Konten dari Pengguna

Ketertutupan Kemendagri Terhadap Informasi Pengangkatan Penjabat Kepala Daerah

Rizky Ramadhan
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
30 Juli 2023 13:39 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rizky Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto ilustrasi gedung Kemendagri. Foto: Dok. Setjen Kemendagri
zoom-in-whitePerbesar
Foto ilustrasi gedung Kemendagri. Foto: Dok. Setjen Kemendagri
ADVERTISEMENT
Pasal 18 ayat (4) Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa kepala pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota haruslah dipilih secara demokratis. Sampai saat ini masih terdapat informasi mengenai penunjukan penjabat kepala daerah yang masih ditutup-tutupi oleh Kemendagri pada publik.
ADVERTISEMENT
Adapun beberapa dokumen yang sampai sekarang masih belum dibukakan ke publik salah satunya yaitu Keppres Nomor 50/P Tahun 2022 tentang Pengangkatan Penjabat.
Kemudian aturan teknis terkait pengisian posisi penjabat kepala daerah sebagai turunan dari Pasal 201 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang diamanatkan dalam pertimbangan putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021, juga dokumen identifikasi kepala daerah di sejumlah provinsi dan kabupaten yang masa jabatannya berakhir tahun 2022 dan 2023.
Informasi-informasi mengenai pengangkatan penjabat kepala daerah sudah semestinya dibukakan karena sejatinya publik juga memiliki hak untuk mengetahui mekanisme pengisian penjabat kepala daerah tersebut.
Kemendagri bersikap seakan-akan tidak memahami bahwa dalam konteks pengangkatan penjabat ini sangatlah vital mengingat durasi pemerintahan penjabat tersebut bukan selama dua atau tiga bulan, tetapi bisa sampai dua tahun lebih. Terlebih lagi kewenangan penjabat ini akan sama dengan kepala daerah definitif pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan dalam menunjuk penjabat kepala daerah yang dilakukan oleh Kemendagri serta seluruh kebijakan dan dokumen pendukung yang tidak dibukakan ke publik melanggar konstitusi dan juga ketentuan pada Pasal 11 ayat (1) UU KIP huruf b dan c, sehingga Kemendagri tidak memiliki alasan untuk terus menutup-nutupi informasi ini.
Sejatinya pengangkatan ini perlu dilakukan sepenuhnya dengan transparan maupun demokratis sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
Pemerintah harus memastikan keterbukaan atas informasi kepada publik terlebih informasi yang menyangkut kepentingan hidup segenap masyarakat karena partisipasi publik menjadi salah satu unsur utama dalam penunjukan penjabat kepala daerah.
Publik di sini memiliki tiga hak yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
ADVERTISEMENT

Trauma Masa Lalu

Sumber foto: pixabay.com
Tindakan korektif atas maladministrasi yang dikeluarkan oleh Ombudsman terhadap tindakan yang dilakukan Kemendagri sudah seharusnya dilakukan tindak lanjut saat ini juga.
Salah satu di antaranya ialah dengan memperbaiki proses pengangkatan penjabat kepala daerah dari unsur prajurit TNI aktif, seperti Brigjen Andi Chandra yang juga masih menjadi prajurit TNI aktif saat ia ditunjuk sebagai penjabat Bupati Seram Bagian Barat.
Secara konstitusional, TNI aktif tidak boleh menempati jabatan sebagai kepala daerah, hal ini tertuang dengan jelas pada Pasal 30 UUD 1945 yang menyatakan fungsi dari TNI berada pada bidang pertahanan negara bukan sebagai penjabat pemerintahan.
Kita juga harus mengingat salah satu tuntutan reformasi terdahulu yakni cita-cita untuk memisahkan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dari kursi pemerintahan, dengan dibukanya celah melalui pengangkatan penjabat kepala daerah ini maka dapat berimplikasi terhadap kembalinya dwifungsi ABRI tersebut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, mengingat secara prinsipil anggota TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan di 10 bidang dan patut digarisbawahi jabatan kepala daerah tidaklah termasuk dalam bidang tersebut sesuai dengan Pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Di luar daripada ketentuan tersebut haruslah merujuk secara lengkap esensi dari UU TNI dan UU ASN ihwal status kedinasan. Atas dasar tersebut pengunduran diri oleh para penjabat dinas aktif sudah selayaknya dilakukan.

