Konten dari Pengguna

Period Poverty dan Laki-laki Cerita tentang Menstruasi

Zulfa Salman
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran yang menulis sebagai santapan sehari-hari
10 Juli 2024 6:24 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfa Salman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi sakit perut menstruasi. Foto: sitthiphong/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sakit perut menstruasi. Foto: sitthiphong/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
“Bocor, bocor!!” seru teman-teman laki-laki Fasya ketika ia duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP). Satu hari sebelum ejekan itu, Fasya mengenakan rok berwarna putih, yang merupakan seragam wajib sekolahnya di hari Senin. Hari itu juga adalah hari di mana volume darah menstruasinya mengalir cukup deras.
ADVERTISEMENT
“Pas dilihat pake tangan, tuh, udah berdarah gitu. Itu banyak banget,” ujar Fasya yang saat ini telah menjadi mahasiswi di salah satu universitas di Jawa Barat.
Selepas hari itu, Fasya kerap mendengar seruan teman-temannya yang meneriakkan kata “bocor” kepadanya. Ejekan tersebut berlangsung selama berhari-hari. Bagi Fasya hal tersebut adalah pengalaman buruk yang akan selalu ia ingat.
Fenomena anak dan remaja laki-laki yang mencemooh teman perempuannya karena “ketahuan” sedang menstruasi di tempat umum, seperti sekolah, bukan sesuatu yang hanya dialami oleh Fasya saja. Fenomena ini terjadi di berbagai daerah.
Agtan, mahasiswa, menceritakan bahwa anak laki-laki di lingkungannya melakukan hal yang sama kepada anak-anak perempuan yang menstruasi.
“Kalau misalnya lagi menstruasi, ini aku ambil kasus ‘lagi’, eh bocor. Pasti dibercandain, ‘ih merah-merah’, ‘ih bocor-bocor’,” tutur Agtan.
ADVERTISEMENT
Fenomena anak-anak yang mencela teman perempuannya dan membuat perempuan diterkam malu dan dicengkeram rasa takut ketika menstruasi adalah salah satu masalah dari period poverty. Apa itu period poverty?
Westiani Agustin, aktivis perempuan dan pendiri Biyung Indonesia, menjelaskan, “Period poverty itu situasi di mana perempuan, keluarga, atau individu yang menstruasi mengalami kesulitan untuk mendapatkan hak kesehatan menstruasi.”
Ketika ditanya apakah kebutaan laki-laki terhadap menstruasi merupakan bentuk period poverty, Westiani mengiyakan. “Ketika kita menjalani menstruasi dengan rasa yang tidak nyaman dan ketakutan terutama terhadap laki-laki, itu berarti kita masih merasakan period poverty,” terang Westiani kepada penulis.
Ia menambahkan, hak kesehatan menstruasi sendiri mencakup beberapa pokok bahasan, di antaranya: asupan yang bergizi, rasa aman dan nyaman dalam menjalani menstruasi, alat tampung yang dipakai untuk darah menstruasi, self care, dan sanitasi.
ADVERTISEMENT
Seberapa tahu laki-laki terhadap menstruasi? Seberapa normal bagi laki-laki untuk membicarakan menstruasi? Agtan, Fakhri, dan Wiar, tiga mahasiswa di salah satu universitas di Jawa Barat akan menjawab.

Apa Stigma yang Melekat Pada “Menstruasi”?

Agtan menjelaskan bahwa sedari kecil, stigma yang ia tahu tentang menstruasi adalah perubahan emosi yang konstan. “Jadi sering bad mood,” katanya.
“Orang-orang yang menstruasi tuh pengennya selalu dipengertiin, karena dia lagi menstruasi. Jadi, tuntutannya banyak, ‘aku kan lagi menstruasi, kamu harus ngertiin’,” ujar Agtan seraya memeragakan perempuan yang sedang menstruasi dan merajuk.
Stigma yang disebutkan oleh Wiar pun tidak berbeda jauh. Wiar mengatakan bahwa orang yang menstruasi cenderung lebih sensitif secara emosi dan lemas secara fisik. “Kadang-kadang teriak nyeri,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Fakhri mengatakan bahwa tidak ada stigma khusus yang melekat berdasarkan pengalamannya terkait menstruasi. Namun, Fakhri menjelaskan bahwa menstruasi memberikan perubahan kepada perempuan dalam 3 aspek.
“Perubahan emosional, perubahan psikologis, perubahan biologis,” katanya.

