Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten dari Pengguna
Akhir Tahun Panggung Demokrasi, Himpitan Harapan dan Ironi
29 Desember 2024 14:12 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Arawinda Dea Alisia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dengan napas berat aku bertanya, adakah harapan yang tersisa, atau kita hanya menonton drama yang sama dengan aktor berbeda? Perdebatan di warung kopi hingga sengketa di Mahkamah Konstitusi, apakah kita belajar sesuatu atau hanya mengulang lingkaran setan yang lama?
ADVERTISEMENT
Jika politik adalah panggung sandiwara, maka selamat datang di tahun dengan pementasan akbarnya. Turunkan tirai, dan mari kita mulai rekonstruksi tahun penuh penghakiman , siapa yang menang?
Di Balik Hingar Bingar Para Elit
Kontestasi politik telah usai. Hingar bingarnya kampanye yang menyeruak beranjak padam. Kini, kalender tahunan telah sampai di ujungnya. Menutup tahun 2024, Indonesia kembali mencatatkan babak menarik dalam perjalanan gebyar politiknya. Dari pemilu hingga kasus hukum besar yang menjadi buah bibir terhangat, tahun ini menjadi refleksi penting bagi masa depan bangsa.
Pemilu 2024 menjadi agenda politik lima tahunan yang cukup menguras energi dan perhatian seluruh elemen bangsa – meski sebagian masih apatis pula. Tiga pasang calon presiden dan wakil presiden bertarung atas nama pesta demokrasi rakyat.
ADVERTISEMENT
Berbagai intrik telah kita saksikan bersama, mulai dari cara paling kuno hingga pendekatan modern lewat dunia digital. Rakyat yang diagungkan sebagai pemegang kendali utama nyatanya hanya menjadi saksi hausnya segelintir orang atas kekuasaan dan tahta.
Dinamika Sosial di Balik Polarisasi
Kemenangan pasangan nomor urut dua dengan hanya sekali putaran, ternyata tidak cukup meredam tensi berbagai faksi. Masyarakat terlanjur terpolarisasi atas title tertentu.
Berkomentar kontra-pemerintah di sosmed dicap anak abah. Memakai kemeja biru muda diteriaki oke gas. Ketahuan menjadi bagian dari 58% akan digunjing. Nyatanya masyarakat sendiri masih belum move on bahkan hingga kalender telah usai. Lalu apa sebenarnya yang mengungkung kita masih terjebak dalam gelembung itu?
Isu-isu perpolitikan yang tiada tunduk menyeruak selama setahun. Setiap celah digunakan untuk saling menjatuhkan. Pertarungan dunia maya oleh para fanatiknya asik sekali untuk dibaca. Ditambah dengan bumbu buzzer-buzzer yang sedang mengemis uang para politikus yang hanya tahu cara memanipulasi media.
ADVERTISEMENT
Dinasti politik, oke gas, anak capres, gaza merdeka, hingga bergabungnya organisasi agama ke koalisi politik. Distopia setahun belakang, ternyata berhasil dilewati juga ya dengan segala dramanya. Meski ternyata ocehan politik itu bisa dibungkam hanya dengan skandal influencer satu malam.
Babak baru dunia perdebatan thread dan komentar akan segera datang – atau mungkin sudah berjalan. Rivalitas yang baru terjadi beberapa bulan lalu seakan menguap. Berlindung dibalik asa meredam faksi dan ketegangan, katanya para rival dipersilakan mendapat posisi hasil rekonsiliasi.
Lawan jadi kawan, semua tangan menjabat selamat datang, demi menjaga atmosfer tetap sehat – katanya. Apakah akhirnya negara tanpa opisisi bukan hanya dongeng semata?
Pencarian Pangeran Daerah
Tak usai dengan pencarian sang RI 1, hajatan bumi pertiwi masih berlanjut untuk mencari pangeran lokal. Pilkada, menjadi momentum penting para jagoan daerah unjuk kemampuan mengambil peran dalam pembangunan.
ADVERTISEMENT
Wajah baru mulai terpampang di baliho sudut kota. Sedangkan orang lama mulai tetiba giat mengaspal jalan-jalan. Pola berulang setiap lima tahun yang entah kenapa sulit sekali disadari masyarakat di negara dengan IQ rata-rata 78,49.
Meski demikian, digital ternyata bak pisau bermata dua. Memang benar dikatakan sarang politisi meraup suara, tapi juga ajang anak muda adu pendapatnya. Siapa yang tidak ingat dengan ledakan peringatan darurat berlatar biru kala itu? Waktu di mana orang seperti aku tersenyum membaca satu persatu tulisan yang menyertai foto itu. Dengan lirih membatin – akhirnya kesadaran ini muncul juga.
Harapan di Tengah Ironi
Jika mesin waktu ada, mungkin aku di bulan Januari lalu akan kesulitan bernapas mendengar kaleidoskop tanah air tercinta. Bagaimana tidak, ingin punya uang 300 triliun? Tenang, caranya cukup dipenjara 6,5 tahun dan denda 1 miliar, selebihnya lanjutkan hidupmu bersama istri artis cantikmu itu. Atau ingin negara minim hutang? Gampang, PPN 12% tanpa kenaikan UMK, ya.
ADVERTISEMENT
Habis kejang tubuh ini tercekik dengan gebrakan pembuat kebijakan. Akan dibawa kemana arah negeri ini kedepannya? 2024 adalah tahun ketika harapan dan ironi berjalan beriringan. Kita menyaksikan mimpi demokrasi, tapi juga distopia dalam genggaman para elit. Bolehkah sekali saja untuk tetap berharap datangnya pelangi meski badai tak kunjung surut dan surya kian redup?
Di akhir sebuah tahun politik yang panas, mungkin kita hanya bisa bertanya, kapan semua ini akan lebih baik? Tapi satu hal yang pasti, perubahan tak akan datang jika kita menyerah. Indonesia yang kita dambakan menunggu, bukan di tangan politisi semata, melainkan dalam keberanian kita untuk bermimpi lebih besar. Dan dengan keberanian itu, mungkin saja, pelangi yang kita tunggu akan datang.
ADVERTISEMENT