Catatan untuk LRT Jakarta: Masih Banyak yang Perlu Dibenahi

14 Juni 2019 16:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kereta Light Rail Transit (LRT) melintas saat uji publik di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
zoom-in-whitePerbesar
Kereta Light Rail Transit (LRT) melintas saat uji publik di kawasan Kelapa Gading, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
ADVERTISEMENT
Jakarta sudah lama menanti kehadiran kereta ringan alias Light Rail Transit (LRT). Apalagi PT LRT Jakarta berulang kali menunda operasi komersial kereta ringan ini. Padahal saat awal pencanangan, LRT ditargetkan bisa beroperasi saat Asian Games pada 2018 lalu. Nyatanya hingga pesta olahraga tersebut terlaksana, operasi LRT hanya sebatas uji coba. Saat Asian Games berlangsung, baru dua dari enam stasiun yang bisa digunakan, yaitu Velodrome dan Kelapa Gading.
ADVERTISEMENT
Kini pasca-Lebaran 2019, LRT kembali melakukan uji publik. PT LRT Jakarta pun membuka pendaftaran online bagi masyarakat yang ingin menjajal transportasi ini. Saat mengetahui informasi ini, jujur kumparan sangat antusias untuk mencoba. kumparan langsung turut mencoba mendaftar via laman website yang ditentukan. Seharusnya pendaftaran via web sangat mudah. Hanya saja saat itu, kumparan tidak mendapat jatah uji publik di hari pertama. Sebab kuota uji publik untuk hari pertama sudah habis. Akhirnya, kumparan memperoleh tiket untuk hari kedua, yaitu 12 Juni.
Suasana uji publik LRT Jakarta, Selasa (11/6) Foto: Fachrul Irwinsyah/kumparan
Namun pada uji publik hari pertama, saya mencoba mendatangi langsung Stasiun LRT Boulevard Utara di Kelapa Gading. Jujur, saat masuk, saya cukup bingung dengan denah stasiun. Saya sempat naik eskalator dua kali. Namun saya justru berada di area kosong dan tidak langsung menemukan loket maupun gate tap in. Saya juga tidak mudah menemukan petugas LRT. Saya lantas berjalan ke arah seberang dan turun satu lantai menggunakan lift. Di lantai itu, barulah saya melihat loket dan gate untuk tap in.
ADVERTISEMENT
Ternyata pada pagi itu sekitar pukul 09.00 WIB, belum banyak masyarakat yang datang menjajal LRT. Di dekat gate tap in, ada beberapa petugas yang siap melayani calon penumpang yang datang. Saya yang hari itu tidak memegang e-ticket tetap diperbolehkan masuk dengan mengisi data secara manual di loket. Setelah itu saya diberi satu kartu single trip oleh petugas.
Sejumlah warga uji saat coba publik LRT, Jakarta. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Tap in berjalan mulus, mesin dengan cepat merespon dan gate terbuka. Saya rasa, jika performanya cepet seperti ini nantinya antrean penumpang tidak akan menumpuk di gerbang tap in. Saya makin antusias. Setelah masuk, saya baru tersadar bahwa gerbang tap in tadi merupakan pintu masuk ke peron arah Stasiun Pegangsaan Dua. Stasiun sekaligus depo yang hingga kini belum beroperasi. Beberapa orang pun juga masih berdiri di sepanjang peron tersebut. Padahal saya berencana menjajal LRT ke arah Velodrome atau Rawamangun.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya ada pihak petugas yang memberitahu bahwa kami harus naik dulu ke atas untuk menyebrang, lalu turun lagi untuk mencapai peron arah Velodrome. Sayang sekali, informasi mengenai hal tersebut kurang disampaikan dengan baik. Tidak ada papan tanda ataupun instruksi dari petugas saat saya masuk tadi. Saya pun lantas menuju ke peron seberang.
Suasana Stasiun LRT Boulevard Utara. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Dari peron arah Velodrome saya mulai melihat dengan jelas bahwa bangunan Stasiun Boulevard Utara ini tidak bersih benar. Interiornya baru namun terkesan tak pernah dibersihkan. Di dinding atas, terlibat debu di sana-sini. Pun pada lantai juga tidak bersih mengkilat. Saya sempat ingin mengecek toilet, namun papan informasi menunjukkan kereta datang 3 menit lagi. Saya pun mengurungkan niat, takut ketinggalan kereta.
