Penal Populism, Extra Judicial Killing, dan Ucapan Bobby Nasution

Gray Sembiring
Pembelajar Hukum Vox Audita Perit, Littera Scripta Manet. Hukum Tata Negara FH USU
Konten dari Pengguna
21 Juli 2023 17:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gray Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Penal Populism. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Penal Populism. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernah mendengar kebijakan populis? atau kebijakan yang dibuat pejabat pemerintahan untuk menarik simpati masyarakat padahal kebijakan tersebut tidak menyentuh sama sekali akar persoalan. Seolah-olah kebijakan tersebut dianggap menjawab persoalan, padahal sejatinya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebijakan ini disebut sebagai penal populism.
ADVERTISEMENT
Penal populism merupakan fenomena yang menunjukkan pemerintah mengambil kebijakan pemberian hukuman berat pada suatu tindakan kejahatan. Pengambilan kebijakan/keputusan sejalan dengan kondisi masyarakat yang sedang resah dan jamaknya tingkat kejahatan. Pengambilan kebijakan semata-mata hanya untuk mendapatkan dukungan politis masyarakat. Populisme penal lebih mengedepankan keinginan instan masyarakat daripada harus mengikuti regulasi dan prosedur yang diatur.
Pola kebijakan seperti menembak mati pelaku kejahatan jalanan, Hukuman mati, dan War On Drugs merupakan beberapa contoh penal populism. Kebijakan sesaat yang hanya memuaskan nafsu publik, tetapi membuat kita lupa akar permasalahan yang pada akhirnya berujung pada keengganan melakukan perubahan.
Penal Populism sudah jelas bukan langkah bijak dalam pengambilan keputusan. Pengambilan kebijakan populis dipandang bukan bertujuan untuk memperbaiki sistem yang ada. Penal populism menjadi penanda reformasi kebijakan pidana yang masih saja berjalan ditempat. Apabila kebijakan seperti ini masih dipelihara, kebijakan hukum pidana kita pasti akan melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan pula tidak menghormati martabat kemanusiaan.
ADVERTISEMENT

Extra Judicial Killing

Istilah Extra Judicial Killing belakangan ini mengemuka di media sosial. Extra Judicial Killing merupakan serangkaian tindakan pembunuhan oleh aparat negara tanpa melalui proses hukum dan putusan pengadilan yang sah. Tindakan Extra Judicial Killing adalah bentuk konkret pelanggaran HAM dan Hukum Acara Pidana yang serius.
Tindakan Extra Judicial Killing adalah tindakan serampangan yang melanggar instrumen hukum HAM nasional dan Internasional. Tentunya Hak hidup adalah Hak Konstitusional yang dimiliki setiap warga negara untuk mempertahankan kehidupannya. Ia tidak boleh dirampas oleh siapa pun karena hak hidup bersifat non-derogable rights (tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun).
ADVERTISEMENT
Tindakan Extra Judicial Killing merupakan tindakan represif tanpa dijalankan sesuai prosedural hukum acara pidana. Secara filosofis, kehadiran hukum acara pidana adalah untuk menjadi benteng pelindung warga negara agar menghindari kesewenang-wenangan aparat penegak hukum. Hukum formil bertujuan supaya penegakan hukum materiil harus berdasarkan kaidah-kaidah dan tata cara yang ada. Hadirnya Hukum Acara Pidana menjadi penting dalam perlindungan terhadap orang-orang yang akan dibawa ke pengadilan.
Kita harus memahami esensi dari KUHAP mengenai hak seseorang yang masih dinyatakan sebagai tersangka. Mereka memiliki asas praduga tak bersalah dan hak untuk dibawa ke persidangan dan mendapatkan peradilan yang adil. Hal tersebut digunakan untuk membuktikan persangkaan yang dituduhkan negara adalah benar.
Tindakan Extra Judicial Killing sebenarnya dapat dilakukan asal saja tindakan tersebut sangat membahayakan nyawa aparat dan masyarakat. Oleh karena itu penggunaan tindakan ini harus benar-benar terukur dan prinsip kehati-hatian. Paling penting diingat tindakan ini bersifat melumpuhkan bukan mematikan. Bila tindakan ini dilakukan melampaui batas, hal ini akan menimbulkan kesewenang-wenangan.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, ada problematika yang sangat menarik mengenai Extra Judicial Killing dalam hukum positif kita. Dalam penjelasan pasal 104 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tindakan Extra Judicial Killing dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat. Artinya, Extra Judicial Killing berdasarkan penafsiran pasal tersebut merupakan kejahatan yang amat serius. Namun, pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Extra Judicial Killing bukan termasuk dalam pelanggaran HAM berat. Begitu pula pada Pasal 8 dan 9 yang menjelaskan secara lebih spesifik mengenai Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, keduanya tidak ada sama sekali menjelaskan secara rinci ihwal Extra Judicial Killing.
Ketidakharmonisan kedua Undang-Undang tersebut membuat terjadinya miskonsepsi pemahaman Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum. Banyak kasus Extra Judicial Killing dipahami harus dibawa ke pengadilan pidana bukan pengadilan HAM. Regulasi yang tidak harmonis membuat sulitnya penegakan hukum terhadap tindakan Extra Judicial Killing. Saya berpendapat, Extra Judicial Killing merupakan Pelanggaran HAM Berat karena sudah merendahkan dan menyerang langsung martabat kemanusiaan. Pun daripada itu, Extra Judicial Killing secara jelas adalah perbuatan tidak manusiawi yang melanggar instrumen-instrumen hukum yang ada. Sehingga ke depannya, Tersangka Extra Judicial Killing sudah sepatutnya diadili di Pengadilan HAM.
ADVERTISEMENT

