Konten dari Pengguna

Jago Ngomong Ala Sukarno

Fandi Achmad Fahrezi
Fandi Achmad Fahrezi FKIP Pendidikan Sejarah Universitas Jember
11 Januari 2025 13:35 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fandi Achmad Fahrezi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
pixabay.com
ADVERTISEMENT
Perlu untuk pembaca ketahui, penulis bukanlah seorang Sukarnois yang kerap melakukan pengkultusan terhadap beliau. Kemunculan ide untuk menulis topik ini diawali dari obrolan di warung kopi bersama dosen sekaligus musisi Mas Robit Nurul Jamil. Mas Robit mengatakan "ada hal-hal misterius dari dalam diri Sukarno yang patut di kaji, skripsi yang saya tulis dahulu mengkaji terkait sisi kharismatik Sukarno" dari obrolan tersebut, penulis tertarik untuk membaca buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Lalu, mengapa topik yang dipilih adalah Jago Ngomong? Silahkan pembaca baca lebih lengkapnya.
ADVERTISEMENT
Kisah
Siapa yang tak kenal panglima besar Republik Indonesia dengan suaranya yang menggelegar dalam menyampaikan pidato-pidatonya. Untuk bisa jago ngomong layaknya Sukarno tentulah kita perlu menilik kepribadiannya terlebih dahulu.
Sukarno, lahir di Peneleh, Surabaya pada tahun 1901. Beliau merupakan anak dari Idayu dan Raden Sukemi Sosrodiharjo Ibunya (mas idayu) merupakan keturunan brahmana di agama Hindu yang kemudian bertemu dengan ayahnya yang merupakan keturunan raja Singosari dan beliau (ayah Sukarno) merupakan seorang guru.
Dari orang tuanya inilah Sukarno kecil mulai mendengarkan kisah-kisah. Dari ibunya, Sukarno rutin mendengarkan cerita inspiratif sambil membenamkan kepalanya di pangkuan sang ibu... Dari ayahnya, Sukarno diajari membaca, mengeja hingga diajari pepatah-pepatah kuno yang sarat akan makna. Sukarno lahir dengan nama Kusno, kemudian diganti oleh ayahnya karena beliau (Sukarno) sering sakit. Nama Sukarno sendiri diambil dari sosok Karna di cerita Mahabarata sedangkan "Karna" sendiri secara linguistik berarti Telinga. Hal ini senada dengan kisah karna di Mahabarata yang dilahirkan dari telinga ibu Kunti.
ADVERTISEMENT
Lalu, Su sendiri merupakan awalan nama yang kerap digunakan oleh orang Jawa yang memiliki arti yang terbaik. Jadi, Nama Sukarno sendiri berarti Pahlawan Yang Terbaik. Setidaknya begitulah penuturan Ayahnya yang tertulis di dalam buku Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat.
Sukarno kecil pernah melakukan tindakan yang tak disengaja yaitu menjatuhkan sangkar burung dan tindakannya tersebut mendapatkan teguran dari sang ayah. "Masih Ingatkah kau arti dari kata-kata Tat Twan Asi, Tat Twan Asi?" Tanya ayahanda
"Artinya, Dia adalah aku dan aku adalah dia;engkau adalah aku dan aku adalah engkau" jawabnya
"Dan apakah tidak kuajarkan kepadamu bahwa ini memiliki arti khusus." tukas ayahanda
"Ya, Pak. Maksudnya, Tuhan berada di diri kita semua," jawabku dengan patuli.
ADVERTISEMENT
Dia menatap pada penjahat yang masih berumur tujuh tahun. "Bukankah engkau sudah diperintahkan untuk melindungi makhluk Tuban?"
"Ya, Pak."
"Dan coba katakan padaku apa sebenarnya burung dan telur itu?"
"Mereka adalah ciptaan Tuhan," jawabku dengan gemetar. "Tapi jatuhnya sarang itu tidak disengaja. Aku tidak ingin berbuat demikian."
Setidaknya, cerita dan pengajaran orang tuanya telah terekam dalam pikiran Sukarno sejak kecil dan akan ia kembangkan lagi di kemudian hari.
Surabaya, merupakan tahap berikutnya di kehidupan Sukarno. Tahap ini dipenuhi perkenalan dengan para cendikiawan baik secara langsung di ruang tamu bapak Cokroaminoto atau di dalam imajinasinya saat beliau membaca buku-buku dari para cendikiawan tersebut. Pemikiran Sukarno semakin terbentuk dan kosakata yang ia kuasai semakin melimpah ruah.
ADVERTISEMENT
Pernah ia mendapat suatu kesempatan untuk mewakili Pak Cokro dalam suatu rapat dan ia mendapat kesempatan berpidato. Dengan bermodalkan pengalaman berdiskusi hingga larut dengan para pemikir lainya dan Pak Cokro sebagai Role model favoritnya. akhirnya, ia berpidato dengan tegas, lugas dan hegemonik.
"Negeri kita begitu suburnya, sehingga kalau kita me nancapkan sebuah tongkat ke dalam tanah, maka tongkat itu akan tumbuh dan menjadi sebatang pohon. Sekalipun demikian rakyat menderita keku fangan dan kemelaratan merupakan beban sehari-hari. Puncak gunung mengisap awan di langit sehingga turun ke bumi dan negeri kita diben rahmat dengan hujan yang berlimpah-limpah. Tetapi kita kekurangan makan dan perut kita menjerit-jerit kelaparan."
"Ya, betul," mereka berteriak dari tempat duduknya.
ADVERTISEMENT
Suaraku mulai naik. "Mengapa hal itu terjadi, saudara-saudara? Penye babnya, penjajah kita tidak mau menanamkan uang kembali untuk mem. perkaya tanah yang telah mereka kuras. Mereka hanya mau memetik hasilnya Ya, mereka memang menyuburkan tanah kita ini. Tetapi tahukah saudana dengan apa? Dengan mayat-mayat rakyat kita kurus kering, yang mati karena kelaparan, dan kerja keras!
"Karena itu, aku bertanya, apakah saudara tidak setuju dengan pendirian. ku? Seperti aku, apakah hati saudara tidak diguncang-guncang oleh keinginan untuk merdeka? Aku pergi tidur dengan pikiran untuk merdeka. Aku bangun dengan pikiran untuk merdeka. Dan aku akan mati dengan cita-cita ini di dalam dadaku. Apakah saudara setuju dengan aku?"
"Ya," teriak mereka. "Ya... kami setuju !" Mereka melihat padaku selagi aku berbicara.
ADVERTISEMENT
Benang Merah
Kalau kita tarik benang merahnya, kemampuan jago ngomongnya Sukarno berawal dari kebiasaannya untuk mendengar cerita-cerita inspiratif dari kedua orang tuanya lalu ditambah dengan literasi dan diskusi-diskusi yang ia lahap dan sosok idolanya yaitu Umar Said Cokroaminoto. Benang merah ini juga senada dengan penuturan Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Retorika, ia mengemukakan bahwa kemampuan beretorika haruslah berawal dari suatu pemahaman tentang apa yang ingin di katakan, memperhatikan kerangka logika dan penyederhanaan agar dapat dipahami oleh khalayak ramai. Lalu, perkataan serupa juga dituturkan oleh Oh-Su-Yang dalam bukunya yang berjudul "Bicara Itu Ada Seninya". Dari kisah Sukarno dan beberapa validasi dari penulis terdahulu dan juga terkini, maka ada kemampuan untuk Jago Ngomong itu sebetulnya dapat di pupuk oleh khalayak umum dengan memperhatikan proses-prosesnya.
ADVERTISEMENT