Babak Baru Masjid Hagia Sophia

Zuliyan M Rizky
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Islam Indonesia. Menggeluti isu-isu Studi Agama, Hubungan Internasional, dan Pendidikan.
Konten dari Pengguna
25 Juli 2020 16:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Zuliyan M Rizky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Hagia Sophia di Istanbul, Turki. (UNSPLASH FOTO/Zen Zee)
zoom-in-whitePerbesar
Hagia Sophia di Istanbul, Turki. (UNSPLASH FOTO/Zen Zee)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
24 Juli 2020 menjadi jum’atan yang bersejarah di Hagia Sophia. Bukan karena kali pertamanya, namun sholat jum’at ini adalah yang perdana sejak Hagia Sophia dimuseumkan 86 tahun silam.
ADVERTISEMENT
Berbagai macam upaya disiapkan demi menyambut antusiasme massa yang begitu besar. Diantaranya ada Recep Tayyip Erdogan, yang duduk di shaf paling depan, sekaligus tokoh yang paling berperan.
Saat Ali Erbas, Kepala Direktorat Keagamaan Turki yang bertindak sebagai Khotib Jum’at, menegaskan bahwa pembukaan Hagia Sophia adalah sukacita umat Islam sedunia. Dapat disadari, bahwa sholat jum’at ini, bukanlah sholat jum’at yang biasa.
Alih fungsi Hagia Sophia bukan perkara yang sederhana. Di era Pagan pada 360 M dan Bizantium pada 537 M, situs ikonik ini digunakan sebagai gereja. Era Ottoman pada 1453 M lewat Sultan Mehmed II, statusnya dikonversi menjadi masjid.
Hagia Sophia dalam lukisan
Era Turki Modern, Mustafa Kemal Ataturk mengusulkan perubahan status Hagia Sophia dari masjid menjadi museum pada 1934 M, usul tersebut ditindaklanjuti, dan pada 1 Februari 1935 pengelolaan Hagia Sophia beralih dari Direktorat Wakaf ke Direktorat Permuseuman dibawah Kementerian Pendidikan Nasional Turki.
ADVERTISEMENT
Keputusan Ataturk pada akhirnya dianulir setelah Dewan Negara pada 10 Juli 2020 mengembalikan status Hagia Sophia sebagai masjid. Pengelolaannya sekarang berada dibawah Direktorat Urusan Agama. Kini, dekrit yang diteken Erdogan, hingga gelaran sholat jum’at 24 Juli 2020 yang fenomenal, mendapat dukungan dan pertentangan dari negara-negara, komunitas, dan masyarakat global.
Sampai saat ini, sudah banyak tulisan, artikel, analisis, opini yang fokus mengupas Hagia Sophia dari berbagai macam bidang dan aspek. Khususnya dalam 14 hari terakhir. Isu ini juga tidak luput dari perhatian di media sosial. Ada yang merespon baik dengan argumentasinya, begitupun yang menyayangkan dengan penolakannya.
Setuju atau tidak, secara resmi Hagia Sophia telah menyandang status baru atau status lama yang kembali digunakannya. Terlepas akankah kembali terjadi dinamika atau perubahan setelahnya. Dengan statusnya sebagai masjid, Hagia Sophia telah melakoni babak baru, yang tentunya perlu ditetapkan tujuan dan rambu-rambu tertentu. Banyak tuntutan, tantangan, dan penyesuaian dalam mengelola Hagia Sophia beberapa waktu kedepan. Dengan demikian, 1,5 milenium perjalanan panjang Hagia Sophia, akan tetap berlanjut.
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang perlu diupayakan setelah Masjid Hagia Sophia. Pertama, menyemai romantisme sejarah yang kontekstual Kedua, menguatkan simbol moderasi dan harmoni, serta menghilangkan unsur penaklukan. Ketiga, menjaga sensitivitas dan kerukunan antar umat beragama. Keempat, melindungi Hagia Sophia dari urusan dan kepentingan politik. Kelima, membaca dengan detail peta geopolitik dunia pasca Hagia Sophia.

