Kasus Suap Meikarta, Dampak Perizinan yang Berbelit di RI

19 Oktober 2018 18:58 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana proyek pembangunan Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana proyek pembangunan Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
ADVERTISEMENT
Mencuatnya kasus dugaan suap pengurusan izin Meikarta milik Lippo Group seolah menjadi pengingat bahwa masih ada kendala yang membelenggu sektor properti di Indonesia. Ya, salah satu masalah tersebut adalah perizinan yang dinilai terlalu rumit dan berbelit. Hal ini seolah menjadi batu sandungan bagi pengembang.
ADVERTISEMENT
Head of Marketing Rumah.com, Ike Hamdan, mengatakan ada segelintir pengembang yang mengaku proses perizinan untuk proyek properti di Indonesia masih relatif susah dan butuh waktu yang lama.
“Segelintir pengembang mengaku proses perizinan untuk proyek properti di Indonesia relatif berbelit-belit dengan masa tunggu yang sangat lama. Utamanya ini masih terus terjadi di daerah-daerah dan tak terkecuali di Jabodetabek khusus di DKI Jakarta. Perizinan pun hingga kini masih menjadi tantangan tersendiri,” tekan Ike ketika dihubungi kumparan, Jumat (18/10).
Ike mengungkapkan perizinan bisnis properti di Indonesia diatur oleh banyak regulasi. Seperti untuk mengetahui dasar hukum untuk izin usaha bidang perumahan, diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 22/PRT/M/2014. Kemudian ada lagi beberapa aturan, berikut rinciannya:
ADVERTISEMENT
1. Undang Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,
2. Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal,
3. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 10 Tahun 2012 jo. No. 7 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman Dengan Hunian Berimbang,
4. Peraturan Kepala BKPM Nomor 5 Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2013.
Suasana jalanan di Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana jalanan di Apartemen Meikarta, di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. (Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan)
"Silakan mengacu pada beberapa aturan berikut. Birokrasi disebut sebagai faktor dominan dalam mempengaruhi proses perizinan bahkan justru 69 persen pengembang menyatakan lebih mudah mendapatkan izin di luar DKI Jakarta.," sebutnya.
Rumitnya proses perizinan di bisnis properti sudah seharusnya dijawab oleh pemerintah. Perizinan yang berbelit ditambah lamanya waktu yang dibutuhkan secara tidak langsung membuat biaya operasional pengembang membengkak.
ADVERTISEMENT
"Properti ini merupakan sektor yang memiliki industri terkait sangat banyak, ada ratusan. Bisa dibayangkan bahwa kompleksitasnya begitu besar, begitu pula dampak satu dengan yang lain. Di Indonesia, secara umum kita masih berada dalam keterbatasan integrasi sistem yang membuat data tidak tersedia dengan transparan dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi," tuturnya.
Sementara Konsultan Properti Hendra Hartono menambahkan dalam praktik di lapangan, proses pengurusan perizinan tidak bisa ditabak. Menurut dia semua itu tergantung jenis properti yang dibangun dan seberapa rumit proyek tersebut dibangun. Dengan kata lain, semakin kompleks proyek pembangunan maka perizinannya pun bisa kian ribet.
“Misalnya pembangunan 1 gedung perkantoran lebih mudah dibandingkan dengan 3 gedung kantor sekaligus dalam 1 kawasan tentu juga berbeda dibandingkan dengan pembangunan superblok,” timpal dia.
ADVERTISEMENT
Dalam perizinan, kata Hendra, punya tantangannya masing-masing. Meski begitu, dari tahap perizinan yang terbilang menjadi kendala bagi sebagian besar pengembang ialah proses memperoleh SLF atau Sertifikat Layak Fungsi setelah gedung selesai dibangun.
“Karena perlunya waktu proses mengevaluasi dan memberikan persetujuan kepada gedung yg akan selesai dibangun dan siap beroperasi. Yang kami dengar dari para pengembang sulit ditentukan berapa lama prosesnya. Gedung hanya bisa beroperasi secara legal setelah mendapatkan SLF,” terangnya.
Maka dari itu, kata Hendra bisa saja pengembang melakukan berbagai cara untuk memuluskan tahap perizinan yang menyulitkan itu. Salah satunya dengan penyuapan pihak regulator.
“Mungkin ya,” tutupnya.