Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun ini diprediksi makin dalam. Berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT), defisit BPJS Kesehatan diramal capai Rp 28 triliun.
ADVERTISEMENT
Padahal di tahun 2018, defisit BPJS Kesehatan hanya mencapai Rp 9,1 triliun. Sementara defisit BPJS Kesehatan tahun 2017 capai Rp 9,75 triliun, defisit di 2016 sebesar Rp 6,59 triliun, dan defisit di 2015 sebesar Rp 4,6 triliun.
Menengok fakta tersebut, kini muncul ide untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan . Sebenarnya sesuai Peraturan Pemerintah (PP) nomor 87/2013 dan PP nomor 84/2015, saat aset dana jaminan sosial kesehatan bernilai negatif, penyesuaian besaran iuran dapat dilakukan.
Meski demikian, terakhir kali kenaikan iuran BPJS Kesehatan terjadi di tahun 2016. Pun pada saat itu, kenaikan iuran yang dilakukan pemerintah tak mengikuti perhitungan aktuaria Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), yakni lebih murah.
Lantas, apakah tahun ini iuran BPJS Kesehatan akan dinaikkan? Berikut rangkuman berita soal wacana menaikkan iuran yang dirangkum kumparan:
ADVERTISEMENT
1. Jokowi Setuju Iuran BPJS Dinaikkan
Pada Senin (30/7) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beserta jajarannya menggelar rapat yang membahas mengenai defisit BPJS Kesehatan. Dalam kesempatan itu, menaikkan iuran BPJS Kesehatan dibahas sebagai solusi defisit.
Bahkan menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut bahwa Jokowi menyetujui usulan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan . Namun untuk besaran kenaikannya, JK mengaku hal itu baru diputuskan pada rapat berikutnya.
“Kemarin ada beberapa hal yang dibahas dan prinsipnya kita setuju. Namun perlu pembahasan lebih lanjut, pertama, kita setuju untuk menaikkan iuran. Tapi berapa naiknya, nanti dibahas oleh tim teknis, nanti akan dilaporkan pada rapat berikutnya. Kedua Presiden setuju perbaikan manajemen, sistem kontrol BPJS sendiri," timpalnya.
Menurut JK, menaikkan premi adalah jalan satu-satunya untuk menekan defisit BPJS Kesehatan. Dia khawatir jika premi tak dinaikkan maka defisit BPJS Kesehatan bisa semakin melebar. JK memperkirakan dalam beberapa tahun ke depan, jika tak ada tindakan, BPJS Kesehatan bisa defisit hingga Rp 40 triliun bahkan Rp 100 triliun.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita tidak perbaiki BPJS (Kesehatan) ini, ini seluruh sistem kesehatan kita runtuh, rumah sakit tidak terbayar, bisa sulit dia, bisa tutup rumah sakitnya. Dokter tidak terbayar, pabrik obat tidak terbayar bisa-bisa pabrik obat atau pedagang obat bisa juga defisit," ucap JK.
2. Kenaikan Iuran Belum Pasti
Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo mengatakan, pemerintah masih akan kembali menggelar rapat untuk memutuskan jadi tidaknya premi BPJS Kesehatan dinaikkan.
"Tapi itu pun harus ada perbaikan terhadap pengelolaan keseluruhan DJSN. Kemarin saya rapat dengan Pak Dirjen (Anggaran) sampai malam, lalu besok tanggal 2 (Agustus) hari Jumat akan bincang bincang dengan Menko PMK, Menteri Keuangan, Menteri Sosial, Menkes, untuk melihat bahwa JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu seperti apa yang seharusnya," ujar Mardiasmo saat ditemui di Kantor Wapres, Jalan Veteran, Jakarta, Rabu (31/7).
Dalam pertemuan tersebut, menurut dia akan dibahas mengenai kondisi BPJS Kesehatan khususnya hasil audit yang sudah dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dalam hasil audit 2018 lalu, BPKP memberikan saran agar BPJS Kesehatan menjalankan action plan agar bisa menekan defisit.
ADVERTISEMENT
"BPJS Kesehatan harus melaksanakan semua rekomendasi dari BPKP, termasuk cleaning datanya termasuk jika ada beberapa yang masih perbaikan. Menkes sudah memberikan evaluasi terhadap kelas rumah sakit, rujuk balik sudah, dana kapitasi juga sudah dari Mendagri, jadi ini sudah semuanya," tuturnya.
Mengenai rencana untuk menaikkan premi, pemerintah masih akan melihat beberapa aspek. Misalnya kemampuan keuangan negara untuk menambal defisit, sinkronisasi dengan pemerintah daerah, hingga pajak rokok.