ADVERTISEMENT
Lama-lama saya menyadari bahwa saya sudah menunggu lebih dari 3 menit. Padahal pihak LRT mengklaim, durasi waktu antar kereta hanya berkisar 10 menit. Saya mulai gusar karena kereta tidak datang tepat waktu. Ditambah, suasana di peron stasiun terasa sangat panas. Bangunan ini memang didesain terbuka namun tidak dilengkapi dengan kipas angin. Hari yang makin terik membuat hawa makin gerah. Kereta pun tak kunjung datang.
Setelah menunggu 3 menit versi LRT, akhirnya kereta bercorak merah ini terlihat diujung rel. Saya mulai bersiap antre paling depan dekat pintu otomatis. Begitu pintu terbuka saya langsung sigap masuk dan duduk bersama penumpang lain. Gerbong kereta ini tidak sebesar gerbong kereta milik MRT. Ukurannya lebih mini dengan dua deret kursi berhadapan, dan dua deret lebih kecil lagi untuk kursi prioritas. Total, kursi-kursi ini bisa diisi 16-20 penumpang. Sisanya tentu saja berdiri di dalam gerbong.
Suasana hari pertama uji coba publik di Stasiun LRT Jakarta. Foto: Selfy Sandra Momongan/kumparan
Di atas setiap pintu, terdapat monitor kecil untuk mengetahui posisi laju kereta atau stasiun selanjutnya yang akan dituju. Suasana di dalam kereta pun terasa lebih dingin dan sejuk. Mesin LRT tidak terdengar terlalu bising dan laju kereta pun terasa halus. Sayangnya informasi melalui audio soal stasiun berikutnya yang akan dituju tidak disampaikan secara berulang. Akibatnya beberapa penumpang yang tidak familiar dengan rute tersebut menjadi bingung. Ada beberapa ibu-ibu yang saling bertanya kereta sudah sampai di stasiun mana. Beberapa penumpang bahkan mengecek secara manual pada layar monitor di atas pintu.
ADVERTISEMENT
Sejujurnya, perjalanan cukup singkat untuk mencapai Velodrome yaitu sekitar 10 menit. Penumpang pun diizinkan untuk turun. Saya pun sempat ikut turun dan melihat ke sekeliling Stasiun LRT Velodrome. Bentuk dan nuansanya tidak berbeda dengan Stasiun Boulevard Utara. Saya yang masih penasaran, memutuskan naik lagi ke kereta untuk kembali ke stasiun awal.
Setelah menunggu sekitar 10 menit— lagi-lagi versi LRT—kereta yang saya tumpangi tadi melaju kembali menuju Kelapa Gading. Masih sama, saya merasa pengumuman via audio tidak terlalu sering disampaikan, berbeda dengan MRT yang menyampaikannya berkali-kali. Saat akan keluar dari peron, saya baru menyadari tidak ada papan informasi yang lengkap soal pintu keluar. Hanya ada tulisan ‘Exit/Keluar’ tanpa ada informasi soal nama jalan. Sehingga saya harus bertanya pada petugas dulu, pintu keluar tersebut mengarah ke jalan mana. Sebab saya mencari pintu keluar yang langsung tersambung ke Mal Kelapa Gading 1.
Suasana di Veldrome, Rawamangun, Jakarta TImur. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Saat saya berjalan keluar dan menuju tangga, saya juga menyadari tidak ada petunjuk atau rambu-rambu untuk pejalan kaki yang biasanya dipasang di setiap anak tangga. Biasanya ada petunjuk yang dipasang untuk memberitahu kepada penumpang agar berjalan di sisi tertentu, sesuai dengan petunjuk. Sebab, satu lajur anak tangga digunakan untuk naik dan turun. Di stasiun LRT, petunjuk tersebut tidak saya temukan. Hal yang sama juga terlihat pada eskalator. Rambu ‘diam’ dan ‘jalan’ juga tidak terpasang.
ADVERTISEMENT
Secara keseluruhan, kereta ringan ini memang tampak dan terasa modern. Hanya saja, saya terlalu tinggi berekspektasi soal kereta buatan China ini. Terlebih, sebelumnya pengalaman saya naik MRT sangat berkesan modern dan supermegapolitan. Ekspektasi yang sama juga saya taruh saat akan menjajal LRT. Sayangnya, pengalaman yang saya peroleh di LRT tak sesuai dengan ekspektasi saya. Saya berharap, masa uji publik ini bisa menjadi periode evaluasi bagi LRT Jakarta. Pun demikian, saya masih menaruh harapan yang besar untuk kereta ringan yang cantik ini.