Proyeksi Pasca Masjid Hagia Sophia

Penetapan Hagia Sophia menjadi masjid menuai kontroversi, bahkan di hari pertamanya difungsikan sebagai rumah ibadah. Dibalik pelaksanaan sholat jum’at yang berlangsung lancar dan khidmat, terjadi kerumunan massa yang melanggar penghalang polisi dan tidak mematuhi protokol kesehatan, demi menuju Hagia Sophia. Fenomena ini mendapat perhatian di media sosial setempat. Saat ini Turki masih dalam masa mitigasi epidemi Covid-19, sampai (25/7/2020), terkonfirmasi 242.252 kasus positif dengan angka sembuh mencapai 207.374 kasus dan angka kematian 5.580 kasus.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, Menteri Kesehatan Turki, Fahrettin Koca menyatakan jika total kasus positif dan angka kematian yang ada di Turki, sebanyak 46 persen berada di Istanbul. Potensi penularannya pun cukup tinggi, yakni sebanyak 2.9 dari setiap 1000 warga Turki. Menurut kabar terakhir yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Sistem Informasi Kesehatan setempat, terdeteksi 211 kasus positif di Istanbul pada tanggal (24/7/2020), yang mana bertepatan dengan sholat jum’at perdana di Hagia Sophia.
Romantisme sejarah dan momentum kebanggaan memang kerap kali terjadi, tidak mengenal negara dan golongan apapun, dan biasanya menyedot euforia dan antusiasme yang begitu besar. Apalagi untuk peristiwa yang begitu fenomenal seperti alih fungsi Hagia Sophia.
Namun, praktik kewajaran ini bukan tanpa kritik, sikap dan etika yang tampak sering kali mengabaikan realitas masalah yang ada. Pembukaan Masjid Hagia Sophia dan potensi klaster penularan baru Covid-19 di Turki menjadi salah satu kasus, dan mungkin akan muncul kasus-kasus serupa yang lain setelahnya. Hal ini perlu diperhatikan dengan cermat, hingga tidak melanggar subtansi tujuan atau justru malah disalahartikan. Daripada itu, rasa rindu yang begitu emosional, tidak boleh membatalkan pertimbangan sikap yang rasional.
Mosaik-mosaik Islam & Kristen di dalam Hagia Sophia. (UNSPLASH FOTO/Meric Dagli)
Hal ini begitu sensitif tidak lain menyangkut identitas Hagia Sophia. Selain terkenal akan ikon pariwisata, tidak berlebihan rasanya jika situs bersejarah ini sarat akan kuasa politik, bahkan sebagai simbol penaklukan.
ADVERTISEMENT
Konflik ini sudah terjadi, baik secara laten maupun fisik, dan Hagia Sophia bertindak sebagai saksi. Mulai dari berbagai macam pemberontakan dan perusakan era Pagan dan Bizantium saat berstatus sebagai gereja, hingga rekonstruksi ulang menjadi masjid ketika Ottoman menduduki Konstatinopel, yang dikenal dengan Istanbul pada hari ini.
Perubahan Hagia Sophia dari masjid menjadi museum, mungkin didasari oleh gagasan kuat sekulerisasi, yang dipelopori Mustafa Kemal Ataturk. Namun sadar atau tidak, warisan Ataturk tersebut telah mengakhiri ketegangan peradaban yang telah berlangsung berabad-abad.
Kebijakan ini juga bentuk antisipasi, dari upaya sekutu yang hendak mengintervensi status Hagia Sophia pada Perang Dunia 1. Langkah Ataturk adalah pendekatan netralitas yang dapat diterima oleh berbagai pihak. Dalam 86 tahun terakhir, Hagia Sophia menjelma dari simbol penaklukan, menjadi simbol harmoni dan moderasi yang memulihkan sejarah, serta mempertemukan dialog dan nilai-nilai antar agama, khususnya Islam dan Kristen.
