Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tinjauan Monopluralisme Partisipasi Kewarganegaraan Nasional dan Internasional
24 April 2024 12:48 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Zulfina Astri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
HAKIKAT MANUSIA
Konsep hakikat manusia pada dasarnya ada beberapa jenis, namun secara khusus artikel ini hanya akan membahas dalam versi monopluralisme. Kodrat manusia secara monopluralisme terdiri atas Jiwa dan Raga (susunan kodrat), Mahluk Individu dan Mahluk Sosial (sifat kodrat), dan mahluk Tuhan dan Otonom (kedudukan kodrat). Ketiga kodrat konsep tersebut memerlukan keseimbangan agar dapat menyempurnakan kualitas kemanusiannya. (Franciso, 2017).
ADVERTISEMENT
Monopluralis sendiri berasal dari bahasa latin, ‘mono’ satu, dan ‘plural’ jamak. Maka secara harfiah monopluarlis dapat berarti bahwa manusia adalah mahluk tunggal yang memiliki banyak sifat atau karakteristik di dalamnya.
Singkatnya, secara sangat sederhana seseorang harus memperhatikan baik jiwa maupun raga, memperhatikan baik kebutuhan individu maupun kebutuhan sosial, dan mempertimbangkan baik hubungan dengan Tuhan maupun otonomi dalam menjalani hidupnya. Dengan menjaga keseimbangan ini, seseorang dapat mencapai kualitas kemanusiaan yang lebih baik.
Maka jika meninjau kembali penggalan cerita di atas, jelas bahwa pemuda tersebut melakukan pengingkaran terhadap hakikatnya sebagai manusia. Karena pertama, ia mengabaikan kesehatan Jiwa dan Raganya dengan bangun pada siang hari dan langsung melakukan aktivitas yang berpotensi merusak tubuhnya, ia juga mengabaikan dirinya sebagai pemilih yang rasional karena ia seorang yang berpendidikan tinggi. Kedua, sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, pemuda tersebut tidak memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap kondisi Masyarakat, yang harusnya ia tahu bahwa pemilihan umum merupakan cara untuk meningkatkan kondisi hidup Masyarakat. Ketiga, sebagai mahluk Tuhan yang Maha Kuasa, ia mengingkari kekuasaan-Nya dengan memilih pesimis terhadap sesuatu yang niscya akan membawa perubahan (Pemilu).
ADVERTISEMENT
Padahal di era digital, segala potensi tersebut harusnya bisa dimaksimalkan dengan baik, bukan malah terjadi hal yang sebaliknya. Jika ditelaah hal yang demikian dapat terjadi karena faktor internal dan eksternal, dan salah satu faktor eksternalnya adalah pengaruh globalisasi.
Maka sebagai mahluk monoplural dan warga negara yang hidup di era digital, kita harus meninjau ulang bagaimana menjadi kewarganegaraan digital dalam pengaruh globalisasi.
KEWARGANEGARAAN DIGITAL
Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
Namun definisi tersebut tidak dapat dipahami secara leterlek saja, lebih jauh dari pada itu mengutip Kompas (6/April/2021) dalam artikel berjudul “Daniel Dhakidae Menulis tentang Kewarganegaraan” kewarganegaraan adalah suatu proses dinamis, berkembang karena berinteraksi dengan dan ditentukan oleh banyak unsur lain, misalnya etika publik, seperti keadilan, pengorbanan, dan kebebasan. Maka secara sederhana kewarganegaraan digital dapat dipahami sebagai partisipasi setiap warga negara melalui digitalisasi.
ADVERTISEMENT
Contoh partisipasi warga negara dalam era digitalisasi dapat kita lihat saat proses pemilu dimana setiap orang dapat melakukan pengawalan suara di TPS-nya masing-masing melalui website sirekap. Hal tersebut juga dapat dilihat dari sudut pandang monopluralism bahwa sifat kodrat manusia sebagai mahluk sosial harus saling bergotong-royong melakukan pengawalan terhadap proses yang akan membawa perubahan, dan pengawalan yang dilakukan secara digital juga merupakan kodrat manusia bahwa ia menggunakan jiwa dan raganya dengan baik sebagai warga negara.
Hal tersebut hanya contoh kecil bagaimana seharusnya seorang insan sebagai warga negara di era globalisasi dapat melakukan penyesuian dan terus meningkatkan kualitas dirinya.
MONOPLURALISM SEBAGAI DASAR PIJAKAN KEWARGANEGARAAN DIGITAL DI ERA GLOBALISASI
Dalam arus globalisasi yang sangat deras, seseorang bukan hanya dapat mencapai kemajuan secara cepat, namun dalam kondisi sebaliknya jika ia tidak berhasil berenang mengikuti arus tersebut, ia hanya akan terseret atau lebih celakanya tenggelam bersama globalisasi itu.
ADVERTISEMENT
Penting kiranya memegang suatu prinsip tertentu agar kewarganegaraan digital ini dapat menjadi kebermanfaatan dan bukan malah mendatangkan kemudaratan. Salah satu prinsip yang dapat dipegang adalah memahami kembali hakikat kita sebagai insan dalam perspektif monopluarism.
Pertama, setiap insan harus harus mengupgrade secara terus-menerus pengetahuannya. Karena tanpa pengetahuan yang cukup, dalam kewarganegaraan digital kita hanya akan terseret arus derasnya global. Sebagai contoh, salah satu fenomena yang muncul dalam kewarganegaraan digital ada dalam ranah identitas sosial dan politik. Pergeseran nilai-nilai lokal akibat arus informasi global yang cepat dapat meningkatkan ketegangan sosial.
Kita dapat melihat dengan jelas fenoman ini di media-media mainstream dan media sosial, bagaimana propaganda terjadi secara masif dan masyarakat mudah diadu domba. Pengetahuan yang cukup merupakan implikasi dari peningkatan kualitas sebagai insan dalam monopluarism, karena ia senantiasa memperluas sudut pandangnya sehingga kodrat jiwa dan raganya menjadi lebih baik. Implikasi selanjutnya ada pada kodrat manusia sebagai mahluk individu dan sosial, dengan meningkatnya pengetahuan dan wawasan, ia akan semakin arif dan bijaksana menyikapi persoalan dan tidak mudah terpicu konflik dengan insan lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, sebagai insan mahluk Tuhan, setiap insan di luar pengetahuannya yang luas, ia harus tetap berada pada koridor relijiusitas. Asas relijiusitas masuk menembus akal manusia langsung ke hatinya, maka seorang yang berpengetahuan luas, masih bisa berpotensi merusak jiwa dan raga, serta hubungannya sebagai mahluk individu dan sosial jika tidak teriring dengan asas relijius. Hal ini juga-lah yang yang melandasi gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa hadir dalam Pancasila, untuk mengimbangi 4 pandangan pada sila lainnya.