Ambiguitas Era Post-Truth

Zuhri Triansyah
I post, therefore I am.
Konten dari Pengguna
21 Agustus 2020 22:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhri Triansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pixabay.
zoom-in-whitePerbesar
Pixabay.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sejarah panjang hak asasi manusia telah mendapat tempat sebagai norma hukum sebagaimana yang termaktub dalam Bab XA UUD NRI 1945 dan UU No 39/1999 tentang hak asasi manusia. Tak dapat disangkal pula, dalam konteks Negara hukum dan demokrasi kontemporer, kebebasan berpendapat menjadi salah satu dimensi penting dalam upaya mewujudkan demokrasi yang ideal dan seutuhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun di sisi lain, percepatan perkembangan di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi, terkhusus media sosial telah menghantarkan kita pada satu era baru dalam mengekspresikan diri maupun dalam upaya menyatakan pandangan terhadap serangkaian fenomena tertentu. Bahkan, tak sedikit pula yang menyebabkan bias informasi yang terjadi di sekitar kita hari ini.
ADVERTISEMENT
Jaminan Kebebasan Berpendapat
Secara konstitusional, konstruksi Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 dan Pasal 23 ayat (2) UU hak asasi manusia menjamin kebebasan berpendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun di sisi lain, setiap orang dibebankan pula kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia orang lain dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Lebih dari itu, dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis (Pasal 28J ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945)
ADVERTISEMENT
Post-Truth
Pada tahun 2016, Oxford menjadikan kata “post-truth” sebagai word of the year, sebagian besar penggunaan kata ini, hampir selalu disematkan pada dua momen politik paling berpengaruh di tahun 2016; yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) serta terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (Syuhada: 2017: 76). Secara konseptual, menurut Oxford Dictionary, istilah post-truth dimaknai sebagai sebuah keadaan di mana orang lebih menanggapi hal tersebut berdasarkan perasaan dan keyakinannya dibanding fakta atau realita itu sendiri. Dalam hal ini, dapat dipahami bahwa perkembangan dunia digital telah menghantarkan kita pada berbagai informasi yang dengan seketika dapat kita akses melalui internet dan tak sedikit pula informasi tersebut disebarluaskan oleh seseorang sebagai bentuk “keyakinannya” terhadap fenomena tertentu, yang seringkali pula patut dipertanyakan berulang kali darimana asal muasal sumbernya.
ADVERTISEMENT
Siapa, Menyampaikan Apa, Dengan Keilmuan Yang Bagaimana?
Tak dapat disangkal pula, era digitalisasi telah mempertontonkan kepada kita bagaimana sebenarnya distribusi informasi dapat diperoleh dengan langsung dan begitu cepat kepada masyarakat. Namun, demi terwujudnya suatu keseimbangan dalam distribusi informasi. Sekiranya kita perlu mengidentifikasi tentang “Siapa, Menyampaikan Apa, Dengan Keilmuan yang Bagaimana?” sebagai sebuah landasan dalam memahami suatu fenomena atau gejala sosial tertentu, terkhusus berbagai hal yang berkaitan dengan bidang keilmuan terkait. Dalam memahami suatu perspektif tertentu di media sosial, tentunya ini menjadi kewajiban bagi kita semua untuk melakukan identifikasi secara mendalam dan komprehensif tentang bidang yang disampaikan oleh seseorang tersebut dalam menanggapi fenomena tersebut.
Dalam hal ini, tentunya kita membicarakan tentang keahlian atau kepakaran, secara sederhana menurut Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul “The Death of Expertise”, menjelaskan bahwa pakar adalah orang-orang yang jauh lebih tahu mengenai satu pokok bahasan dibandingkan dengan kita semua. Mereka adalah sosok yang kita cari ketika membutuhkan nasihat, pendidikan, atau solusi dalam bidang pengetahuan tertentu. Dalam hal ini bukan berarti bahwa pakar mengetahui segalanya. Walaupun, berdasarkan sifatnya, pakar di bidang apa pun adalah sekelompok minoritas yang pandangannya cenderung lebih “otoritatif”, namun hal yang disampaikannya memiliki kemungkinan benar yang lebih besar dan akurat dibandingkan dengan pandangan orang lain.
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara kita membedakan para pakar di antara kita? Menurut Tom Nichols, keahlian yang asli, yaitu jenis pengetahuan yang diandalkan orang lain, tidak terukur. Lebih dari itu, terdapat empat aspek dalam menandakan keahlian atau kepakaran yakni, pendidikan, bakat, pengalaman, dan pengakuan dari rekan sejawat.
Mengutip Tom Nichols, argumentasi yang berdasarkan prinsip dan data adalah tanda kesehatan intelektual, dan itu sifatnya vital bagi sebuah demokrasi. Tentunya, ini akan menjadi tantangan para pakar di bidang apapun untuk menyampaikan kebebasan berpendapatnya guna memberikan pemahaman dan menjelaskan sekomprehensif mungkin sesuai dengan bidang yang ia geluti terhadap suatu fenomena tertentu, serta sudah sepatutnya berbagai pertanyaan dari kalangan awam tersebut dapat dijawab dengan ilmiah berlandaskan keilmuan dan data yang valid pula. Di sisi lain, secara pribadi tentunya kita perlu untuk berpikir lebih jernih dan kritis dalam memahami suatu fenomena tertentu berdasarkan sumber yang jelas, guna tidak terjadi bias informasi dan ambiguitas dalam menemukan realita yang sebenar-benarnya terhadap suatu fenomena tertentu di tengah era post-truth saat ini.
ADVERTISEMENT
Zuhri Triansyah, Tim Redaksi Legal Talk Indonesia.