Pengabaian Putusan Mahkamah Konstitusi

Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
Faktanya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, baru pada periode ini terdapat jumlah penjabat begitu banyak dan dengan durasi yang begitu lama seperti ini, oleh karena itu perlu ada regulasi khusus dan sistematis dalam penyelenggaraannya.
ADVERTISEMENT
Kemendagri juga harus menindaklanjuti tindakan korektif Ombudsman terkait maladministrasi dalam melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi No. 67/PUU-XIX/2021 yang menjadi momentum untuk penataan regulasi turunan.
Di mana putusan tersebut mengintruksikan pembentukan peraturan pelaksana dari Pasal 201 Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah. Di mana peraturan tersebut haruslah mencakup proses pengangkatan, lingkup kewenangan, evaluasi kinerja hingga pemberhentian penjabat kepala daerah.
Hal ini dapat mengakomodir tersedianya mekanisme dan persyaratan yang mengukur standardisasi bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, sehingga menjadikan hal ini lebih terbuka, transparan, akuntabel, serta menunjukkan kepada masyarakat tidak ada unsur politik praktis di dalamnya.
Setahun penunjukan penjabat kepala daerah dilaksanakan tapi peraturan yang memuat mekanisme pelaksanaan hal-hal tersebut tak kunjung diterbitkan. Menanggapi hal ini Kemendagri malah menyikapinya dengan membuat Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.
ADVERTISEMENT
Kemendagri seharusnya sudah membuat naskah usulan pembentukan PP (Peraturan Pemerintah) karena sebuah Peraturan Menteri saja tidaklah cukup, sebab pihak yang menunjuk penjabat kepala daerah bukan hanya oleh Mendagri tetapi juga oleh Presiden.
Tidaklah mungkin Presiden menjalankannya dengan regulasi yang diciptakan oleh Mendagri. Hal ini pun diperkuat mengingat peraturan tersebut dikeluarkan pada tahun 2023, sedangkan penunjukan kepala daerah sudah dilakukan pada tahun 2022, sehingga menyebabkan peraturan ini berlaku surut (retroaktif).
Jangan sampai pemerintah terperangkap dalam jebakan informalitas dengan tidak adanya peraturan pelaksana ini. Dalih Mendagri yang menyatakan putusan ini tidak bersifat memerintah pun tidak dapat diterima. Pada dasarnya putusan MK bukan hanya sekadar rekomendasi melainkan bersifat final dan mengikat sehingga mesti ditindaklanjuti oleh pemerintah.
ADVERTISEMENT
Putusan ini harus dimaknai dan dipatuhi secara keseluruhan, karena walaupun permohonan pemohon ditolak dalam putusan tersebut tetapi di dalamnya memiliki panduan agar roda pemerintahan negara tetap berjalan pada prinsip demokrasi guna menghasilkan penjabat kepala daerah yang berkualitas dalam memimpin untuk sementara waktu.
Atas tindakan-tindakan korektif Ombudsman tersebut juga penting untuk dipahami bahwa hal-hal tersebut juga bersifat mengikat.

Tanpa Dasar Hukum

Sumber foto: pixabay.com
Pengungkapan informasi mengenai salinan keputusan pengangkatan penjabat kepala daerah, dokumen-dokumen pendukung pertimbangan penunjukan penjabat kepala daerah, hasil penilaian akhir tim penilai akhir penjabat kepala daerah, dan profil kandidat penjabat kepala daerah yang dikecualikan oleh Kemendagri untuk dibukakan ke publik tidak memiliki dasar hukum sama sekali.
Hal ini pun tidak sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
ADVERTISEMENT
Atas ketertutupan yang dilakukan Kemendagri telah menimbulkan keraguan di tengah masyarakat. Bahwa pengangkatan penjabat kepala daerah yang telah dilakukan seperti ini tidak berbasis dengan mekanisme yang objektif yang mampu membantah permasalahan di daerah, sehingga informasi-informasi tersebut sudah seharusnya dibukakan ke publik sekarang juga.
Penjabat kepala daerah merupakan jabatan publik. Oleh karenanya publik pun berhak tau bagaimana proses pengangkatannya.
Pengangkatan penjabat tanpa dasar hukum yang kuat, tidak partisipatif, dan pengabaian putusan MK yang telah dilakukan oleh Kemendagri merupakan pengabaian terhadap etika bernegara yang baik dan menyebabkan kemerosotan demokrasi yang semakin mendalam.