Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah memeriksa dan mengevaluasi laporan keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA). Setidaknya ada dua hal yang direkomendasikan BPK kepada perusahaan pelat merah tersebut.
ADVERTISEMENT
BPK merekomendasikan agar Garuda membatalkan kerja sama anak usahanya, PT Citilink Indonesia (CI) dengan PT Mahata Aero Technology (MAT). Tak hanya itu, BPK juga meminta Garuda Indonesia menyajikan ulang laporan keuangan tahunan 2018.
"BPK sudah memeriksa dan melakukan evaluasi terhadap laporan keuangan Garuda. BPK meminta untuk membatalkan kerja sama PT Citilink dengan PT Mahata Aero Technology. Dan BPK merekomendasikan agar Garuda melakukan restatement atas penyajian laporan keuangan 2018," ujar Anggota III BPK, Achsanul Qosasih kepada kumparan, Kamis (11/7).
Berdasarkan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (LH PDTT) BPK yang diterima kumparan, BPK setidaknya ada dua masalah terkait laporan keuangan Garuda Indonesia.
Pertama, perjanjian kerja sama Citilink dengan Mahata tidak memenuhi syarat sah perjanjian yang mencakup kedudukan para pihak dan objek perjanjian.
ADVERTISEMENT
BPK menjelaskan, dalam perjanjian kerja sama layanan konektivitas dalam penerbangan Nomor CITILINK/JKTDSOG/PERJ-6248/1018 beserta seluruh perubahannya, disebutkan Direktur Utama (Dirut) Citilink hanya bertindak atas nama perusahaan dan tidak dinyatakan bahwa Dirut Citilink mendapatkan kuasa dari Garuda Indonesia Airlines (GIA), sehingga yang mengaitkan diri dalam perjanjian tersebut hanya Citilink dan Mahata.
"Oleh karena itu, GIA dan SA (Sriwijaya Air) tidak memiliki kedudukan hukum. Termasuk tidak memiliki hak dan kewajiban perjanjian kerja sama layanan konektivitas tersebut," tulis laporan tersebut.
Terkait dengan objek perjanjian, BPK menyebutkan bahwa Citilink selaku pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut tidak memiliki kewenangan dan kuasa atas sebagian objek perjanjian yang merupakan milik Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air.
Selain itu, dalam surat kuasa, Dirut Sriwijaya Air memberikan kuasa atas 47 pesawat yang dimiliki, padahal yang dijanjikan sebanyak 50 pesawat. BPK menyebut tiga pesawat yang ada di dalam perjanjian masih dalam proses perjanjian dan belum dimiliki Sriwijaya Air.
“Dengan memperjanjikan barang yang merupakan milik pihak lain yang tidak ikut menjadi pihak dalam suatu perjanjian berarti obyek yang diperjanjikan tidak memenuhi syarat sebab dan halal. Citilink yang terikat dalam perjanjian tidak memiliki kewenangan atas sejumlah obyek perjanjian tersebut dan ini berlawanan dengan hukum,” tulisnya.
ADVERTISEMENT
Kedua, BPK juga menemukan adanya kejanggalan kerja sama layanan konektivitas dan In-Flight Entertainment (IFE) belum bersifat final. BPK melihat bahwa perjanjian masih akan dilakukan dengan adendum atau perubahan dan salah satunya belum mengatur detail terkait hak dan kewajiban Garuda Indonesia, Sriwijaya Air, dan Mahata.
Sesuai perjanjian kerja sama layanan konektivitas dan IFE antara Citilink dengan Mahata, jika pesawat yang diperjanjikan melibatkan pesawat yang dioperasikan oleh Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air, maka dua perusahaan tersebut akan menyepakati ketentuan kerja sama dalam perjanjian terpisah dengan Mahata atau amandemen kerja sama antara Citilink dengan Mahata.
Sesuai dalam Berita Acara Pemberian Keterangan (BAPK) tanggal 17 Mei 2019 dan 21 Mei 2019, Dirut Mahata dan Direktur Niaga Citilink menyebut masih banyak klausul yang perlu dibahas, terutama terkait dengan pembayaran biaya kompensasi.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, dalam Pasal 3 ayat 2 perjanjian back to back antara Garuda Indonesia dengan Citilink, kembali ditegaskan bahwa Garuda Indonesia dan Mahata akan membuat perjanjian tersendiri yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak.
"Sesuai dengan BAPK Nomor 07/BAPK-Tim-BPK/PDTT61/05/2019 tanggal 28 Mei 2019, Direktur Utama GIA menyatakan mengambil keputusan yang cepat untuk menyelamatkan keuangan GIA karena kondisi GIA yang saat itu tidak bagus," demikian laporan tersebut.