Konten dari Pengguna

Pajak Karbon: Perlukah Desentralisasi?

Meifa Zuhrotul
Mahasiswa D4 Akuntansi Sektor Publik PKN STAN
5 Februari 2025 8:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Meifa Zuhrotul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan negara kepulauan, rentan terdampak krisis iklim . Berdasarkan data BRIN 2022, kota seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya terancam tenggelam karena naiknya muka air laut yang signifikan dalam dekade mendatang (Actiaclimate, 2024). Naiknya permukaan laut, cuaca ekstrem, dan kerusakan ekosistem menjadi momok nyata. Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, terdapat 4.940 bencana hidrometeorologi basah yang dipicu oleh perubahan iklim (Tristianty, 2024). Sebagai upaya untuk berkontribusi dalam mencapai target pengurangan emisi global dan mendukung implementasi Paris Agreement, Indonesia merespons dengan mengesahkannya pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan 2021. Namun, kebijakan yang sentralistis ini memicu pertanyaan, apakah keadilan iklim bisa tercapai jika daerah penghasil emisi tertinggi, seperti Jakarta, Surabaya, dan Kalimantan Timur tidak memperoleh bagian dari penerimaan pajak karbon?
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini bukan sekadar retorika, realitasnya PLTU Batubara menyumbang 40% emisi karbon secara global dari sektor energi, sedangkan DKI Jakarta penyumbang emisi transportasi darat tertinggi (Asnawi, 2024) (MAPID, 2025). Namun, penerimaan pajak karbon dari aktivitas tersebut hanya akan mengalir ke APBN tanpa mekanisme kompensasi langsung ke daerah. Masyarakat di wilayah terdampak justru menanggung eksternalitas negatif, seperti ISPA akibat polusi udara dan kerusakan lingkungan (Ardiansyah, 2023). Padahal, terdapat prinsip polluter pays yang mengharuskan pihak penyumbang emisi untuk membiayai pemulihan di wilayah terdampak. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat ketimpangan kebijakan pajak karbon di Indonesia, di mana pusat mengumpulkan dana sementara daerah menanggung beban.
Belajar dari negara lain yang terlebih dahulu menerapkan pajak karbon, desentralisasi pajak karbon bukan hal yang mustahil. British Columbia, menerapkan desentralisasi sejak 2008 dan terbukti berjalan efektif (Asmarani, 2021). British Columbia menerapkan pajak karbon sebesar CAD 40 per ton CO2 dan penerimaan pajaknya 100% dikembalikan ke masyarakat melalui potongan pajak penghasilan untuk rumah tangga berpenghasilan rendah, subsidi terbarukan, dan pembiayaan transportasi ramah lingkungan (Murray & Rivers, 2015). Hasilnya, emisi di British Columbia turun 5–15% tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi (Murray & Rivers, 2015). Kunci keberhasilan tersebut terletak pada prinsip keadilan dan transparansi yang masyarakat dapat lihat dan rasakan secara langsung dari manfaat pajak yang mereka bayar.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Swedia juga menerapkan tarif pajak karbon tertinggi di dunia, yaitu USD 119 per ton CO2 sejak 1991 (Barus & Wijaya, 2021). Penerimaan pajak karbon dialokasikan ke dana iklim kota digunakan untuk mendanai proyek fasilitas umum, seperti bus listrik di Stockholm, instalasi panel surya di pemukiman padat, dan renovasi bangunan hemat energi. Adanya kebijakan partisipasi tersebut, emisi Stockholm turun 75% sejak 1990 dengan target bebas bahan bakar fosil pada 2040 (OECD, 2023). Model tersebut bisa diadopsi di Indonesia untuk kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, dan Kalimantan Timur. Misalnya, pajak karbon kendaraan bermotor di Jakarta dapat diintegrasikan dengan dana lingkungan hidup untuk membiayai transportasi umum ramah emisi atau perbaikan serta perluasan wilayah terbuka hijau.
ADVERTISEMENT
Tiongkok juga menerapkan skema bagi hasil pusat dengan daerah sebagai bagian aksi iklim. Tiongkok menguji coba pajak karbon dengan skema penerimaan daerah digunakan untuk program efisiensi industri energi, sementara pusat digunakan untuk mendanai infrastruktur hijau nasional (Ran dkk., 2020). Desentralisasi emisi karbon berhasil menurunkan emisi dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah dalam mengelola dana untuk proyek mitigasi, seperti efisiensi energi dan rehabilitasi lahan industri (Sun dkk., 2024). Skema tersebut sukses karena mengurangi resistensi politik di mana pemerintah daerah mendapat insentif ekonomi untuk patuh pada kebijakan iklim.
Lalu, mengapa Indonesia tidak mengadopsi langkah progresif tersebut? Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan 2021 memosisikan pajak karbon sebagai instrumen sentralisasi, sedangkan belum ada aturan yang tertuang di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang mencantumkan pajak karbon sebagai objek bagi hasil. Akibatnya, daerah industri, seperti Riau, Kalimantan Timur yang menjadi penyumbang emisi terbesar tidak mendapat akses pendanaan untuk transisi energi. Padahal, APBD Kalimantan Timur masih bergantung pada sektor ekstraktif yang berasal dari hasil SDA, batu bara (Harefa, 2019). Tanpa alokasi dana khusus dari pajak karbon, cukup sulit bagi daerah untuk beralih ke energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan yang ada berpotensi memicu konflik antar pusat dan daerah, mirip dengan kasus sengketa bagi hasil migas yang terjadi di Provinsi Kalimantan Timur, sempat dilakukan protes terkait alokasi dana migas yang dianggap tidak adil. Apabila penerapan pajak karbon tetap tersentralisasi, ditakutkan terjadi resistensi serupa. Oleh karena itu, pemerintah dapat berupaya melakukan integrasi pada UU HPP dengan UU HKPD. Pertama, memasukkan pajak karbon sebagai objek Dana Bagi Hasil. Kedua, memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengenakan pajak tambahan pada sektor tertentu, seperti transportasi atau limbah melalui Perda. Skema bagi hasil dapat dirancang berbasis emisi, seperti daerah dengan kontribusi emisi di atas rata-rata nasional, misalnya Jakarta, berhak menerima 30–40% penerimaan pajak karbon dari aktivitas di wilayah mereka.
