Dimensi HAM Kebijakan Larangan Mudik

Zuhri Triansyah
I post, therefore I am.
Konten dari Pengguna
22 April 2021 22:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhri Triansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: CNN Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: CNN Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dalam upaya mencegah penyebaran COVID-19 khususnya menyambut hari raya Idul Fitri, maka secara resmi pemerintah melalui Satgas COVID-19 telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 13 tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) yang disertai dengan addendum yang mengatur pengetatan persyaratan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri (PPDN) selama H-14 peniadaan mudik (22 April - 5 Mei 2021) dan H+7 peniadaan mudik (18 Mei - 24 Mei 2021). Tentunya, hal ini juga telah menunjukkan adanya pertentangan dua kategorisasi HAM yaitu antara hak kebebasan bergerak dan hak atas kesehatan. Lantas, manakah yang harus diproritaskan diantara keduanya?
ADVERTISEMENT
Derogable vs Non-Derogable Rights
Secara historis, lahirnya berbagai instrumen hukum dan HAM Internasional pun secara tegas menyatakan bahwa Negara memiliki kewajiban (State Obligation) terhadap pemenuhan HAM. Lebih dari itu, dalam studi hukum dan HAM, dikenal pula dua kategorisasi hak yaitu hak yang dapat dikurangi (derogable rights) dan hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Dalam hal ini, jika mengacu pada Pasal 4 ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagaimana pula yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12/2005, secara eksplisit menyatakan bahwasanya dalam keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya, yang telah diumumkan secara resmi, Negara-negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini diperkenankan untuk mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk mengurangi kewajiban-kewajibannya terhadap HAM dan mensyaratkan sejauh memang sangat diperlukan dalam situasi darurat tersebut. Selain itu, langkah-langkah tersebut juga tidak diperbolehkan bertentangan dengan serangkaian kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak boleh mengandung unsur diskriminasi ras, warna kulit, gender, bahasa, suku, budaya, dan agama.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, mengacu pada Pasal 1 ayat (2) ICCPR, secara jelas instrumen hukum dan HAM ini telah meletakkan hak kebebasan bergerak sebagai hak yang bersifat dapat dikurangi (derogable right) dan hak atas kesehatan sebagai hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable right). Maka dalam hal ini, tentunya Pemerintah telah diberikan legitimasi untuk melakukan pelarangan mudik mengacu pada ICCPR, yang mana di sisi lain pemerintah pun telah menetapkan Pandemi COVID-19 sebagai Bencana Nasional melalui Keppres Nomor 12/2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran COVID-19. Sekaligus, bahwa Pemerintah telah menunjukkan komitmennya untuk meletakkan hak atas kesehatan diatas hak kebebasan bergerak.
Sinergitas dan Konsistensi Kebijakan
Sinergitas dan konsistensi kebijakan merupakan kunci dalam upaya membangun kepercayaan publik (public trust) terhadap komitmen pemerintah baik di tingkat pusat dan daerah untuk mengakhiri pandemi, mengingat kasus korupsi bansos yang terjadi beberapa waktu yang lalu, tentunya telah mengikis kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah dalam penanganan COVID-19. Sinergitas kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah yang menimbang dan memprioritaskan kepentingan masyarakat dalam berbagai aspek ekonomi, sosial, dan budaya tentunya menjadi aspek yang tidak kalah penting dalam upaya mewujudkan kebijakan yang bersifat holistik dan komprehensif ini, termasuk distribusi vaksin yang berkeadilan. Meskipun, di sisi lain kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan juga menjadi kunci utama yang tidak terpisahkan dalam upaya merealisasikan ini sebagai bentuk solidaritas bersama untuk mengakhiri pandemi ini.
ADVERTISEMENT
Mengingat, hingga tulisan ini dibuat kasus COVID-19 telah menyentuh angka 1,62 juta, kesembuhan dengan total 1,48 juta, dan total 44.007 orang yang meninggal dunia.
Zuhri Triansyah, Akademisi UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi