Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
There ain’t no such thing as a free lunch. Jangan gampang percaya agar tak mudah teperdaya.
ADVERTISEMENT
Larasati (nama samaran) menuang minyak tanah ke dalam mangkuk, lalu menenggaknya. Baru separuh, tapi rasa panas sudah menjalar ke sekujur tubuh. Ia lalu kehilangan kesadaran, satu siang di bulan Agustus 2018.
Sang suami yang masuk ke kamar, mendapatinya sudah tak berdaya. Beruntung Laras sempat muntah sebelum dibawa ke rumah sakit. Muntahan itu ikut mengeluarkan cairan minyak tanah yang sebelumnya telah masuk ke perut.
Larasati pun selamat. Ia mengaku tak pikir panjang. Ia hanya tahu, kalau mati bisa dapat uang. “Aku mati, lalu dapat duit selawatan.”
Kenapa Laras sampai begitu nekat? Ia berkata, “Duit selawatan itu bisa buat bayar utang, lu (suami) tinggal bayar deh.”
Kepada kumparan yang menyambangi ke rumahnya di Jakarta Pusat, Kamis (7/11), Laras bercerita. Ia kalut gara-gara utang sejumlah total Rp 20 juta di 10 aplikasi pinjaman online yang tak juga lunas. Setiap hari, para debt collector menghubunginya terus-menerus via WhatsApp atau telepon.
ADVERTISEMENT
Seperti nasabah pinjaman online lain, Laras terjerat lingkaran setan tak berujung hingga menggunakan 10 aplikasi pinjol. Ia membayar utang di satu aplikasi pinjol, dengan berutang di aplikasi pinjol yang lain. Begitu terus sampai 10 aplikasi “menyanderanya”.
Kekacauan itu membuat Laras berhenti dari pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga. Ia semakin lelah dengan lilitan utang dan teror debt collector, ketika akhirnya berpikir untuk bunuh diri.
Jerat setan bermula saat Larasati hendak menyelesaikan urusan sertifikat rumahnya, Juni 2018. Di saat yang sama, ia perlu uang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, juga untuk membantu menyelesaikan cicilan motor suami yang bekerja sebagai tukang ojek online.
Ketika itulah ia melihat iklan aplikasi pinjaman online di Facebook―dan segera tergiur. Laras pun mengunduhnya, dan melakukan registrasi dengan mudah.
ADVERTISEMENT
“Gampang banget minjem duit. Cuma kasih KTP sama data-data kayak tempat kerja dan kontak darurat. Terus verifikasi wajah,” kata Laras.
Registrasi beres, Laras lantas meminjam Rp 500 ribu dengan tenor (jangka waktu pembayaran) 7 hari dan bunga 1,1 persen per hari.
Satu pinjaman membawa Laras ke pinjaman berikutnya, dan berikutnya, dan berikutnya. Ia mulai gali lubang tutup lubang. Untuk melunasi pinjaman perdananya, ia mengajukan pinjaman kedua di aplikasi yang sama dengan menggunakan akun suaminya.
Dalam waktu singkat, dua bulan saja, Laras sudah menjadi nasabah di 10 aplikasi pinjaman online. Miris, keinginannya lepas dari kesulitan malah berbuah mahal.
ADVERTISEMENT
Kini Laras merasakan penyesalan yang teramat sangat meski kondisinya berangsur pulih. Ia malas mengangkat telepon dari nomor berbeda-beda milik para debt collector yang masuk ke ponselnya.
“Kenapa sih gue harus kenal fintech dan jadi terbebani,” kata Laras yang kini bekerja sebagai tukang cuci dan setrika pesanan.
Laras bukan satu-satunya. Sundari (bukan nama sebenarnya), warga Tangerang, juga punya cerita pahit.
Ia pertama kali kenal aplikasi pinjaman online dari temannya. Saat itu, Sundari sedang cari uang untuk membayar biaya pengobatan infeksi rahim yang ia derita.
Pelunasan berjalan lancar sampai empat kali ia menggunakan aplikasi tersebut. Namun pada pinjaman kelima bulan Juni 2018, ia terlambat membayar. Sundari pun diberi keringanan tiga hari untuk melunasi.
ADVERTISEMENT
Namun pada hari H pembayaran, petaka dimulai. Debt collector menelepon ke rekan kerja Sundari. “Kok ada yang nagih utang ke gua ya atas nama lu. Dia beberapa kali loh nelepon gue, bilang gue yang jadi penjamin lu,” kata koleganya.
