news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Eksistensi Alam, Paradigma Antroposentrisme, Dan Mazhab Hukum Kodrati

Zuhri Triansyah
I post, therefore I am.
Konten dari Pengguna
4 April 2020 2:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhri Triansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber foto: christofferrelander.com/we-are-nature
Sudah barang tentu, bumi merupakan sebuah planet yang menjadi bagian dari tata surya yang di dalamnya terdapat berbagai spesies makhluk hidup yang saling ketergantungan satu sama lain dalam proses kehidupan dan perkembangannya. Santer juga berbagai pemberitaan di media cetak maupun online mengenai berbagai bentuk bencana alam yang terjadi di pelbagai belahan dunia tak terkecuali di Indonesia seperti banjir, longsor, kebakaran hutan dan lahan, global warming, menipisnya lapisan ozon dan berbagai bencana alam lainnya yang sangat berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup yang secara langsung juga berdampak pada kehidupan manusia sehari-hari sebagai bagian dari sistem alam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2004, High Level Threat Panel, Challenges and Change PBB, memasukkan degradasi lingkungan sebagai salah satu dari sepuluh ancaman terhadap kemanusiaan. World Risk Report yang dirilis German Alliance for Development Works (Alliance), United Nations University Institute for Environment and Human Security (UNU-EHS) dan The Nature Conservancy (TNC) pada 2012 pun menyebutkan bahwa kerusakan lingkungan menjadi salah satu faktor penting yang menentukan tinggi rendahnya risiko bencana di suatu kawasan. (Website DLH Pemkab Bandung)
Berkenaan dengan isu degradasi lingkungan, terdapat dua faktor penyebab kerusakan lingkungan yakni faktor alam dan faktor perbuatan manusia, dalam berbagai hasil riset mengenai kerusakan lingkungan menunjukkan bahwa yang menjadi faktor dominan dalam permasalahan degradasi lingkungan ini ialah perbuatan manusia itu sendiri. Faktor dominan ini menunjukkan dalam perspektif etika lingkungan hidup, manusia cenderung menggunakan paradigma antroposentrisme dalam realitas sosialnya.
ADVERTISEMENT
Paradigma Antroposentrisme memandang bahwa manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar sebagai alat pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain yang ada di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian, sejauh dapat menunjang dan demi kepentingan manusia. Manusia dianggap sebagai penguasa alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam, termasuk melakukan eksploitasi alam dan segala isinya, karena alam atau lingkungan dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri. Etika hanya berlaku bagi manusia. Segala tuntutan mengenai kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap lingkungan hidup, dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. (Sonny E Keraf: 2010) Paradigma Antroposentrisme menujukkan kecenderungan egosentris bahwa manusia merupakan puncak dari sistem alam tersebut yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ideologi hukum, khususnya mazhab hukum alam atau yang dikenal dengan hukum kodrat memandang bahwa alam harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan perlunya kesadaran atas posisi manusia untuk menyesuaikan dengan kepentingan atau tatanan normatif yang terdapat pada alam tersebut, maka tolak ukur aliran hukum alam terhadap esensi hukum, terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam adalah kebaikan, maka lakukanlah kebaikan dan bertindaklah secara adil dan apa yang jahat dan tidak adil harus dihindari. Hakikat ini merupakan aturan alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan, dalam hukum abadinya, sehingga norma-norma dasar pada aliran hukum alam ini bersifat kekal, abadi, dan universal.
Oleh karena esensi hukum menurut hukum alam adalah kepentingan alam yang berupa kebaikan maka jelas tolak ukurnya terletak pada moral. Tujuan hukum menurut aliran hukum alam harus mengandung nilai-nilai moralitas yakni untuk menuntun masyarakat menuju kebaikan dan mentaati hukum karena merasa wajib secara moral sehingga dapat membuat masyarakat yang baik secara moral. (Muhamad Erwin: 2019)
ADVERTISEMENT
Perkembangan abstraksi pandangan mazhab hukum alam terkait dengan korelasi antara manusia dan alam, direfleksikan dengan kepedulian masyarakat internasional melalui instrumen hukum yakni Deklarasi Stokholm tahun 1972 di Swedia, The United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut tahun 1982, Konperensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conperence on Environment and Development/UNCED) di Rio tahun 1992, serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.
Berkenaan dengan hukum positif di Indonesia, komitmen diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) merupakan landasan dalam upaya pengelolaan lingkungan yang bertujuan melindungi kerusakan lingkungan, menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem, keadilan bagi generasi masa kini dan masa mendatang, perlindungan hak asasi manusia, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dan mengantisipasi isu lingkungan global. Dalam ruang lingkup pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup di laut, tujuan yang hampir serupa juga tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
ADVERTISEMENT
Berangkat dari berbagai permasalahan yang timbul di bidang lingkungan hidup yang berdampak serius terhadap kehidupan manusia saat ini maupun pada masa mendatang, maka diperlukan pergeseran paradigma yakni dari paradigma antroposentrisme menuju paradigma ekosentrisme yakni pemahaman tentang lingkungan meliputi kepedulian moral yang diperluas sehingga mencakup seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Paham ekosentrisme semakin diperluas dan diperdalam melalui teori deep ecology yang menyebut dasar dari filosofi Arne Naess tentang lingkungan hidup sebagai ecosophy, yakni kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Dengan demikian, manusia dengan kesadaran penuh diminta untuk membangun suatu kearifan budi dan kehendak untuk hidup dalam keterkaitan dan saling ketergantungan satu sama lain dengan seluruh isi alam semesta sebagai suatu gaya hidup yang semakin selaras dengan alam. (Sonny E Keraf: 2010)
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, sudah sepatutnya pengelolaan lingkungan hidup ini dimulai dan menekankan pada kebijaksanaan dan kesadaran terhadap diri sendiri dimulai dari hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang bahan kimia di aliran sungai, dan lain sebagainya, karena mengubah pola hidup menjadi salah satu langkah awal dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup. Kendatipun demikian, dalam ruang lingkup yang lebih besar, hal ini juga membutuhkan keterpaduan dalam keterlibatan dari seluruh elemen, baik masyarakat hukum adat, pemerintah pusat maupun daerah, perusahaan, non-government organization, serta semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan lingkungan hidup guna melaksanakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang berlandaskan pada asas-asas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 UUPPLH guna mencapai tujuan sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 3 UUPPLH, maupun Undang-Undang tentang Kelautan. Keterkaitan antara moral dan hukum merupakan sebuah harmonisasi yang baik guna mewujudkan keberlangsungan dan kelestarian lingkungan hidup yang bermanfaat bagi manusia dan alam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa alam yang membentuk lingkungan hidup bagi manusia ini diciptakan dalam keseimbangan dan keserasian. Segala sumber dayanya diperuntukkan bagi umat manusia. Kehidupan manusia bergantung pada sumber daya alam. Sebaliknya, sumber daya alam juga bergantung kepada perbuatan manusia. Sebab, manusia dengan akalnya adalah makhluk paling mampu merusak sumber daya alam secara besar-besaran. Kendati pun di dalam Al-Quran, watak merusak yang dimiliki oleh manusia sendiri ini telah disinyalir oleh malaikat ketika Tuhan merencanakan penciptaan manusia. (QS. Al-Baqarah, 2:30)
ADVERTISEMENT
Zuhri Triansyah, Kandidat Magister Ilmu Hukum, Universitas Gadjah Mada, Klaster Hukum Internasional.