Gratifikasi Sosial Media dan Masa Depan Demokrasi

Zulfikri Nurfadhilla
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Malang Raya
Konten dari Pengguna
17 Juni 2020 10:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zulfikri Nurfadhilla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Democracy Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Democracy Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sorak sorai ramai jagat maya baru-baru ini tak ubahnya wahana refleksi sekaligus rekreasi bagi banyak golongan dan kalangan. Betapa tidak, Beberapa ihwal yang dipicu oleh rentetan fenomena publik. Dari corona hingga george floyd, dari new normal hingga kekeyi, dari justfikasi ilmiah hingga teori konspirasi dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini mungkin bukan satu-satunya potret unik yang terjadi di sekitar kita, bisa jadi hanya bagian kecil dari banyaknya kalkulasi komedi dan cerita yang mengisi penuh ruang-ruang publik lainnya. Masyarakat modern seperti kita dengan segala otoritas dan kekuatan dalam mengoperasikan gadget, gawai dan segala media baru menjadi kausal dari kemajuan peradaban. Kita bisa saja berperang hebat, berdebat panjang bahkan menyerang suatu kelompok dan individu dengan alat yang setiap harinya kita genggam itu.
Di sisi lain, kita juga bisa menjadikan corong tersebut sebagai pisau pertahanan dan perlawanan yang dengan mudah merobek seluruh narasi dan intrik yang kerap membuat sesak seisi lini publik ini.
Belakangan, fenomena Novel baswedan salah satunya menjadi topik hangat yang hampir diperbincangkan bagi sejumlah pengguna media sosial dan masyarakat lainnya. Aksi penyerangan kepada penyidik KPK tersebut yang sejak beberapa tahun lalu menjadi pekerjaan rumah bagi rezim pemerintah dan aparat hukum tiba menemukan titik akhirnya. Tertangkapnya pelaku penyerangan tersebut agaknya membuat masyarakat sedikit merasa bangga kepada aparat kita yang bisa mengabulkan tuntutan dan permintaan yang selalu digaungkan dalam setiap momentum konstruktif hukum dan hak asasi manusia
ADVERTISEMENT
Namun gayung bersambut, proses peradilan bagi terdakwa yang dijatuhkan hukuman 1 tahun bui oleh jaksa penuntut umum justru mengundang banyak masyarakat tepuk jidat. Entah bisa dibilang komedi atau bahkan tragedi baru dalam tubuh penegak hukum di Indonesia. Masyarakat yang sebagian besar mungkin bukan orang yang mengerti disiplin ilmu hukum , mereka yang berangkat dari fakultas jalanan, laboratorium desa, dan segala lapisan pendidikan merasa cukup keheranan dengan keputusan yang dianggap aneh tersebut. Bukan lagi rahasia umum, kasus novel baswedan yang setidaknya membuat salah satu panca indranya tidak dapat berfungsi lagi justru pelakunya diganjar hanya satu tahun penjara. Satu hal yang pasti, mungkin tidak terlalu naïf, jika kita turut prihatin dengan kondisi seperti ini. Karena walau bagaimanapun, Keadilan substansial akan selalu ada setingkat lebih tinggi dibanding keadilan prosedural.
ADVERTISEMENT
Banyak pihak dari kalangan warganet juga turut merespon lelucon tersebut. Mula-mula sejumlah tokoh hingga taraf pelawak. Bintang emon salah satu stand up comedian Indonesia pun termasuk menjadi bagiannya.. sosok yang juga turut menanggapi hukuman kasus novel baswedan dengan seuntai materi lawakan justru mendapatkan sindiran dan fitnah dari beberapa organisatoris akun twitter. Tidak berlebihan memang, ketika kita yang mungkin bukan siapa-siapa memberikan tanggapan terhadap segala kejadian dan peristiwa publik. Apalagi kasus novel bukan lagi kasus sembarang dalam cermin buruk skandal hukum kita. Terlepas dari siapap un yang menyindir dan menuduh lelaki dengan nama asli gusti bintang ini dengan tuduhan narkoba dan lainnya. Kita mungkin dapat melihat proses praktik politik moral di kalangan warganet cukup tandas.