Sundari bingung kenapa debt collector bisa tahu nomor telepon koleganya. Padahal ia merasa tak pernah mencantumkan nomor pribadi rekannya pada syarat pengajuan pinjaman.
“Saya kasih nomor tempat kerja, tapi bukan kontak teman saya,” kata dia.
Yang tidak Sundari ketahui ialah bunyi ketentuan layanan atau terms and conditions pada aplikasi pinjaman online yang ia gunakan.
Masalah makin panjang. Kolega melaporkan Sundari ke atasan, yang berujung ia dirumahkan. “HRD bilang enggak ada yang mau jadi partner aku, karena takut nomor mereka dipakai sebagai penjamin.”
ADVERTISEMENT
Sundari pun kehilangan pekerjaan. Ia menggantungkan kelangsungan hidup rumah tangga dari penghasilan suami yang hanya kurir. Padahal, tumpukan utang terus menggunung. Bukan cuma di satu aplikasi pinjaman online, tapi tiga.
Saking trauma, Sundari enggan memeriksa lagi berapa total utang yang kini harus ia bayar.
“Saya sudah nggak kerja, mau pakai apa juga ngelunasinya. Bingung. Ini lagi coba-coba lamar kerjaan,” kata dia.
Larasati dan Sundari hanya dua di antara banyak korban. Total nasabah pinjaman online yang melapor ke LBH Jakarta berjumlah hampir 300 orang. Itu belum termasuk yang tak melapor.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira meminta masyarakat mewaspadai fintech lending predator.
“Predatory lending atau High Interest Short Term model pinjamannya konsumtif, tenornya pendek-pendek, bahkan ada yang cuma satu minggu. Konsekuensinya: risikonya tinggi dan bunganya bisa lebih tinggi dari bunga kredit tanpa agunan perbankan,” kata dia saat berbincang dengan kumparan di The Ritz-Carlton SCBD, Jakarta Selatan, Rabu (7/11).
ADVERTISEMENT
Kini para nasabah pinjaman online yang merasa menjadi korban tak tinggal diam. Terlebih setelah mereka menyadari terdapat ratusan cerita serupa di mana-mana. Mereka mulai melawan bersama.
Fatmawati, misal. Ia―yang terjerat utang di 10 aplikasi pinjaman online dan tengah mencicil melunasinya―menuliskan pengalaman buruknya di Media Konsumen, dan mendulang respons dari mereka yang bernasib sama.
Fatma bersama nasabah-nasabah lain lalu memutuskan untuk bertemu. Tahun 2017, mereka membentuk grup WhatsApp sebagai sarana komunikasi. Juni 2018, dua anggota grup itu membawa kasus ke jalur hukum.
ADVERTISEMENT
Namun laporan dua nasabah pinjaman online ke Polda Metro Jaya itu mandek. Para nasabah pun memperkuat barisan dan membawa kasus mereka ke LBH Jakarta secara massal, November 2018. Di situ, Larasati, Sundari, dan Fatmawati ikut serta.
Pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Silvia Sirait, mengatakan perlindungan terhadap konsumen pinjaman online lemah karena pengawasan sebatas terhadap perusahaan yang sudah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
“Tapi bagaimana dengan aplikasi yang tidak terdaftar di OJK namun juga berkembang di masyarakat? Kalau ditutup, mereka kan bisa bikin aplikasi baru,” kata Jeanny di kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (6/11).
OJK mengakui, regulasinya masih sebatas untuk fintech yang terdaftar . Namun, mereka menyanggah bila disebut diam.
ADVERTISEMENT
“Walau tidak dalam pengawasan OJK, fintech ilegal itu menjadi concern bersama. Oleh karenanya OJK tergabung dalam Satuan Tugas Waspada Investasi yang akan menangani fintech ilegal. Sejauh ini sudah ada 400 lebih fintech yang ditutup,” kata Sekar Putih Djarot, Juru Bicara OJK, di Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Jumat (9/11).
Sekar mengimbau agar masyarakat lebih memerhatikan aplikasi yang hendak mereka gunakan untuk meminjam uang. Bila ragu, calon nasabah dapat menghubungi contact center OJK di 157 untuk memperoleh informasi seputar produk jasa keuangan, termasuk fintech.
ADVERTISEMENT
Berikut lampiran fintech lending yang tak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
------------------------
Waspada Jerat Setan Pinjaman Online . Simak Liputan Khusus kumparan.