Ilustrasi bendera Turki. (UNSPLASH FOTO/Meric Dagli)
Tuntutan mempertahankan simbol moderasi dan harmoni yang kini diemban oleh Masjid Hagia Sophia. Narasi ini yang juga dikhawatirkan hilang oleh pihak yang kontra. Sampai saat ini, pemerintah Turki menjamin jika Hagia Sophia tetap menjadi warisan dunia, selain itu ditegaskan jika turis mancanegara dari berbagai agama tetap dapat berkunjung. Mosaik-mosaik bersejarah yang menandakan harmoni Islam dan Kristen juga akan dilestarikan, baik menggunakan penutupan tirai sementara, maupun pengaturan cahaya. Poin utamanya adalah, dari sekedar mempertahankan, Masjid Hagia Sophia harus konsisten menguatkan simbol moderasi dan harmoni demi mempertegas legitimasinya.
ADVERTISEMENT
Proyeksi yang perlu diantisipasi pasca alih fungsi Hagia Sophia adalah ancaman konflik antar umat-beragama, khususnya antara Islam dan Kristen. Paus Fransiskus pada (12/7/2020) menyatakan kesedihannya akan alih fungsi Hagia Sophia di masa pemerintahan Erdogan. Dewan Gereja Dunia yang membawahi 350 gereja Anglikan, Protestan, dan Ortodoks mendesak pemerintah Turki mempertimbangkan keputusannya. Penyesalan turut hadir lewat perwakilan Gereja Ortodoks di Rusia, Keuskupan Katolik di Amerika Serikat, dan beberapa institusi Kristen di berbagai penjuru dunia.
Ancaman intoleransi antar umat-beragama kian menguat. Fenomena Hagia Sophia dianggap menjadi puncak represi bagi minoritas Kristen di Turki. Tren ini melengkapi beberapa gereja terkenal sebelumnya yang telah dialihfungsikan menjadi masjid, antara lain: gereja Hagia Sophia di Iznik, gereja Hagia Sopgia di Trabzon, dan gereja Kora di Istanbul. Selain itu, populasi Kristen di Turki cenderung menurun dalam 100 tahun terakhir, yakni dari 20 persen menjadi 0,2 persen.
ADVERTISEMENT
Persoalan tempat ibadah sering kali berujung pada konflik berdarah. Ini dibuktikan oleh banyak catatan sejarah. Oleh karena itu, pemerintah Turki tidak boleh lepas tanggung jawab setelah mengubah status Hagia Sophia. Ada faktor eskternal yang perlu diselesaikan, sehingga tidak akan terjadi bencana di hari kemudian. Itikad penyelesaian tersebut dimulai oleh undangan Erdogan kepada Paus Fransiskus untuk mengunjungi Hagia Sophia. Tentunya setelah ini perlu ditindaklanjuti dengan beberapa kebijakan strategis lainnya, demi itikad baik untuk menjaga kerukunan beragama.
Setelahnya, Masjid Hagia Sophia harus independen dari urusan dan kepentingan politik. Walau tidak dapat dipungkiri, konversi Hagia Sophia kedua kalinya sebagai masjid ini sarat akan unsur politik. Khususnya bagi Recep Tayyip Erdogan yang berperan sebagai tokoh utama.
Recep Tayyip Erdogan di Hagia Sophia. (Sumber: Twitter @RTErdogan)
Sehari sebelum pelaksaaan sholat jum’at perdana di Hagia Sophia, Erdogan mengunjungi makam Ataturk. Walau bukan untuk urusan Hagia Sophia, namun kunjungannya ini sangat simbolik. Erdogan dianggap meyakini jika elite sekuler di Turki menjadi sumber masalah, ia kerap membuat kebijakan dengan pendekatan yang berbeda. Salah satunya, jika Ataturk memuseumkan Hagia Sophia atas gagasan sekulernya, maka Erdogan melakukan hal yang sebaliknya. Presiden Turki ini jelas cerdik memanfaatkan suatu isu, demi membangun legitimasi dan popularitas politiknya.
