. Di atas semua kritik putusan itu, Kaesang tengah mempersiapkan diri bertarung dalam pilkada Jakarta. Satu tahapan persyaratan pencalonan diselesaikannya. Tinggal dibungkus koalisi partai pendukung yang saat ini sedang dirancang. Nanti tiba saatnya rakyat Jakarta yang akan menentukan.
ADVERTISEMENT