Konten dari Pengguna

Optimalisasi Pendapatan PDRD: Langkah Persiapan Aceh Mandiri Tanpa Dana Otsus

Muhammad Nur Rizky
Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN
10 Februari 2025 17:04 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nur Rizky tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, Aceh (Sumber: Unsplash.com dibagikan oleh Sangga Rima Roman Selia)
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, Aceh (Sumber: Unsplash.com dibagikan oleh Sangga Rima Roman Selia)
ADVERTISEMENT
Indonesia termasuk dalam daftar 20 negara dengan perekonomian terbesar. Berdasarkan data yang dirilis oleh International Monetary Fund (IMF), saat ini Indonesa berada pada peringkat ke-15 berdasarkan pendapatan domestik bruto (PDB) nominal masing-masing negara. Meskipun demikian, tidak semua wilayah di Indonesia memiliki perekonomian yang besar dan subur. Salah satu provinsi yang dianggap miskin tersebut adalah Provinsi Aceh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, Aceh berada pada peringkat ke-10 provinsi termiskin apabila dilihat dari persentase jumlah penduduk miskin. Jumlah penduduk miskin di wilayah Aceh berada pada 12,64% dari total penduduk per September 2024.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Provinsi Aceh masih sangat bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat yang lebih dari setengah pendapatan Provinsi Aceh berasal dari dana transfer. Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2024 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) Tahun Anggaran 2024 menyebutkan bahwa dari pendapatan senilai Rp11,024 Trilliun, hanya Rp3,015 Trilliun (27,35%) yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sisanya berasal dari dana transfer pemerintah pusat senilai Rp8,007 Triliun (72,63%) dan pendapatan hibah Rp1,968 Milyar (0,02%). Porsi dana transfer tersebut didominasi oleh Dana Alokasi Umum (DAU) yang pada umumnya diperuntukkan untuk mendanai kebutuhan belanja pegawai di daerah. Selanjutnya porsi terbesar lainnya adalah Dana Otonomi Khusus sebagai salah satu penopang utama laju pertumbuhan di Aceh. Tujuan utama pemberian dana otonomi khusus adalah untuk mendorong perekonomian di Aceh. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa Dana Otonomi Khusus digunakan untuk membiayai pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskininan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.
ADVERTISEMENT
Dana otonomi khusus sesuai undang-undang berlaku selama 20 (dua puluh) tahun yang dihitung sejak tahun 2008-2027, dengan rincian untuk tahun pertama hingga tahun kelima belas sebesar 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas hingga tahun kedua puluh sebesar 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Saat ini Aceh telah berada pada tahun ke 18 masa penyaluran dana otonomi khusus, yang mengharuskan Pemerintah Aceh segera memikirkan sumber pendapatan tambahan sebagai pengganti dana otonomi khusus yang akan segera berakhir pada tahun 2027 dalam rangka menjamin keberlanjutan pembangunan di Aceh.
Optimalisasi Pajak dan Retribusi Daerah
Ilustrasi juru parkir (Sumber: Unsplash.com dibagikan oleh mahathirr)
Retribusi dan Pajak Parkir merupakan salah satu sumber pendapatan yang perlu dioptimalkan untuk mendongkrak PAD di wilayah Aceh. Pada Kota Banda Aceh, retribusi dari pelayanan parkir di tepi jalan pada tahun 2022 hanya terealisasi senilai Rp5,125 Milyar atau 50,25% dari target. Pada tahun 2023 angka ini mengalami peningkatan namun dalam jumlah yang sangat sedikit yakni sebesar Rp5,153 Milyar atau sebesar 50,53% dari target Rp10,197 Milyar. Salah satu penyebab utama rendahnya realisasi penerimaan ini adalah masih tingginya jumlah Juru Parkir (Jukir) liar. Jukir liar ini meminta uang parkir kepada masyarakat yang parkir di tepi jalan layaknya jukir resmi yang berasal dari Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Banda Aceh, namun tidak menyetorkan hasilnya kepada Dishub. Mereka juga tidak terdaftar sebagai jukir di Dishub Kota Banda Aceh sehingga menyulitkan pemantauan. Atas tindakan para jukir liar ini, juga terdapat akibat buruk seperti kemacetan karena lokasi parkir yang asal-asalan.
ADVERTISEMENT
Permasalahan retribusi parkir juga terlihat di Kabupaten Aceh Tengah dimana tidak ada sama sekali realisasi pendapatan dari retribusi tempat khusus parkir pada tahun 2023, meskipun sudah dianggarkan pendapatan dari retribusi tempat khusus parkir senilai Rp64 Juta. Retribusi tempat khusus ini berasal dari kantong-kantong parkir yang ditetapkan oleh Pemda seperti pasar, rumah sakit umum daerah, dan kantor-kantor khusus pemerintah. Akan tetapi, masih ditemukan keadaan dimana retribusi parkir yang ditarik oleh oknum tidak menggunakan karcis dan juga tidak disetorkan kepada Dishub Kabupaten Takengon.
