Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Kearifan Lokal Bali Sebagai Pilar Toleransi dan Mengatasi Konflik Sosial
13 Desember 2024 15:13 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Komang Sevira Tri Cahyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Toleransi merupakan fondasi penting dalam kehidupan masyarakat multikultural. Di Indonesia, yang dikenal dengan keragaman suku, agama, dan budaya, tantangan untuk membangun toleransi sering kali muncul. Namun, Bali menjadi contoh cemerlang tentang bagaimana kearifan lokal dapat berperan dalam memperkuat toleransi dan mengatasi konflik sosial. Dengan mayoritas penduduk beragama Hindu, Bali juga dihuni oleh berbagai komunitas agama lain, termasuk Islam, Kristen, dan Buddha. Dalam konteks ini, kearifan lokal Bali memainkan peran penting dalam memperkuat toleransi dan mengatasi konflik sosial yang mungkin timbul akibat perbedaan budaya dan agama. Melalui nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi, masyarakat Bali mampu menciptakan harmoni di tengah perbedaan. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi lebih lanjut mengenai kearifan lokal Bali dan bagaimana hal ini berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih toleran serta mengatasi konflik sosial di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bentuk Kearifan Lokal Bali sebagai Pilar Toleransi
1. Tri Hita Karana
Salah satu pilar utama kearifan lokal Bali adalah konsep Tri Hita Karana, yang berarti "tiga penyebab kebahagiaan." Konsep ini menjelaskan pentingnya hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan (parahyangan), manusia dengan sesama (pawongan), dan manusia dengan alam (palemahan). Dengan prinsip ini, masyarakat Bali diajarkan untuk saling menghormati dan memahami satu sama lain, terlepas dari latar belakang agama atau budaya. Tri Hita Karana tidak hanya menjadi filosofi hidup, tetapi juga diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Misalnya, saat melakukan upacara keagamaan, masyarakat Hindu di Bali sering mengundang komunitas lain untuk berpartisipasi. Hal ini menciptakan rasa saling memiliki dan menghargai antara berbagai kelompok agama.
ADVERTISEMENT
2. Menyama Braya
Masyarakat Bali memiliki struktur sosial yang sangat mendukung nilai-nilai toleransi. Seperti Tradisi “menyama braya” yang mengajak setiap individu untuk menganggap orang lain sebagai saudara. Dalam praktiknya, hal ini terlihat dalam interaksi sehari-hari di lingkungan desa. Ketika ada perayaan keagamaan dari salah satu kelompok, kelompok lainnya biasanya ikut berpartisipasi atau setidaknya memberikan dukungan moral. Di Bali, contoh praktik menyama braya dapat dilihat dalam berbagai situasi. Misalkan, ketika masyarakat Muslim di Bali menjalankan ibadah shalat Idul Fitri, para pecalang (keamanan adat) yang mayoritas beragama Hindu terlibat aktif dalam mengamankan ibadah tersebut. Di sisi lain, ketika berlangsung perayaan keagamaan umat Hindu seperti hari Raya Nyepi, umat beragama minoritas juga memberikan penghormatan dengan tidak melakukan kegiatan apapun di luar kediaman masing-masing.
ADVERTISEMENT
3. Ngayah
Selain itu, ada juga tradisi “ngayah,” yaitu gotong royong dalam menyelesaikan suatu kegiatan. Dalam konteks ini, baik umat Hindu maupun Muslim terlibat aktif dalam kegiatan sosial seperti pembangunan sarana umum atau pembersihan lingkungan. Kegiatan ini tidak hanya memperkuat hubungan antarumat beragama tetapi juga menciptakan rasa kebersamaan yang kuat di masyarakat.
Tantangan Toleransi di Bali
Lalu apakah di Bali juga terdapat tantangan tentang toleransi?meskipun Bali telah berhasil menciptakan suasana toleransi yang baik, tantangannya tetap ada terutama di era modern ini. Globalisasi dan perkembangan informasi teknologi membawa berbagai pengaruh baru yang terkadang dapat memicu ketegangan antar kelompok. Berita-berita negatif tentang agama tertentu atau stereotip yang berkembang bisa memperburuk situasi jika tidak ditangani dengan bijak. Kasus-kasus intoleransi seperti penolakan terhadap kedatangan tokoh agama tertentu menunjukkan bahwa masih ada segelintir individu atau kelompok yang tidak sepenuhnya menerima keberagaman. Selain itu, dampak pariwisata massal kadang menimbulkan ketegangan sosial antara penduduk lokal dan pendatang. Dalam beberapa tahun terakhir, isu-isu seperti penggusuran tempat tinggal warga lokal demi pembangunan infrastruktur pariwisata telah menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Ketidakpuasan ini sering kali disertai dengan rasa kehilangan identitas budaya, yang dapat memicu konflik sosial jika tidak ditangani dengan baik. Dalam konteks ini, penting untuk mengedepankan pendidikan multikultural dan dialog antarbudaya sebagai langkah untuk memperkuat toleransi. Pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan sejak dini sangat penting untuk membentuk generasi yang lebih inklusif. Selain itu, pemerintah dan masyarakat juga perlu bekerja sama dalam menciptakan ruang dialog yang positif antara budaya lokal dan pendatang, sehingga setiap orang dapat memahami dan menghormati nilai-nilai yang ada.
ADVERTISEMENT
Peran Kearifan Lokal Bali Mengatasi Konflik Sosial
Ketika konflik sosial muncul, kearifan lokal sering kali menjadi solusi efektif. Di Bali, ketika terjadi pertengkaran antar kelompok masyarakat, pendekatan mediasi berbasis kearifan lokal sering digunakan. Para pemimpin adat atau tokoh masyarakat dilibatkan untuk menyelesaikan konflik dengan cara dialog dan musyawarah. Misalnya, ketika terjadi perselisihan tanah antara dua kelompok masyarakat di Bali, proses mediasi dilakukan dengan melibatkan tokoh-tokoh adat dari kedua belah pihak. Melalui dialog terbuka dan saling mendengarkan, konflik tersebut dapat diselesaikan tanpa kekerasan dan melalui kesepakatan bersama. Contoh lain penerapan kearifan lokal dalam penyelesaian konflik adalah dalam pengelolaan sumber daya alam. Ketegangan antara masyarakat adat dan industri pariwisata sering kali muncul akibat perbedaan kepentingan. Dengan mengedepankan dialog berbasis Tri Hita Karana dan konsep menyama braya, pihak-pihak terkait dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan, sehingga hak-hak masyarakat adat dihormati tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Kearifan lokal Bali merupakan aset berharga dalam membangun toleransi masyarakat multikultural. Melalui filosofi Tri Hita Karana, struktur sosial yang mendukung nilai-nilai persaudaraan, serta praktik-praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Bali telah menunjukkan bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk hidup berdampingan secara damai. Dengan tantangan yang terus berkembang di era modern ini, penting bagi kita semua untuk belajar dari pengalaman masyarakat Bali dan menerapkan prinsip-prinsip kearifan lokal dalam konteks masing-masing daerah. Toleransi bukan sekedar kata-kata; ia harus diwujudkan dalam tindakan nyata agar dapat menjadi landasan bagi terciptanya masyarakat yang harmonis dan sejahtera.
Komang Sevira Tri Cahyani, Mahasiswi S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Ganesha