Di tempat yang sama, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan, rencana menaikkan premi BPJS Kesehatan masih akan dibicarakan.
"Belum, baru merencanakan untuk menaikkan," tutupnya.
3. Pemerintah Tak Disarankan Naikkan Iuran
Meski bisa menjadi obat ampuh untuk meredam defisit BPJS Kesehatan, namun menaikkan iuran dinilai bukan menjadi solusi jangka panjang. Hal itu diungkapkan oleh peminat studi politik dan kebijakan publik, Grady Nagara, dalam opininya yang ditulis dalam platform kumparan.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, skema pembayaran yang digunakan BPJS Kesehatan untuk mengganti klaim yang ditagih RS adalah Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs). Skema itu mengganti skema pay-for-service, di mana pembayaran dilakukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan.
Dalam INA-CBGs, pendekatannya adalah prospektif, di mana pembayaran dilakukan atas layanan yang jumlahnya sudah diketahui. Istilah lainnya, INA-CBGs ini menggunakan pembayaran sistem 'paket' berdasarkan rata-rata biaya yang dihabiskan untuk satu kelompok diagnosis. Misalnya untuk cuci darah, tarif 'paket' yang dikenakan untuk RS kelas C adalah Rp 450-600 ribu.
Sekilas, skema ini memang lebih cost effective, terutama bagi BPJS Kesehatan. Sebab, risiko pembiayaan tidak sepenuhnya ditanggung BPJS Kesehatan, melainkan juga pihak RS sendiri. Selain itu, skema pembayaran ini diyakini dapat menekan RS untuk berlaku bijak.
ADVERTISEMENT
“Padahal, di sinilah konflik akan muncul. RS swasta yang mengedepankan profit tentu tidak akan mau menanggung risiko dengan menambal kekurangan biaya layanan yang tidak ditutupi BPJS Kesehatan,” ucap alumnus Universitas Indonesia itu.
Meskipun BPJS Kesehatan mengklaim bahwa pembayaran yang dilakukan selalu di atas rata-rata, kenyataannya masih banyak RS yang bermasalah. Masalah yang terlihat terutama pada buruknya kualitas pelayanan, pembatasan akses layanan, dan tidak sedikit pula perlakuan diskriminatif terhadap peserta JKN-KIS.
Hal lain yang juga penting adalah: biaya layanan yang ditanggung BPJS Kesehatan sangat bergantung pada supply dari industri farmasi. Selain biaya penanganan, ketersediaan alat medis, termasuk obat-obatan juga pasti akan berpengaruh dalam perhitungan unit cost untuk satu kelompok diagnosis.
Pelayanan kesehatan yang bergantung pada logika pasar membuat biaya yang ditanggung juga semakin besar. Pelayanan RS swasta tentu saja akan lebih besar dibandingkan dengan pelayanan RS milik pemerintah. Tidak hanya itu, penyediaan obat-obatan juga bergantung pada industri yang juga menggunakan logika korporasi.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, industri farmasi yang tersedia sebanyak 216 perusahaan pada tahun 2016. Masalahnya bukan hanya sebagian besar pengelolaannya pada korporasi swasta, melainkan juga bahan baku dalam pembuatan obat sebagian besarnya masih diimpor.
Sehingga, tidak hanya soal mengedepankan profit, melainkan juga biaya produksi obat juga semakin mahal. Hal ini menjadi bukti kuat bahwa mekanisme pasar obat tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh negara. Pemerintah tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan harga obat.
Padahal, harga obat ini akan menjadi dasar perhitungan INA-CBGs. Tarif INA-CBGs akan bergantung pada mekanisme pasar obat dan layanan kesehatan, yang apabila terjadi kenaikan, tentu saja tarifnya akan semakin meningkat. Maka sangat wajar, jika beban BPJS Kesehatan semakin besar pula, setidaknya hal ini terlihat dari nilai defisit yang semakin besar setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
“Oleh sebab itu, keputusan pemerintah untuk menaikkan iuran kepesertaan harus ditinjau ulang. Ada masalah kronis lainnya yang membuat sistem jaminan sosial kita semakin krisis: pelayanan kesehatan yang sarat free market dan lemahnya kontrol pemerintah. Andai sisi ini bisa diatasi pemerintah, seharusnya iuran tidak perlu dinaikkan, bahkan sangat mungkin jika diturunkan. Dampak positif berikutnya adalah kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan, terutama di RS, juga semakin meningkat,” katanya.