Aturan Pajak E-commerce Dicabut, Sri Mulyani Dapat Tekanan?

30 Maret 2019 9:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi Industri E-commerce. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Industri E-commerce. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik (pajak e-commerce) dinilai karena Menteri Keuangan Sri Mulyani mendapat tekanan dari pihak tertentu. Padahal, aturan pajak bagi toko online (e-commerce) tersebut sedianya akan berlaku mulai 1 April mendatang.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo sangat menyayangkan keputusan yang diambil pemerintah tersebut, mengingat beleid pajak e-commerce itu telah mengakomodasi sejumlah pihak dan menunjukkan langkah maju. Dia melihat adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada Sri Mulyani.
"Terkesan ada tekanan yang berlebihan dari pihak-pihak tertentu, termasuk asosiasi usaha, yang cenderung menginginkan keadaan status quo," ujar Yustinus dalam keterangannya, Sabtu (30/3).
Yustinus menilai, dalam rangka menciptakan level yang sama (level of playing field), upaya yang ditempuh dan dihasilkan relatif cukup baik.
Sebagai contoh, awalnya dalam PMK 210/2018 mewajibkan seluruh pelaku usaha dalam platform marketplace menyerahkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) maupun Nomor Induk Kependudukan (NIK). Namun Sri Mulyani melonggarkan syarat ini karena menurutnya ada banyak kalangan mahasiswa, ibu rumah tangga, bahkan siswa SMP yang belum punya NIK atau NPWP.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, saat ditemui di Kantor LPEI, Jakarta. Foto: Resya Firmansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, dalam PMK 210/2018 juga sebelumnya mewajibkan penyedia platform marketplace untuk memungut, menyetor, melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penghasilan (PPh) terkait penjualan barang dagangan milik pedagang di marketplace itu sendiri. Penyedia platform marketplace juga wajib melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.
Namun Sri Mulyani lagi-lagi melonggarkan syarat tersebut. Bahkan menurutnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) juga akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga lainnya agar para penyedia platform marketplace tak perlu menyerahkan informasi tersebut ke berbagai pihak.
Meski demikian, Yustinus memahami keputusan yang diambil Sri Mulyani itu akan menimbulkan kegaduhan di tengah kontestasi politik. Apalagi aturan pajak e-commerce ini termasuk isu yang sensitif.
"Keputusan ini bisa dipahami di tengah kontestasi politik yang rawan menimbulkan kegaduhan dan penggiringan opini yang dapat merugikan, karena kebijakan perpajakan bagi e-commerce termasuk isu yang sensitif," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Sri Mulyani mengakui pencabutan dilakukan karena aturan pajak e-commerce kerap disalahartikan sebagai pungutan pajak yang baru.
Pemerintah akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga untuk mengumpulkan informasi dari marketplace. Selain itu, pemerintah melakukan komunikasi lagi dengan seluruh pemangku kepentingan.
"Kami tarik saja aturannya karena noise yang muncul begitu banyak dan tidak produktif,” kata dia di Kantor Perwakilan Pajak (KPP) Pratama Setiabudi di Jakarta, Jumat (29/3).
Dengan ditariknya PMK tersebut, Sri Mulyani mengingatkan perlakuan perpajakan untuk seluruh pelaku usaha tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Para pelaku usaha, baik e-commerce maupun konvensional, yang berpenghasilan hingga Rp 4,8 miliar dapat memanfaatkan skema PPh Final dengan tarif 0,5 persen dari jumlah omzet usaha.
ADVERTISEMENT