Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Panggil Aku Kartini Saja
22 April 2025 8:57 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Zul Fadli Rambe tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Belanda sebagai pelaku Kolonialisme paling betah di Indonesia itu, terkenal dengan agitasi dan perannya dalam sistem pendidikan dan pembelajaran di Indonesia. Mereka memiliki pengaruh begitu besar dalam pembentukan karakter anak bangsa, dengan mengutak-atik sejarahnya, mengobrak-abrik sistem keluhuran ketimuran nusantara menjadi sistem mereka, hingga memupuk-suburkan mekanisme pendidikan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Maka jangan heran, kita acapkali melihat kartini seringkali hadir sebagai representasi utama dari perjuangan kaum perempuan di Indonesia dalam buku-buku sejarah.
Kartini dimanipulir oleh Belanda sebagai alat propaganda untuk kepentingan mereka. Pada 21 April 1940, Kartini mulai dikultuskan oleh Komite Perajaan R.A. Kartini di Bioskop Orion, Medan. Koran-koran Belanda terus mempropagandakan Kartini dan Emansipasi lewat tulisan-tulisan mereka.
Sejarawan Tian Anwar membuat tulisan "Mengapa Harus Kartini?", sebuah tulisan bernada gugatan terhadap pengkultusan Kartini. Kurun waktu kebelakang, Guru Besar Universitas Indknesia, Prof. Harsja juga melawan penokohan berlebih terhadap Kartini lewat artikel "Kartini dan Peranan dalam Masyarakat Kita". Buku Habis Gelap Terbitlah Terang pun terbit setelah 5 tahun wafatnya Kartini, berjudul awal "Door Diusternis tot Lich" dengan isi buku penuh berbahasa Belanda.
ADVERTISEMENT
Padahal jelas, Kartini bukanlah orang yang gemar terhadap pengkultusan. Ia pun terang melawan Feodalisme, budaya Jawa serta adat istiadat masyarakat Jawa yang telah menjadi aturan tak tertulis yang sulit diubah.
Kartini anak dari seorang Bupati. Benar, ia yang menolak Feodalisme itu terlahir dari keluarga Feodal. Nasib itu kemudian membuatnya terjebak pada pilihan yang dilematis. Dia ingin mendobrak Feodalisme dan Kolonialisme Belanda, tapi ia juga takut melawan perintah ayahnya.
Kartini bersekolah. Meskipun pada masa itu, perempuan yang menempuh pendidikan cukup ditentang oleh adat Jawa. Masa itu memang perempuan hanya dibatasi oleh istilah "dapur, kasur, sumur" dan Kartini mendobrak istilah itu. Kartini menolak nasib perempuan yang hanya boleh memasak, melayani suami di tempat tidur dan mencuci pakaian. Baginya, perempuan punya hak yang sama untuk pintar. Perempuan punya hak yang sama untuk menempuh pendidikan.
ADVERTISEMENT
Itulah mengapa saat di sekolah, Kartini bertahan menghadapi diskriminasi terhadap warna kulitnya dan gendernya sebagai seorang perempuan. Namun, justru karena diskriminasi itulah Kartini mulai terbentuk pikiran dan perjuangan hak perempuan bagi generasi masa depan.
Setelah semua penolakan Kartini pada segala yang berbau Kolonialisme, penjajahan, Feodalisme dan apapun itu yang bertendensi diskriminatif pada perempuan, maka Kartini pun menolak gelar Raden Ajeng yang selama ini disematkan di namanya.
Lalu, atas semua pengkultusan tersebut, apa ini semua salah Kartini? Tidak. Mungkin apabila Kartini masih hidup, ia pun akan menolak penokohan berlebih yang tertuju kepadanya. Kemungkinan ini sejalan dengan buku dari Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan Kartini menolak dipanggil Raden lewat bukunya "Panggil Aku Kartini Saja".
ADVERTISEMENT