ADVERTISEMENT
Pasalnya Erdogan baru berbicara tentang Hagia Sophia pada tahun 2019, sebelumnya hampir tidak pernah. Langkah Erdogan ini dinilai demi mendongkrak dukungan politik dan partainya yaitu Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) untuk tahun 2023. Selain itu, Hagia Sophia digunakan sebagai pengalihan isu atas kemerosotan kondisi ekonomi yang mengkhawatirkan. Atas sebab itu, Erdogan merasa perlu melancarkan senjata pamungkas dengan merealisasikan kebijakan populisnya.
Semangat ideologi Islamis versi Erdogan, kebutuhan akan dukungan politik, serta pengalihan kondisi ekonomi menjadi motif utama Erdogan mengubah Hagia Sophia. Kebijakan ini menjadi sangat politis saat oposisi yakni Partai Republik Rakyat (CHP) menolak hadir di acara peresmiannya. Jika memang berdasarkan sarat keagamaan, Masjid Hagia Sophia harus pecah kongsi dengan urusan politik domestik. Sehingga, tidak perlu ada lagi polarisasi sejarah melelahkan yang kembali terjadi di Hagia Sophia.
ADVERTISEMENT
Terakhir, siapa sangka Hagia Sophia ikut menentukan geopolitik dunia? Faktanya isu ini tidak hanya menyasar urusan domestik, namun juga menyinggung dunia global. Amerika Serikat, Yunani, UNESCO, dan Uni Eropa, secara resmi menolak alih fungsi Hagia Sophai sebagai masjid. Rusia sempat menolak walau pada akhirnya menghormati kedaulatan Turki. Iran secara resmi justru memberikan ucapan selamat. Dukungan dan penolakan juga hadir dari berbagai komunitas dan organisasi masyarakat yang ada di Mesir, Israel, Perancis, Indonesia, Malaysia, dan lain sebagainya.
Kebijakan ini akan berdampak positif bagi legitimasi kedaulatan penuh Turki yang tidak dapat diintervensi. Namun, beberapa relasi luar negeri Turki akan menghadapi beberapa masalah, seperti hubungan dengan barat yang didominasi pengaruh Amerika Serikat, hubungan Turki dengan Eropa, dan hubungan Turki dengan PBB khususnya UNESCO.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada perspektif lain yang cukup menarik. Dengan fenomena alih fungsi Hagia Sophia, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah mengisi pos kosong kepemimpinan Timur Tengah. Setelah Arab Spring atau upaya demokratisasi Arab, belum hadir kembali pemimpin-pemimpin yang menonjol dan berpengaruh di Timur Tengah. Alih fungsi Hagia Sophia yang dilaksanakan Erdogan, mempertegas posisinya dengan membawa pengaruh baru yakni Neo-Ottoman.
Sholat Jum'at perdana di Hagia Sophia (24/7/2020). (Sumber: Twitter @RTErdogan)
Penulis secara pribadi berpendapat, jika selayaknya Hagia Sophia tetap menjadi museum dengan simbol moderasi dan harmoni yang kuat. Terlepas menggunakan gagasan sekularis atau islamis yang erat. Membuka rumah ibadah juga bukan urgensi, karena masih ada Blue Mosque yang berjarak dekat dengan Hagia Sophia. Namun, penulis juga tidak ingin mengesampingkan peran Hagia Sophia sebagai masjid, pendapat pribadi ini dapat berubah seiring berjalannya waktu.
ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang perlu dipertegas dan mendapat perhatian luas. Turki boleh mengabaikan penolakan dan kecaman negara lain atas argumentasi kedaulatan negara, namun Turki tidak bisa mengabaikan potensi konflik antar umat-beragama yang dapat berakibat fatal, tanpa menyelesaikannya sebelum menjadi dosa sejarah. Perjalanan panjang 1500 tahun Hagia Sophia belum usai, babak baru akan segera dimulai.