Konten dari Pengguna

Jebakan Student Loan

Zulfa Salman
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran yang menulis sebagai santapan sehari-hari
10 Juli 2024 13:42 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfa Salman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Student Loan. Foto: iconicbestiary/Freepik
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Student Loan. Foto: iconicbestiary/Freepik
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Skema student loan adalah solusi yang malas dan akhirnya akan menjebak rakyat untuk nerimo pernyataan pemerintah bahwa pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier. Saat ini, pendidikan tinggi adalah hak setiap masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bulan Mei lalu dipenuhi aksi unjuk rasa mahasiswa dari berbagai kampus di Indonesia yang melayangkan protesnya atas kebijakan uang kuliah tunggal (UKT) yang dianggap memberatkan mahasiswa. Kemudian, perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB) menganjurkan mahasiswanya untuk mengambil pinjaman online (pinjol) sebagai tawaran solusi atas tingginya biaya UKT.
Aksi protes mahasiswa ditambah maraknya mahasiswa yang terjebak pinjol karena biaya UKT yang melebihi kesanggupan ekonomi berbuntut pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) meninjau kembali kemungkinan direalisasikannya wacana student loan. Sebelumnya, pada tahun 2004 Kemendikbud juga pernah mempertimbangkan wacana yang sama untuk diterapkan di Indonesia.
Meskipun skema student loan mungkin terlihat sebagai solusi yang aman untuk meningkatkan akses pendidikan tinggi di Indonesia, student loan dapat menjadi pedang bermata dua. Student loan sangat berpotensi menjebak mahasiswa dalam lingkaran utang piutang yang sangat berisiko dalam jangka panjang.
ADVERTISEMENT
Student loan sendiri bukan kebijakan yang asing di dunia pendidikan, Negeri Paman Sam contohnya, adalah salah satu negara yang terkenal dengan kebijakan student loan-nya. Mayoritas masyarakat Amerika Serikat bergantung pada student loan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di negara maju seperti Amerika sekali pun, kebijakan ini terbukti menyeret masyarakat menjadi budak kredit dalam jangka yang panjang, lebih buruk lagi, seumur hidup. Sistem student loan ini biasanya membebankan mahasiswa dengan cicilan berjangka setelah mereka lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan.
Namun, saat ini, pasar kerja di Indonesia dihiasi dengan persaingan yang tinggi dan perbedaan upah yang signifikan, terutama untuk fresh graduate. Sulit bagi fresh graduate untuk mendapatkan gaji yang sesuai dengan kualifikasi. Oleh karena itu, sulit bagi mahasiswa yang terlilit student loan untuk melunasi pinjaman, apalagi jika ternyata terdapat tambahan bunga. Maka, kebijakan ini tidak ada bedanya dengan pinjol.
ADVERTISEMENT
Hal ini diperparah dengan situasi sandwich generation di Indonesia yang diprediksi akan mengalami lonjakan. Per 2023, survei DataIndonesia.id menunjukkan sebanyak 46,3% Gen Z di Indonesia merupakan sandwich generation. Itu artinya, jika student loan diterapkan, generasi ini bukan hanya akan dibebankan cicilan student loan, tetapi juga biaya hidup sendiri dan tanggungan keluarga.
Jika diterapkan, sebagian besar target calon peminjam, yang merupakan Gen Z, tidak memiliki literasi keuangan yang cukup untuk memahami implikasi jangka panjang dari hutang, terutama bunga majemuk. Berdasarkan survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tingkat literasi keuangan Gen Z hanya mencapai angka sebesar 44,04%. Kurangnya transparansi dalam persyaratan pinjaman dan opsi pembayaran dapat menyebabkan mahasiswa terjebak dalam perjanjian yang tidak dipahami sepenuhnya dan berpotensi menjebak dalam kondisi yang merugikan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan tinggi yang berkualitas dianggap sebagai hak istimewa. Sesuatu yang hanya bisa diakses oleh sebagian orang saja. Padahal, pendidikan tinggi dan berkualitas harusnya adalah hak setiap warga negara yang disubsidi oleh pemerintah.