ADVERTISEMENT
Namun Disclaimer, kita juga mungkin terlalu terburu-buru ketika menjustifikasi bahwa yang memfitnah bintang adalah antek penguasa, golongan cebong, pembantu istana atau seterusnya dan seterusnya. Terlalu pongah rasanya ketika kita harus memukul rata keadaan atau memandang konteks hanya soal benar salah, kita – mereka, apa dan siapa pelakunya. Alih-alih kontroversi, menjadi poin penting yang perlu kita garis bawahi ialah tentang kondisi saat ini. Dimana, sosial media dan juga beberapa platform online menjadi ruang solidaritas moral dalam membela sesuatu yang mungkin diyakini tak bersalah.. Orang-orang menjadi ahli hukum dan praktik politik seketika dalam setiap fenomena intrik publik. Tak ada yang salah memang, dalam konteks demokrasi seyogyanya memang kebebasan berpendapat dapat terjamin tanpa syarat dan ketentuan yang diberlakukan sebagian pihak atau bahkan kelompok.
ADVERTISEMENT
Dalam iklim demokrasi, kritik dan masukan apa pun bentuknya menjadi cemilan sendiri bagi penguasa. Dialektika yang ada pada ruang publik niscaya menjadi sekolah kebangsaan bagi kita semua tanpa tendeng aling-aling, tanpa tendensi dan sentimen yang mesti harus disuburkan.
Gratifikasi Media Sosial
Uses & Gratification yang menitik beratkan penelitian ini pada subjektifitas pemirsa dan pengguna media menjadi hal yang cukup relevan hari ini. Disaat kepuasan pengguna sosial media sekarang cenderung mengarah penggunaannya dalam pengawalan dan tanggap cepat isu-isu aktual. Teori yang juga menebalkan pada penggunaan dan pemuasan dalam memilah dan mengkonsumsi media ini dapat menjadi alat ukur sendiri bagi kualitas demokrasi kita. Bila kita cermati dan kaitkan pada konteks kebangsaannya. Hari ini, potret tersebut memang banyak terlihat. Platform twitter, instagram dan yang lainnya menjadi ruang demokrasi maya bagi setiap individu bahkan komunal. Seperti yang saya singgung di awal, media sosial seolah menjadi lapangan luas untuk kita bercuap, bertengkar dan berdebat soal apa pun, kendati hakikatnya yang kita hadapi adalah fana dalam “hakikat ada”. Yang kita kendalikan hanyalah jempol dan jari-jari kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Harapan dan cita-cita demokrasi masa depan layaknya bisa kita tumbuh kembangkan dalam jagat maya yang ada pada kanal dan beranda kita. Perbedaan pendapat, pertengkaran gagasan, bahkan pertandingan pikiran bisa saja menjadi makanan sehari-hari ketika kita mulai membuka gawai kita masing-masing. Kita mungkin akan selalu menemukan tindakan terorisme digital serta narasi segregasi yang mungkin menghantui kita. Namun sebagai energi penyeimbang, di satu sisi, hal yang menjadi titik penting sekaligus kritik dasar untuk kita adalah kita sebagaimana manusia budaya rasanya harus untuk tetap merawat nilai etimologi `budi` itu sendiri. Tindakan baik, perilaku yang penuh dengan tanggung jawab.
Media sosial dan masa depan demokrasi merupakan dua prinsip yang terpisah namun melekat padu. Di era post modernisme saat ini dengan segala kemajuannya, arus deras informasi dan globalisasi tidak akan pernah bisa dibendung oleh filter kompleks. sebagai manusia pembelajar, sebagai subjek yang pintar, kita perlu mengenal dan mengakrabkan keduanya. Seperti halnya pembelajaran saat ini, ketika solidaritas kolektif dan kesadaran moral warganet dalam politik guyub menjadi nilai positif tersendiri dalam demokrasi negeri. Kita perlu kembali pada nilai. Kepada demokrasi yang hakikatnya adalah nilai, adalah kemewahan, bukan tentang syarat atau ketentuan. Semoga kita semua selalu percaya pada cita-cita dan harapan.
ADVERTISEMENT