Analisis: Meski Kalah, Mari Beri Aplaus untuk Manchester United

11 April 2019 16:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ekspresi kekecewaan pemain United usai kalah dari Barcelona di Old Trafford. Foto: Oli SCARFF / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ekspresi kekecewaan pemain United usai kalah dari Barcelona di Old Trafford. Foto: Oli SCARFF / AFP
ADVERTISEMENT
"Manchester United punya kapasitas untuk mengalahkan Juventus dan Paris Saint-Germain di babak sebelumnya. Mengalahkan Barcelona? Kenapa tidak?"
ADVERTISEMENT
Demikian prediksi Jose Mourinho saat ditanya potensi mantan timnya kala bersua Barcelona di leg pertama babak perempat final Liga Champions. Pada akhirnya memang Barcelona yang keluar sebagai pemenang di Old Trafford. Prakiraan Mourinho tak sepenuhnya salah, sebab United berhasil membuat peraih 'Si Kuping Besar' edisi 2014/15 itu kerepotan.
---
Yap, cuma satu gol yang mampu dibuat Lionel Messi dan kawan-kawan. Itu pun dengan 'bantuan' Luke Shaw yang mengubah arah sundulan kepala Luis Suarez pada menit ke-13. Lantas, apakah United bermain bertahan? Tidak juga. Mereka tergolong agresif untuk berhadapan dengan tim sekelas Barcelona. Buktinya, United berhasil melepaskan 11 tembakan, 5 tembakan lebih banyak ketimbang tim tamu.
Melihat Barcelona kerepotan menyerang itu klise--meski kebanyakan berbuah hasil. Toh, nyaris semua lawan yang dihadapi cenderung bermain defensif demi membendung agresivitas mereka. Namun, menyaksikan Barcelona kesulitan dalam bertahan, itu menjadi sesuatu yang langka.
ADVERTISEMENT
Aksi Gerard Pique menghalau Anthony Martial. Foto: AFP/Oli Scarff
Gerard Pique pun mengakui bahwa departemen pertahanannya dipaksa bekerja keras. Pasangan Shakira tersebut sampai-sampai mengklaim bila penampilan defensif timnya malam itu merupakan performa terbaik sepanjang musim.
Pique yang mengukir 9 sapuan, 1 tekel, dan memenangi 3 dari 4 duel udara, kemudian dinobatkan sebagai Man of the Match oleh UEFA. See? Bukan Messi atau Suarez. Cukup merepresentasikan bagaimana barisan belakang Barcelona diharuskan berpugak-pugak melindungi pertahanan.
Membuat Barcelona, sebuah tim yang ofensif, dipaksa bekerja keras di sektor pertahanan bukan perkara gampang. Maka, ketika ada sebuah tim yang berhasil melakukannya, mereka layak mendapatkan aplaus.
Ambil saja contoh Inter Milan dan Olympique Lyon sebagai pembanding. Dua klub itu sukses menahan imbang Barcelona di Liga Champions musim ini. Dari jumlah gol, keduanya mampu mengimbangi Blaugrana. Namun, lain cerita bila aspek permainan yang jadi tolok ukurnya. Inter dan Lyon punya benang merah saat menghadapi Barcelona: Bermain defensif.
ADVERTISEMENT
Langkah demikian relatif berisiko. Karena membiarkan Barcelona leluasa menyerang tak ubahnya seperti bunuh diri. Mereka punya Messi yang piawai mengonversi gol dari open play dan skema bola mati. Lalu Suarez, penyerang klinis yang juga ciamik dalam penempatan posisi. Itu belum dihitung dengan winger kreatif macam Philippe Coutinho dan Ousmane Dembele serta second line aktif macam Ivan Rakitic.
Lyon yang sukses mencegah Barcelona mencetak gol pada leg pertama babak 16 besar lalu pun kudu menerima 25 tembakan dari lawan. Bagaimana dengan kuantitas tembakan Les Gones? Hanya mampu mengukir seperlimanya.
Inter lebih parah lagi karena cuma melepaskan sebiji shot on target. Beruntung, Samir Handanovic mampu meredam 8 tembakan yang mengarah kepadanya. Lebih beruntung lagi karena satu-satunya tembakan Nerazzurri yang tepat sasaran berbuah gol.
ADVERTISEMENT
Luis Suarez berjibaku melewati para pemain Olympique Lyon. Foto: REUTERS/Susana Vera
Efektivitas, itulah aspek penting yang tak dimiliki United. Tak ada satu pun tembakan mereka yang mengarah ke sasaran.
Meski mengaplikasi pakem dasar tiga bek, Ole Gunnar Solskjaer sebenarnya menerapkan sistem yang tak jauh berbeda saat sukses mengalahkan PSG di babak sebelumnya. Marcus Rashford dan Romelu Lukaku diinstruksikan untuk aktif bergerak ke tepi. Sementara Scott McTominay dan Fred menjaga keseimbangan lini sentral, Paul Pogba diutus untuk menginisiasi serangan dari tengah.
Oh, ya, McTominay dan Fred tampil ciamik dengan mencatatkan 3 tekel sukses, dan 2 intersep, 1 sapuan, dan 4 kali memenangi duel udara. Inilah yang jadi salah satu faktor penting dibalik keberhasilan memangkas agresivitas Barcelona.
Sementara di pos sayap kiri, Shaw dan Diego Dalot saling mengover untuk bertahan dan membantu serangan. Sedangkan Ashley Young, mengemban tugas untuk mengakomodir serangan dari sisi sebaliknya. Namun, itulah masalah utamanya. Sayap-sayap United tak bekerja dengan baik.
ADVERTISEMENT
Dalot terlalu sibuk menyokong pertahanan. Praktis, cuma Young jadi tumpuan utama di jalur sayap. Menjadi masalah karena mantan pemain Aston Villa itu jauh dari kata kontributif. Menurut WhoScored, total 11 kali Young melepaskan umpan silang dan tak ada satu pun yang efektif.
Di satu sisi, Solskjaer mengalami situasi dilematis untuk menarik Young. Pasalnya, ia tak punya stok pemain lagi yang cukup kredibel untuk mengisi pos bek sayap. Meski buruk soal penciptaan peluang, Young tergolong aktif dalam melakukan aksi bertahan. Ia mengukir tiga tekel sukses (terbanyak setelah Chris Smalling), dan masing-masing sepasang blok serta sapuan.
Itulah mengapa Solksjaer memilih untuk memasukkan menarik keluar Lukaku dan memasukkan winger murni, Anthony Martial, demi menghidupkan serangan di sisi sayap. Dalot juga ditukar dengan Jesse Lingard demi mendongkrak fluiditas dan memaksimalkan Pogba dari lini kedua. Meski, yah, hasilnya nihil.
ADVERTISEMENT
Rashford dan Solskjaer usai laga Manchester United vs Barcelona. Foto: REUTERS/Andrew Yates
Secara garis besar, United berhasil mengimbangi agresivitas Barcelona, lebih malah. Komposisi lima gelandang yang diterapkan Solskjaer cukup apik untuk meredam daya gedor Azulgrana. Namun, efektivitas serangan yang jadi pembedanya. United minim kreativitas, khususnya di sisi tepi. Dasar yang kemudian membuat mereka takluk dalam duel tersebut.