Karena Pajak, Orang Indonesia Pilih Jadi Youtuber daripada Peneliti

14 Maret 2019 12:43 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Direktur Perpajakan II Ditjen Pajak, Yunirwansyah menjadi pembicara pada Seminar Nasional Perpajakan di Ditjen Pajak. Foto: Dok. Ditjen Pajak
zoom-in-whitePerbesar
Direktur Perpajakan II Ditjen Pajak, Yunirwansyah menjadi pembicara pada Seminar Nasional Perpajakan di Ditjen Pajak. Foto: Dok. Ditjen Pajak
ADVERTISEMENT
Pajak menjadi salah satu hambatan rendahnya penelitian dan riset di Indonesia. Bahkan saat ini generasi muda lebih memilih menjadi Youtuber dibandingkan peneliti.
ADVERTISEMENT
Direktur Peraturan Perpajakan II Ditjen Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Yunirwansyah, mengakui pajak atas royalti peneliti di Indonesia saat ini memang cukup tinggi. Makanya tak heran jika banyak peneliti hebat di Indonesia yang justru beralih ke luar negeri.
"Jadi di Indonesia ini peneliti dianggap bukan sebagai profesi yang menjanjikan. Orang cenderung jadi Youtuber, jadi foto model, dibanding jadi peneliti," ujar Yunirwansyah dalam acara Seminar Nasional Perpajakan di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (14/3).
Berdasarkan data UNESCO 2018, dana untuk penelitian dan riset hanya USD 2,1 juta atau 0,1 persen dari total produk domesik bruto (PDB) Indonesia. Dana tersebut merupakan yang terkecil jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Jepang yang sebesar USD 169,5 juta atau 3,4 persen dari PDB Jepang; AS sebesar USD 476,4 juta atau 2,7 persen dari PDB AS; atau China yang mencapai USD 370 juta atau sebesar 2 persen dari PDB China.
Ilustrasi pajak Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Yunirwansyah bilang, dana riset yang masih rendah di Indonesia itu harus perlu didorong. Salah satunya dengan insentif perpajakan.
Saat ini, peneliti yang mendapat royalti di Indonesia juga dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atau 26 atas Royalti, tarifnya bervariasi dari 2 persen hingga 15 persen. Ini lah yang membuat masyarakat semakin enggan menjadi peneliti di Indonesia.
Berdasarkan data Ditjen Pajak, royalti yang didapatkan wajib pajak pada 2017 yang sebesar Rp 46,7 triliun, sementara PPh Pasal 23 dan 26 mencapai Rp 7,6 triliun. Angka ini meningkat dibandingkan 2016 yang royaltinya mencapai Rp 44,1 triliun, sementara PPh Pasal 23 dan 26 yang dibayarkan mencapai Rp 6,9 triliun.
"Kita tidak ingin ini berlangsung lama. Jangan sampai peneliti tadi bahannya di sini, semuanya dari sini, tapi penelitiannya di luar negeri. Kita mulai kehilangan arah," katanya.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, saat ini pemerintah tengah mengkaji insentif pajak bagi dana penelitian dan riset. Nantinya, perusahaan swasta yang meningkatkan anggaran risetnya akan diberikan pengurangan pajak (tax deduction) hingga 200 persen.
"Prancis kayak gitu, pajaknya dibebaskan, enggak bayar pajak. Itu endorse peneliti supaya mau meneliti di sini," tambahnya.