Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Sriwijaya Air Akui Terpukul Akibat Kurs Rupiah yang Terus Melemah
14 Agustus 2018 8:16 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:07 WIB
ADVERTISEMENT
Nilai tukar rupiah semakin merosot terhadap dolar AS. Kemarin, rupiah menyentuh Rp 14.600 per dolar AS, terendah sejak 2015. Salah satu yang paling terpukul dengan kondisi ini adalah industri penerbangan, salah satunya Sriwijaya Air .
ADVERTISEMENT
Direktur Utama Sriwijaya Air, Chandra Lie, mengaku saat ini perusahaan harus merasakan beban operasional yang lebih berat dengan pelemahan rupiah. Sebab, sebagian besar biaya operasional perseroan menggunakan dolar AS.
"Di antaranya sewa pesawat, perawatan pesawat, spareparts, asuransi pesawat dan lain-lainnya. Bayangkan saja kita jual tiket dapatnya rupiah, bayar harus pakai mata uang asing USD," kata Chandra Lie kepada kumparan, Senin (13/8).
Selain itu, pelemahan rupiah juga diperburuk dengan meningkatnya harga minyak dunia. Komponen bahan bakar pesawat (avtur) menyumbang sekitar 30-40 persen dari total biaya maskapai.
Pada (13/8), harga minyak mentah dunia jenis Brent dijual USD 72,63 per barel. Menurut data Energy Information Agency (EIA), harga minyak Brent dilepas pada angka USD 51-52 per barel pada awal Agustus 2017. Terjadi penignkatan harga sekitar USD 20 per barel selama setahun.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, Sekertaris Jenderal Asosiasi Maskapai Penerbangan Indonesia (Indonesia National Air Carrier Association/INACA) Tengku Burhanudin menilai pelemahan rupiah dan melonjaknya harga avtur sangat memberatkan maskapai penerbangan nasional.
"Tentu sangat berat terhadap operasional maskapai penerbangan nasional," katanya.
Sebagai solusi jangka pendek, pelaku industri penerbangan sudah berbicara dengan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk meminta izin kenaikan tarif batas bawah.
"Jangka pendek secepat tarif batas bawah disesuaikan dan selanjut menyesuaikan tarif batas atas," katanya.
Live Update
Pada 5 November 2024, jutaan warga Amerika Serikat memberikan suara mereka untuk memilih presiden selanjutnya. Tahun ini, capres dari partai Demokrat, Kamala Harris bersaing dengan capres partai Republik Donald Trump untuk memenangkan Gedung Putih.
Updated 5 November 2024, 21:56 WIB
Aktifkan Notifikasi Breaking News Ini