Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Cerita Mama-mama Papua yang Kuliahkan Anaknya dari Jualan Sagu
7 Desember 2018 13:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Selain jadi sumber pangan utama, sagu juga jadi keran penghasilan warga di Kampung Yoboi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan pendidikan anak-anaknya hingga kuliah. Mama Leni Tungkoye misalnya, mengaku 5 dari 6 anaknya mengenyam pendidikan dari hasil penjualan sagu .
Anak Leni yang pertama sudah di bangku kuliah, anak kedua tengah mengenyam pendidikan di SMA, anak ketiga dan keempat di bangku SMP, dan yang kelima masih SD. Sementara yang bontot belum sekolah.
“Semuanya sekolah, semuanya dibiayai dari sagu dan ikan,” kata Leni saat ditemui kumparan dan rombongan Econusa di balai Kampung Yoboi, Kamis (6/12).
Ibu 41 tahun ini mengungkapkan saat masuk musim ajaran baru warga di sini memang lebih banyak menebang pohon sagu dibanding hari biasanya. Misalnya, untuk masuk kuliah tahun pertama, anak sulung Leni butuh dana Rp 7 juta, dia pun menebang lebih dari 5 pohon dengan jumlah sagu basah yang dihasilkan dan dijual mencapai 30 karung.
ADVERTISEMENT
Satu pohon sagu yang biasa tebang bisa menghasilkan rata-rata 5 karung beras berukuran 15 kg. Per karungnya, dihargai Rp 200 ribu. Itu artinya dia bisa mendapatkan Rp 1 juta dari satu pohon.
Harga sagu basah di pasar Sentani sendiri naik turun, biasanya haga jual melonjak jika memasuki Desember karena permintaan meningkat untuk Natal. Tak hanya sagu, pendapatan ikan juga bisa menopang biaya sekolah anak-anak.
“Benar sangat bantu buat biaya sekolah. Kalau untuk kebutuhan sekolah, kita jual semua (sagu basah). Kalau ikan, dalam 1 tali tangkapan ada 2-3 ekor. Per ekornya bisa sampai Rp 100 ribu. Dapat 5 ekor, Rp 500 ribu per hari. Tapi jual sagu lebih cepat, uang dapat besar,” kata dia.
Sebelum Leni, ada Mama Deborah yang lebih dulu menyekolahkan anak-anaknya dari hasil jual sagu. Meski dia pensiunan PNS guru, tapi biaya kelima anaknya banyak dibiayai dari hasil jual sagu. Saat ini, kelima anak Mama Deborah sudah lulus kuliah semua dan telah bekerja.
ADVERTISEMENT
“Masa sulit itu pas mau bayar uang semester, baru kita bikin sagu. Tapi sagu ada terus (di hutan), tidak pernah kurang asal mau tokok (parut dari batangnya),” kata dia.
Selain sagu dan ikan di Danua Sentani, ekonomi warga ditopang oleh penjualan ulet sagu. Ulet-ulet ini tumbuh dari batang pohon sagu yang tidak sempat ditokok atau pohon yang sudah tua tapi tak sempat ditebang warga.
Kepala Adat Kampung Yoboi Sefanya Wally mengatakan tekstur daging di dalam pohon sagu yang lembab menjadi tempat yang disukai ulet sagu berkembanga. Karena mengandung protein dan lemak baik, harga jualnya pun cukup menjanjikan.
“Satu toples ukuran sabun B29, kalau ditata penuh bisa dapat Rp 50 ribu. Banyak yang cari. Mahal sekali karena protein tinggi bahkan jadi pengobatan kekebalan tubuh," kata dia.
ADVERTISEMENT
Ulet sagu juga diolah sebagai lauk papeda dengan ditumis atau dibakar. Tapi, ulet ini juga bisa langsung dimakan mentah-mentah langsung dari hutan.