ADVERTISEMENT
Namun, pajak karbon yang didesentralisasi tidak lepas dari risiko, kapasitas teknis daerah yang beragam menjadi kendala utama. Wilayah kabupaten mungkin kesulitan dalam menghitung emisi maupun mengawasi penggunaan dana. Pada poin tersebut, peran pemerintah pusat sangat diperlukan. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Keuangan, pemerintah pusat bisa membentuk tim pendampingan teknis untuk melatih aparatur daerah dalam melakukan pelatihan untuk pengawasan emisi dan penganggaran. Selain itu, perlu juga dibentuk platform pemantauan emisi karbon nasional secara real time yang terintegrasi dengan sistem perpajakan pusat maupun daerah. Platform digunakan sebagai alat untuk memastikan transparansi alokasi dan memudahkan dalam proses audit oleh lembaga pemerintah maupun LSM. Insentif juga perlu diberikan kepada daerah yang berhasil mengurangi emisi. Pemerintah dapat menambah alokasi DAU atau memberikan penghargaan lainnya. Misalnya, Riau layak mendapat insentif jika berhasil menurunkan emisi dalam 10 tahun. Mekanisme tersebut akan mendorong kompetisi positif antar daerah dalam aksi iklim.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan usulan yang telah dipaparkan, muncul pertanyaan mendasar: siapkah Indonesia mengubah paradigma kebijakan iklim dari sentralisasi menjadi kolaboratif dengan daerah melalui desentralisasi? Jawabannya terletak pada keberanian dalam pengambilan keputusan. Apabila British Columbia bisa mengurangi emisi bersamaan dengan memakmurkan rakyatnya dan beberapa wilayah di Tiongkok bisa bertransformasi menjadi pusat industri hijau, mengapa tidak? Dana bagi hasil pajak karbon bukan sekadar transfer anggaran, tetapi juga investasi untuk menyelamatkan masyarakat dari krisis iklim dan membangun kepercayaan antara pusat dan daerah.
Pada akhirnya, keadilan iklim bukanlah konsep abstrak lagi. Pendapatan pajak karbon harus dirasakan oleh warga daerah yang menghirup udara tercemar akibat polusi udara, oleh warga Jakarta yang terdampak naiknya permukaan laut, atau oleh para petani yang gagal panen akibat perubahan iklim. Desentralisasi pajak karbon adalah langkah konkret untuk mewujudkan keadilan iklim yang bisa dirasakan merata dari Sabang hingga Merauke.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah, A. (2023, Agustus 28). Kasus ISPA Meningkat Akibat Polusi Udara di Jabodetabek. https://www.voaindonesia.com/a/kasus-ispa-meningkat-akibat-polusi-udara-di-jabodetabek-/7244205.html.
Asmarani, N. G. C. (2021, Mei 31). Bagaimana Negara-negara di Dunia Menerapkan Pajak Karbon? https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/30201/bagaimana-negara-negara-di-dunia-menerapkan-pajak-karbon.
Asnawi, A. (2024, Desember 9). Seruan Tinggalkan Energi Batubara, Waspada Solusi Palsu. https://www.mongabay.co.id/2024/12/09/seruan-tinggalkan-energi-batubara-waspada-solusi-palsu/.
Barus, E. B., & Wijaya, S. (2021). Penerapan Pajak Karbon di Swedia dan Finlandia Serta Perbandingannya dengan Indonesia. Jurnal Pajak Indonesia (Indonesian Tax Review), 5(2), 256–279.
Harefa, M. (2019). Relationship of Revenue Sharing with Regional Revenue and Poverty in East Kalimantan Province. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, 9(2), 147–160.
MAPID. (2025, Januari 3). [Geodata] Emisi Udara. https://mapid.co.id/blog/geodata-emisi-udara.
Murray, B., & Rivers, N. (2015). British Columbia’s revenue-neutral carbon tax: A review of the latest “grand experiment” in environmental policy. Energy Policy, 86, 674–683. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.enpol.2015.08.011
ADVERTISEMENT
Actiaclimate. (2024, Oktober 21). Darurat! Bencana Hidrometeorologi tantang Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. https://actiaclimate.com/bencana-hidrometeorologi-adaptasi-perubahan-iklim/.
Ran, Q., Zhang, J., & Hao, Y. (2020). Does environmental decentralization exacerbate China’s carbon emissions? Evidence based on dynamic threshold effect analysis. Science of The Total Environment, 721, 137656.
OECD. (2023). Climate Policies And Sweden’s Green Industrial Revolution Economics Department Working Papers No. 1778.
Sun, Y., Liu, M., & Lv, Y. (2024). Government environmental governance, fiscal decentralization, and carbon intensity of the construction industry. Scientific Reports, 14(1), 29001.
Tristianty, D. (2024, Januari 12). Catatan BNPB: Sebanyak 4.940 Bencana Terjadi Sepanjang 2023. https://www.rri.co.id/nasional/514245/catatan-bnpb-sebanyak-4-940-bencana-terjadi-sepanjang-2023.
Source: freepik.com