Manusia Haus Atensi, Satwa Liar Harus Dibui

Epul Saepul
Mahasiswa di Universitas Padjadjaran
Konten dari Pengguna
2 Juli 2024 7:01 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Epul Saepul tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Elang di Pusat Konservasi Elang Kamojang. Foto: Epul Saepul.
zoom-in-whitePerbesar
Elang di Pusat Konservasi Elang Kamojang. Foto: Epul Saepul.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena menyombongkan diri sudah lama berkembang di seluruh dunia. Fenomena ini merupakan cara untuk memperoleh pengakuan seseorang dari orang lain, meningkatkan citra diri, atau untuk menegaskan posisi mereka di dalam hierarki sosial tertentu. Selain itu, fenomena menyombongkan diri, bertujuan agar dapat memuaskan keinginan seseorang dalam menarik perhatian (atensi) dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Manusia sering kali terjerat dalam siklus pencarian perhatian yang tak terpuaskan, menggunakan kekayaan dan kekuasaan untuk menarik perhatian, serta memperoleh pengakuan dari orang lain. Hal ini menyoroti, betapa perlunya seseorang untuk mengejar keinginan agar menjadi pusat perhatian. Bahkan tidak segan-segan, manusia sanggup untuk mengeksploitasi makhluk lain, bahkan satwa yang dilindungi sekalipun.
Manusia mempunyai hasrat untuk menonjolkan status sosial dan kekayaannya sejak zaman dahulu. Hal tersebut tergambar dalam suatu tradisi di masa lampau yakni tradisi kalangenan.
Menurut Dede Kosasih dalam artikel jurnalnya yang berjudul “Mitos Kalangenan: Antara Prestise dan Pelestarian Lingkungan”, kalangenan merupakan pemeliharaan satwa yang terjadi terutama di kalangan elite tradisional khususnya raja termasuk abdi-abdinya (para menak).
Dede Kosasih menambahkan, bahwa kalangenan merupakan cara untuk mencapai kebesaran dan kewibawaan. Jenis satwa yang dipelihara sebagai satwa kalangenan biasanya tidak hanya satu macam saja, melainkan sangat beragam. Misalnya kuda, kerbau, elang, gajah, kijang, harimau, beruang, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Tradisi memelihara satwa sebagai simbol prestise sosial yang terjadi di masa lampau, ternyata masih eksis dan berkembang hingga sekarang. Menariknya praktik kalangenan saat ini, lebih sering ditemukan di kalangan birokrat dan kelompok masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas.
Seperti pada Mongabay, 3 September 2023, Mantan Bupati Langkat diadili karena memelihara orangutan Sumatera, burung elang brontok, monyet hitam Sulawesi, burung jalak Bali, dan burung beo.
Mengutip dari Kumparan “Burung Elang Jadi Mainan Hobi Pangeran Arab, Harganya Bisa Rp 30 Miliar per Ekor”, bergeser ke negara bagian timur yakni Arab, mereka turut ikut dalam kepemilikan satwa liar. Seperti yang dilakukan oleh para pangeran Arab dengan burung elang dan harimau sebagai peliharaan. Kepemillikan satwa tersebut, mencerminkan kelangsungan dari tradisi kalangenan dalam bentuk yang lebih modern.
ADVERTISEMENT
Orang-orang kaya atau pemimpin memperlihatkan kekayaan mereka dengan mengumpulkan barang-barang langka atau eksotis, kepemilikan satwa liar yang langka seperti burung elang bisa dilihat sebagai cara untuk menegaskan status dan kekayaan mereka dalam masyarakat yang lebih luas.
Kepemilikan satwa liar secara pribadi atau tradisi kalangenan tentunya berdampak pada keberlangsungan satwa di alam. Peningkatan perburuan dan perdagangan ilegal, merupakan dampak lain dalam tradisi ini yang sering kali merugikan spesies-spesies lain yang terancam punah.
Satwa liar sering ditangkap dari habitat alaminya secara tidak berkelanjutan untuk memenuhi permintaan pasar hewan. Transformasi sosial akibat pembangunan, telah melahirkan sejumlah kelompok menengah hingga atas yang semakin besar, tampaknya hal ini bisa menimbulkan persoalan besar dalam pengembangan tradisi pemeliharaan satwa untuk kalangenan.
ADVERTISEMENT
Pada 2015-2021, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pernah menyita 13 juta item perdagangan ilegal yang berisikan hampir 4.000 spesies tumbuhan dan hewan di 162 negara. Spesies yang paling umum adalah karang sebanyak 16 persen, buaya 9 persen dan gajah 6 persen.
Selain itu, satwa liar yang ditangkap dan dijadikan peliharaan kerap mengalami tekanan psikologis dan fisik yang signifikan. Penangkapan, transportasi, dan penahanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan alaminya dapat menyebabkan stres, penyakit, bahkan kematian. Kondisi ini sering kali bertentangan dengan prinsip kesejahteraan hewan yang memperhatikan kebutuhan alami satwa.
Seperti elang yang berada di Pusat Konservasi Elang Kamojang, pada tahun 2023 ditemukan sebanyak 39 ekor elang mengalami cacat fisik dan psikis (kehilangan insting berburunya) akibat tradisi kalangenan ini, sampai beberapa elang sudah tidak dapat dilepasliarkan kembali. Mereka hanya diam dan terperangkap dalam jeruji besi seperti napi, walaupun mereka tidak melakukan kesalahan.
ADVERTISEMENT
Namun, seseorang juga tidak dapat secara langsung melepasliarkan satwa liar peliharaanya ke lingkungan yang bukan habitat aslinya, sebab satwa tersebut dapat mengakibatkan gangguan serius terhadap ekosistem lokal. Satwa ini dapat menjadi predator baru yang mengganggu keseimbangan alamiah, mengurangi populasi spesies lokal, atau mengubah dinamika ekosistem secara keseluruhan.
Mengutip dalam website National Geographic Indonesia, pelepasliaran satwa wajib didahului studi dan pemahaman, antara lain untuk memastikan habitatnya sesuai dan satwa tidak membawa penyakit. Tanpa itu, pelepasliaran dapat mengancam keanekaragaman hayati.
Dalam menghadapi tradisi kalangenan, sangat penting untuk kita menyadari bahwa dampak negatif yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kesejahteraan satwa ini sangat banyak. Bisa dibayangkan, jika anak dan cucu kita maupun generasi yang akan datang, tidak dapat melihat burung terbang, ikan berenang, dan keanekaragaman hayati lainnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi dampak-dampak negatif ini, perlindungan yang ketat terhadap satwa liar dan penegakan hukum yang kuat sangat diperlukan. Langkah-langkah ini tidak hanya akan melindungi satwa liar dari perburuan dan perdagangan ilegal, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem alami.
Tercantum dalam Peraturan Perundang-undangan dari Pemerintah Indonesia tentang satwa liar, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Pasal 21 ayat 2, bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup.
Peran pemerintah dalam mengedukasi publik untuk menjaga satwa liar di habitat yang asli, juga sangat penting. Masyarakat perlu diberikan pemahaman bahwa satwa liar bukanlah barang mewah yang dapat senantiasa dipamerkan, melainkan bagian penting dari ekosistem yang harus dilindungi. Kesadaran ini dapat mengurangi permintaan terhadap satwa liar sebagai hewan peliharaan dan membantu mencegah perburuan serta perdagangan ilegal.
ADVERTISEMENT