Konten dari Pengguna

Budaya Populer Merebak, Akankah Nasionalisme Terkikis?

Zulfa Salman
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran yang menulis sebagai santapan sehari-hari
28 Agustus 2022 19:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfa Salman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar merupakan hasil potret penulis
zoom-in-whitePerbesar
Gambar merupakan hasil potret penulis
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Globalisasi bukan hanya membawa manusia lebih dekat tetapi juga menjauh di saat yang sama. Batas antar negara memudar, satu dunia seolah berkumpul dalam satu wadah yang sama. Hilangnya batas ini memunculkan stigma negatif dari masyarakat bahwa kaum muda yang paling banyak terpapar teknologi telah kehilangan identitas serta jati diri dari bangsa mereka. Asap-asap kekhawatiran akan punahnya budaya tradisional (folklore) yang tergeser oleh budaya populer (popular culture) membumbung tinggi ke udara.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya apa budaya populer itu? Menurut Frankfurt, budaya populer merupakan budaya massa yang dihasilkan oleh industri budaya untuk menjaga stabilitas maupun kontinuitas kapitalisme. Sedangkan, Williams (1983) berkata lain.
Williams mendefinisikan kata “populer” menjadi empat bagian yang berbeda, yaitu banyak disukai oleh orang, jenis pekerjaan rendah, pekerjaan yang dilakukan untuk menyenangkan orang, serta budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Sementara itu Strinarti menjelaskan bahwa sebuah budaya yang menjadi tren dan diikuti maupun disukai oleh banyak orang memiliki potensi untuk menjadi budaya populer.
Budaya populer dipandang negatif bukan tanpa sebab. Salah satu dampak negatif dari budaya populer adalah ia memunculkan ketidakpuasan terhadap latar belakang baik ekonomi maupun sosial hingga ras dan warna kulit. Iklan kecantikan merupakan salah satu contoh sederhana dari dampak budaya populer tersebut.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai macam warna kulit mulai menganggap bahwa kulit putih dan bersinar adalah standar kecantikan yang berlaku tanpa pandang bulu. Media-media yang membombardir massa dengan segala kampanye “putih itu cantik” secara tidak langsung memaksa penonton untuk setuju terhadap apa yang diinginkan oleh si pembuat media.
Dikutip dari Marcuse, iklan juga kerap menggiring masyarakat menuju gaya hidup hedonistik yang cenderung menipu masyarakat untuk menghabiskan uang pada kebutuhan yang bersifat palsu.
Budaya populer di atas dapat terjadi berkat komunikasi lintas budaya. Tanpa komunikasi, pertukaran maupun perkawinan antar budaya tidak akan dapat terjadi. Anda mungkin tidak asing dengan ungkapan "we cannot not communicate" dari seorang ahli komunikasi asal Austria, Paul Watzlawick.
ADVERTISEMENT
Ungkapan tersebut adalah salah satu bentuk kesadaran manusia sebagai makhluk cerdas yang berada di tingkat paling sempurna. Dengan sifat dasar manusia akan kebutuhan untuk berkomunikasi, hubungan global yang kemudian mengalirkan budaya populer ke tangan masyarakat Indonesia ini mustahil untuk dihindari tanpa benar-benar menutup pintu relasi dengan bangsa lain dan merugikan segala aspek dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Westernisasi yang termasuk salah satu dampak yang dibawa oleh merebaknya budaya populer di negeri ini juga, tak dapat dimungkiri, perlahan menggerogoti nasionalisme bangsa. Muncul anggapan masyarakat yang berbudaya adalah yang terbelakang dan tertinggal arus kemajuan zaman, atau biasa disebut kolot. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan signifikan terhadap anggapan tersebut.
Budaya populer, kini, berkembang menjadi kultur yang berlomba-lomba untuk merangkul asal dari diri masing-masing, seperti suku, ras, warna kulit, bentuk tubuh, hingga bahasa ibu. Bila Anda berselancar di internet, wajah-wajah baru dari beragam latar belakang, suku, ras, dan agama akan menghiasi layar sebagai tokoh yang di era ini disebut sebagai influencer.
ADVERTISEMENT
Mereka memelopori gerakan embrace yourself (rangkul dirimu) yang kemudian diikuti oleh banyak perusahaan ternama ataupun tokoh masyarakat yang ingin menggaet lebih banyak konsumen serta suara dari kalangan muda.
Jadi, akankah budaya populer mengikis nasionalisme bangsa? Jawabannya tergantung kepada tren apa yang sedang dibawa oleh budaya populer tersebut dan bagaimana menanggapinya. Berkat budaya populer yang mengangkat isu sosial dan budaya ke permukaan, masyarakat Indonesia belajar untuk lebih mencintai budayanya sendiri yang amat beragam. Sebab, kini, definisi keren bukan hanya keseragaman monoton yang cenderung membuat kelompok tertentu terlihat superior.
Keren kini berganti menjadi keberagaman dinamis yang penuh harmoni. Kita bisa mengambil contoh tren berpakaian batik yang sempat hangat di kalangan anak muda beberapa waktu silam. Laman media sosial dipenuhi oleh gambar-gambar anak muda yang mengenakan rok ataupun kemeja batik dan berpose di depan kamera.
ADVERTISEMENT
Sebab itu, komunikasi lintas budaya tetap harus berjalan sebagaimana mestinya, berpikiran luas dan memahami bahwa keberagaman itu ada adalah kesadaran yang amat krusial ketika kita membicarakan hubungan antarbangsa. Sebagai bangsa yang majemuk, ganjil rasanya ketika kita masih tidak mampu merengkuh perbedaan yang ada di antara kelompok yang satu dengan yang lain. Menormalisasikan keberagaman pun adalah tren yang seharusnya dipopulerkan sejak ratusan tahun yang lalu.
Budaya populer tidak akan mengikis nasionalisme bangsa bila ditanggapi dengan cara yang tepat. Seperti Korean Wave yang sedang marak digandrungi masyarakat di kalangan remaja, hal itu dapat dijadikan sebagai ide serta inspirasi untuk membuat budaya Indonesia yang ribuan ragamnya dikenal serta diakui oleh dunia. Cross culture merupakan salah satu jalannya.
ADVERTISEMENT