Pajak Air Tanah (PAT) juga menjadi perhatian sebagai sumber pendapatan asli daerah yang perlu dioptimalisasi. PAT dikenakan atas pengambilan atau pemanfaatan air tanah untuk keperluan komersial oleh subjek PAT. Berdasarkan Pasal 45 Qanun Kota Banda Aceh Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Kota dan Retribusi Kota, tarif PAT ditetapkan sebesar 20% dari dasar pengenaan pajak PAT. Pemda Kota Banda Aceh telah menetapkan target pajak air tanah pada tahun 2023 senilai Rp286,8 Juta. Akan tetapi, pada tahun yang sama tidak dilaporkan satu rupiah pun penerimaan dari pajak air tanah di Kota Banda Aceh. Hal yang serupa terjadi di Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah yang tidak menganggarkan sama sekali penghasilan dari pajak air tanah.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi kendaraan bermotor (Sumber: Unsplash.com dibagikan oleh Abdul Ridwan)
Di tingkat provinsi salah satu potensi perpajakan daerah yang dapat ditingkatkan adalah penerimaan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Berdasarkan podcast ‘Kesamsatan Tertib Berkendara’ yang diselenggarakan oleh TribunGayo.com pada 8 Juli 2024, hanya 33% dari 93.000 unit kendaraan berplat BL di Kabupaten Aceh Tengah yang telah membayar PKB. Kondisi ini juga terjadi di Kota Banda Aceh di mana dari 288.339 unit kendaraan pada tahun 2021, hanya 14,58% yang membayar PKB. Pada tahun 2024, jumlah kendaraan di Banda Aceh mencapai 316.000 unit, tetapi yang membayar PKB hanya 39%. Berdasarkan data penerimaan PKB Provinsi Aceh tahun 2023 sebesar Rp 594,441 Milyar dengan asumsi baru terealisasi 33% dari jumlah seluruh kendaraan, terdapat potensi penerimaan tambahan mencapai Rp1 Trilliun yang belum tergarap.
ADVERTISEMENT
Solusi dan Rekomendasi
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang menjadi faktor penyebab utama rendahnya penerimaan asli daerah di wilayah Aceh yang berasal dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Yang pertama adalah karena belum adanya data wajib pajak daerah dan retribusi daerah di Aceh yang baru dan terbarukan serta masih belum adanya pemetaan potensi wajib pajak baru. Sosialisasi tentang perpajakan dan retribusi daerah serta fasilitas-fasilitas terkait perpajakan daerah juga seharusnya lebih diintensifkan guna meningkatkan kesadaran wajib pajak dan wajib retribusi daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah.
Ilustrasi mesin e-Parking (Sumber: Unsplash.com dibagikan oleh Handi Sugihartian)
Faktor berikutnya adalah masih rendahnya digitalisasi metode pembayaran retribusi sebagai pendapatan asli daerah di wilayah Aceh. Salah satu metode untuk meningkatkan pendapatan dari retribusi parkir adalah dengan menyediakan perangkat-perangkat digital seperti melalui mesin e-parking atau penggunaan aplikasi parkir. Penelitian yang dilakukan oleh Mardiansyah dkk. pada tahun 2024 menunjukkan bahwa penerapan e-Parking terbukti dapat meningkatkan pendapatan retribusi Kota Medan. Akan tetapi, dalam penerapan e-Parking juga ditemukan beberapa kendala seperti kultur masyarakat yang masih terbiasa dengan paradigma setoran tunai. Kendala lainnya, dari penerapan e-Parking adalah adanya perlawanan dari juru parkir yang merasa kehilangan penghasilan seperti yang ditemukan dalam penelitian Sipayung tahun 2022 di Kota Samarinda.
ADVERTISEMENT
Digitalisasi dan integrasi sistem perpajakan juga perlu dilakukan guna memudahkan pembayaran pajak daerah. Contoh penerapan aplikasi ini berada di Provinsi Jawa Barat dengan aplikasi Sapawarga yang memudahkan masyarakat Pemprov Jabar untuk melihat tagihan pajak kendaraan bermotor dan untuk melakukan pembayarannya. Aplikasi tersebut juga menyediakan fitur lainnya pembelian tiket acara, kanal aspirasi warga, lowongan pekerjaan, pendaftaran peserta didik baru (PPDB), layanan perizinan dan beragam fitur lainnya. Hal ini membuat warga merasa lebih nyaman untuk melakukan pembayaran pajak dengan dibantu oleh aplikasi tersebut.
Kesimpulan
Dengan semakin dekatnya penghentian penyaluran Dana Otonomi Khusus Aceh pada tahun 2027, Pemerintah Aceh perlu melakukan pengkajian ulang serta mengintensifikasikan serta mengekstensifikasikan sumber-sumber PAD, terutama yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah dengan langkah-langkah yang strategis guna menjamin keberlanjutan pembangunan di Aceh.
ADVERTISEMENT