Prinsip Non-Intervensi dan Signifikansi ASEAN

Zuhri Triansyah
I post, therefore I am.
Konten dari Pengguna
4 Maret 2021 14:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuhri Triansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bendera negara anggota ASEAN. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bendera negara anggota ASEAN. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
54 tahun perjalanan ASEAN sebagai sebuah organisasi internasional di kawasan Asia Tenggara—yang dilegitimasi dalam norma hukum yakni ASEAN Charter atau Piagam ASEAN telah diratifikasi oleh seluruh anggota ASEAN—tentunya bukanlah suatu hal yang bersifat simplistik semata.
ADVERTISEMENT
Terlebih, norma hukum melalui Piagam ASEAN tersebut telah menjadi suatu landasan fundamental dalam upaya mewujudkan kemajuan dan stabilitas kawasan dalam berbagai sektor, meliputi keamanan, HAM, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 Piagam ASEAN.
Di sisi lain, hadirnya prinsip non-intervensi yang diadopsi Piagam ASEAN telah menjadi prinsip utama yang sekaligus telah berperan pula dalam menjaga keharmonisan dan batasan terhadap urusan internal negara-negara kawasan sejauh ini.
Di sisi lain, perkembangan terhadap kudeta yang terjadi di Myanmar beberapa waktu lalu telah berimplikasi pula pada isu pelanggaran HAM, khususnya yang terjadi terhadap para demonstran yang meninggal dunia. Tentunya aspek ini menjadi permasalahan penting dalam upaya mewujudkan nilai-nilai HAM yang ada di kawasan ASEAN, tak terkecuali di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Namun, negara-negara kawasan sangat perlu berhati-hati dalam menentukan sikap dalam merespons permasalahan yang terjadi di kawasan ASEAN, karena negara-negara kawasan perlu sangat menghormati prinsip non-intervensi yang diadopsi oleh ASEAN.
Lebih dari itu, sekiranya masih berbekas dalam memori kita mengenai permasalahan etnis Rohingya yang notabene berimplikasi pada kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia, bahkan ke beberapa negara lain di kawasan ASEAN, sebagai dampak permasalahan internal yang terjadi di Myanmar, sehingga menghambat kemajuan komunitas masyarakat ASEAN.
Selain itu, dengan dibentuknya The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) sebagai sebuah lembaga yang integral dari struktur organisasi ASEAN dan lembaga yang mewadahi dengan mengemban tanggung jawab keseluruhan untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia di ASEAN menjadi suatu refleksi penting dalam upaya merealisasikan nilai-nilai HAM.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Organisasi Internasional

Dalam memahami pentingnya organisasi internasional, terdapat dua perspektif utama, yakni Constructivism dan Neo-Liberalism.
Pertama, para konstruktivis mendukung hadirnya organisasi internasional. Mereka berpendapat bahwa organisasi internasional memiliki peran tidak hanya sekedar mengatur perilaku negara tetapi juga memodifikasi identitas dan kepentingan negara, yang pada gilirannya akan mengarahkan suatu tindakan negara.
Dalam hal ini, menurut Finnemore, ia mempercayai bahwa negara merupakan “normative-adaptive entities”. Artinya, melalui organisasi internasional, negara dapat menyesuaikan diri dengan norma internasional dalam menginformasikan kebijakan dan struktur domestiknya.
Kedua, neo-liberal atau institusionalis liberal berargumentasi dalam mendukung pentingnya organisasi internasional dalam mempromosikan kerjasama dan stabilitas. Neo-liberal menegaskan bahwa negara berkepentingan dengan memaksimalkan 'keuntungan absolut' mereka melalui penilaian terhadap kesejahteraan mereka sendiri, terlepas dari siapa yang menjadi saingan mereka (apa yang paling menguntungkan untuk saya?)
ADVERTISEMENT
Hal ini menjadi penting untuk mempromosikan kerja sama antar negara dalam menjaga “keuntungan” bersama. (Bayeh: 2014: 347)

Prinsip Non-Intervensi

Menurut Starke, prinsip non-intervensi merupakan sebuah prinsip yang menyatakan bahwa “penguasa politik” harus menghindari aliansi dengan negara lain, tetapi tetap mempertahankan diplomasi dan menghindari semua perang yang tidak berhubungan langsung dengan self-defense. Hal ini didasari dengan alasan bahwa negara tidak boleh ikut campur dalam politik internal negara lain, yang didasarkan pada prinsip negara kedaulatan dan penentuan nasib sendiri. Starke menyebut ungkapan dengan istilah “strategic independence”. (J.G Starke: 2007: 683)
Tidak dapat dipungkiri, meskipun prinsip non-intervensi telah berperan dalam menjaga keharmonisan dan stabilitas di kawasan ASEAN, namun di sisi lain juga telah menghambat fleksibilitas dari ASEAN selaku organisasi internasional dalam upaya melakukan penyelesaian permasalahan internal—khususnya HAM—di suatu negara kawasan yang berpotensi untuk berdampak pada negara-negara tetangga pula, terlebih terhadap solidaritas ASEAN dalam memajukan kawasan.
ADVERTISEMENT
Di tengah pesatnya perkembangan politik global, strategi mekanisme diplomasi aktif, proporsional, serta dilandaskan pada kepentingan kawasan ASEAN dapat menjadi jalan utama dalam upaya mencari solusi melakukan penyelesaian permasalahan yang berpotensi terjadi pelanggaran HAM yang berimplikasi pula pada terganggunya stabilitas dan kemajuan di berbagai negara-negara lain kawasan ASEAN.
Dalam hal ini, sekiranya prinsip non-intervensi perlu dilihat dalam berbagai sudut pandang dan pertimbangan pula, sehingga efektifitas hadirnya ASEAN dapat dimaksimalkan dalam mewujudkan cita-cita stabilitas keamanan serta kemajuan berbagai sektor di kawasan Asia Tenggara dalam bingkai solidaritas ASEAN.