Apa yang Diketahui tentang Menstruasi?

Agtan dengan sedikit ragu menceritakan apa saja yang ia ketahui tentang menstruasi. “Yang aku tau, menstruasi tuh terjadi di cewek sebulan sekali. Nah, itu tuh karena ovarium tuh membutuhkan sperma kan dan itu tuh karena ga terpenuhi, terjadinya menstruasi,” katanya.
Jawaban Wiar pun serupa, ia menjelaskan, “Menstruasi itu ketika sel telurnya matang, terus bisa dibuahi, ternyata ga dapet sel sperma jadi dikeluarkan.”
Kemudian, Fakhri memberikan jawaban yang lebih detail. “Intinya menstruasi itu perubahan siklus pada wanita, dikarenakan hormon estrogen meningkat, dan disebabkan oleh ovum yang tidak dibuahi, jadi ovumnya itu pecah dan aliran darahnya mengalir lewat vaginal,” pungkas Fakhri.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya dari mana mereka mengetahui tentang menstruasi, jawaban mereka bervariasi. Agtan mengetahui apa itu menstruasi dan bagaimana prosesnya lewat bantuan internet. Sementara Wiar dan Fakhri mendapatkan pengetahuan itu dari sekolah. Ketiganya sama-sama tidak mendapatkan penjelasan langsung apa itu menstruasi dan prosesnya dari keluarga.
Andika Vinianto, suami dan ayah, memberikan sudut pandangnya tentang edukasi menstruasi kepada anak laki-laki. Menurutnya edukasi menstruasi itu perlu.
“Mungkin karena sekarang umurnya masih 4 tahun, in the long terms ya pasti supaya dia juga semakin mengenal dengan cara kerja tubuh bukan hanya untuk cowok, tapi juga cewek, bakal saya kasih tau,” jelas Andika.
Andika juga menambahkan, edukasi terkait menstruasi dapat membantu mengurangi stigma. Namun, terkait kapan edukasi tersebut akan diberikan, Andika tidak tahu kapan spesifiknya. Satu hal yang pasti adalah, Andika ingin anaknya dapat mengetahui tentang menstruasi lebih dulu.
ADVERTISEMENT
“Sebelum dia muncul persepsi negatif tentang menstruasi,” tegas Andika.
Westiani pun turut berpendapat dalam hal edukasi menstruasi untuk anak laki-laki. Bagi Westiani edukasi tersebut penting, tetapi edukasi yang utama adalah untuk keluarga dan dimulai dari sosok bapak dalam keluarga.
“Selama bapaknya itu tidak peduli dengan kebutuhan perempuan, termasuk tidak peduli dengan pembagian tugas, itu sudah bentuk ketidakpedulian dia terhadap hak perempuan, sehingga secara otomatis dia tidak peduli dengan perempuan dan menstruasi,” seru Westiani.
Westiani juga menambahkan bahwa laki-laki tidak dapat sepenuhnya disalahkan atas dasar ketidaktahuan terhadap menstruasi dan hak kesehatannya. Karena, laki-laki pun merupakan korban sistem dan budaya patriarki.
“Mereka mendapat pengaruh kuat dari sistem patriarki itu mulai dari keluarga. Kemudian, sistem tempat tinggalnya, sekolahnya, pendidikannya, tempat kerjanya, itu kuat sekali, membuat laki-laki tidak peduli dengan urusan perempuan, apalagi menstruasi,” tegasnya.
ADVERTISEMENT