Menunda Pemilihan Umum Melanggar Konstitusi dan Merusak Demokrasi

Zulfa Athiyyah
Mahasiswi Jurusan Hukum Tata Negara universitas Islam negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Juni 2022 15:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfa Athiyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Oleh Zulfa Athiyyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Oleh Zulfa Athiyyah
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui wacana penundaan pemilihan umum 2024 telah terdengar dimana-mana, dan tahapan pemilihan umum 2024 ini sudah berada di depan mata. Akan tetapi wacana ditundanya pemilihan umum telah digaungkan kembali, setelah menteri investasi, Bahlil Lahadalia berbicara tentang aspirasi pembisnis agar pemilihan umum dimundurkan. Saat ini giliran unsur partai politik yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (GOLKAR). Dengan alasan perekonomian di Indonesia belum stabil karena pandemi. Akan tetapi alasan untuk memundurkan pemilihan umum tersebut tidak masuk akal, serta menurun jauh dari esensi demokrasi serta juga amanat konstitusi dan hanya akan menjadi preseden buruk untuk demokrasi.
ADVERTISEMENT
Hal ini menunjukkan secara fundamental kegagalan partai politik jika dilihat dari nilai paling utama yang sepatutnya dijunjung tinggi, yakni fairness dalam proses elektoral. Yang dimana konstitusi di Indonesia mempunyai arah penekanan dalam memutus putusan yang berkaitan dengan quick count. Maka dari itu, posisi partisipasi ini menjadi sangat diperlukan dalam proses politik. Civil sociey yang kuat akan mendorong negara untuk memperkuat dirinya agar terjadi balance of power, sehingga terjadi keseimbangan kekuasaan yang bermuara pada terjadinya checks and balances dalam proses penyelenggaraan negara. Pengakuan kedaulatan rakyat, maka segala keputusan negara sejauh mungkin harus melibatkan rakyat dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui wakil rakyat yang berada di parlemen maupun melalui organisasi masyarakat sipil dan pengimbang kekuasaan dalam negara.
ADVERTISEMENT
Jimly Asshiddiqie selaku mantan Pimimpinan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pun berpendapat bahwa wacana penundaan pemilu dapat mencederai konstitusi dan juga semangat reformasi. "Pemilihan umum itu 5 tahun sekali jadi kita akan melanggar amanat konstitusi maupun sumpah jabatan. Dan lebih daripada itu, cita-cita reformasi memperbaiki sistem politik otoriter di Indonesia, kalo tidak dibenahi akan jadi budaya" ucap Jimly.
berenschot juga menilai bahwa saat ini di Indonesia sedang mengalami fase dimana sistem demokrasi di Indonesia ini mengalami kemunduran. Dia mengindikasikan terdapat empat faktor penyebab kemundurannya demokrasi di Indonesia. Di antaranya, pelecehan dan kriminalisasi terhadap orang yang mengkritik terhadap pemerintah atau perusahaan, pembatasan kebebasan masyarakat untuk berorganisasi, kooptasi sebagian besar kekuatan politik ke dalam koalisi presiden, Serta adanya rencana penundaan pemilu.
ADVERTISEMENT
Adapun analisis yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan selaku Menteri koordinator bidang kemaritiman dan investasi Indonesia, dia mengatakan bahwa ada 110 juta pengguna media sosial  yang menginginkan perpanjangan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Dari sini dapat disimpulkan bahwa masyarakat enggan diadakannya pemilihan umum 2024. Karena hal ini dapat melanggar konstitusi dan merusak sistem demokrasi, dimana demokrasi Indonesia ini menganut sistem demokrasi konstitusional yang merujuk pada konstitusi, hal ini tentu bertentangan. Bahwasanya dalam undang-undang dasar 1945 pasal 7 secara tegas menyebutkan, bahwa pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan menyebutkan secara jelas bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden selama lima tahun. Lalu sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama. Hanya untuk satu kali masa jabatan, serta ada jalan konstitusional untuk merubah norma tersebut dengan perubahan Pasal-Pasal dalam undang-undang dasar 1945.
ADVERTISEMENT