Ucapan Bobby Nasution

Wali Kota Medan, Bobby Nasution saat siaran pers terkait proyek lampu jalan di Kota Medan pada Selasa (9/5). Foto: Pemkot Medan
Bobby Nasution dalam media sosialnya mengapresiasi Kapolrestabes Medan beserta jajarannya yang telah berhasil menembak mati pelaku kejahatan begal. Secara lebih lanjut, Bobby Nasution meminta agar jajaran aparat kepolisian menindak tegas para pelaku di lapangan meskipun ditembak mati.
Ucapan Bobby Nasution tersebut merupakan kolaborasi Penal Populism dan pemeliharaan Extra Judicial Killing. Pasalnya memang banyak warga mendukung penuh pernyataan tersebut. Mereka beralasan hanya dengan cara itulah begal bisa diatasi di Kota Medan. Alasan utama adalah pemberian hukuman yang setimpal, efek jera, dan bahkan ada ucapan “kan pelaku begal juga tidak memperhatikan nyawa orang, jadi sah-sah saja mereka ditembak mati di tempat” atau barangkali ada yang berpendapat “Pelaku Begal kan juga tidak peduli HAM orang lain”. Saya berpendapat, cara berpikir seperti itu benar-benar keliru dalam menuntaskan persoalan.
ADVERTISEMENT
Tentunya kita semua sepakat, begal adalah masalah serius. Ia adalah kejahatan yang sangat menimbulkan keresahan dan keamanan masyarakat. Tapi, perlu diingat kembali dalam Sistem Peradilan Pidana memiliki proses yang wajib diikuti dari pemeriksaan sampai kepada Putusan.
Perlu kita bertanya kembali, apakah ini yang disebut negara hukum yang demokratis dan negara demokratis berdasarkan hukum? Tentu tidak. Konsekuensi logis dari Negara Hukum adalah bahwa tindakan/keputusan yang dibuat oleh aparat dan pejabat pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Terkait penindakan terhadap kasus begal, sebenarnya sudah ada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Peraturan tersebut menjadi acuan kepolisian dalam melakukan tindakan kepolisian, sehingga terhindar dari penggunaan kekuatan yang berlebihan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan.
ADVERTISEMENT
Pasal 3 Perkap tersebut, penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian haruslah berdasarkan pada prinsip-prinsip:
ADVERTISEMENT
Secara lebih lanjut, pada Pasal 5 mengenai tahapan dalam penggunaan kekuatan dan tindakan kepolisian, haruslah memenuhi 6 tahapan seperti: kekuatan yang memiliki dampak deterrent/ Pencegahan, perintah lisan, kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, semprotan cabe atau alat lain sesuai standar Polri, dan kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain yang menghentikan tindakan atau perilaku pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat.
Selanjutnya pada pasal 7 ayat (2) Polri memang dibenarkan melakukan tindakan agresif sepanjang dilakukan oleh pelaku kejahatan atau tersangka yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian atau membahayakan kehormatan kesusilaan anggota Polri atau masyarakat atau menimbulkan bahaya terhadap keselamatan umum, seperti: membakar stasiun pompa bensin, meledakkan gardu listrik, meledakkan gudang senjata/amunisi, atau menghancurkan objek vital.
ADVERTISEMENT
Dalam pasal 8 ayat (3) memberikan mandat kepada kepolisian bisa melakukan penembakan dengan senjata api dapat dilakukan tanpa peringatan atau perintah lisan namun hanya dalam keadaan apabila terdapat ancaman yang bersifat segera yang dapat menyebabkan luka parah atau kematian anggota polisi atau masyarakat.
Jadi terlihat jelas, berdasarkan regulasi di atas penggunaan kekuatan senjata api dalam tindakan kepolisian harus terukur, cermat, dan merupakan upaya yang paling terakhir. Penggunaan senjata api haruslah berdasarkan asas legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan masuk akal. Sehingga apabila kita kembali ke permasalahan begal dan ucapan Bobby Nasution sebenarnya sudah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak beralasan menurut hukum.
Jangan pernah menganggap tindakan lebih penting dari proses; kedua itu sama pentingnya. Sejatinya Prinsip negara Hukum terdiri dari Substantive Due Proses of Law dan Procedure Due Process of Law. Kedua prinsip tersebut seharusnya menjadi pedoman aparat penegak hukum dalam penegakan hukum. Ucapan Bobby Nasution tentunya sudah melanggar keduanya, baik dari segi substansi ataupun proses penegakan hukum. Sehingga tindakan pembunuhan tanpa putusan pengadilan tidak bisa dinormalisasi.
ADVERTISEMENT
Sebagai sebuah bangsa, jangan pernah berkata Indonesia adalah Negara Hukum tetapi tidak taat pada prinsip-prinsip hukum. Bagi saya, ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip hukum sama berbahayanya dengan perbuatan kejahatan itu sendiri. Sehingga alangkah lebih baik setiap pejabat pemerintahan membongkar semuanya dengan kebenaran; bukan alasan pembenar.
Menutup tulisan ini, mari kita refleksikan kembali Penegakan Hukum Pidana kita dengan quates dari Prof. Soedarto: