Ander Herrera: Pemimpin Tanpa Ban Kapten

20 Februari 2019 18:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ander Herrera. Foto: Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Ander Herrera. Foto: Reuters
ADVERTISEMENT
Ander Herrera adalah bukti bahwa pahlawan tak selamanya berjubah dan pemimpin tak selalu memakai ban kapten.
ADVERTISEMENT
Perjalanan Herrera di Manchester United dimulai pada 2014/15, bertepatan dengan kepelatihan Louis van Gaal. Ia menjadi rekrutan pertama si pelatih asal Belanda tadi.
Kepindahan Herrera ke Old Trafford dari Athletic Bilbao bukan transfer yang biasa-biasa saja. Persoalannya lebih membikin pusing daripada jawaban ‘terserah’ saat ditanya mau makan apa.
Herrera adalah tulang punggung Athletic. Jauh sebelum menjadi penggawa United, ia berkontribusi pada kekalahan 2-3 ‘Setan Merah’ dari Athletic di laga leg pertama babak 16 besar Liga Europa 2011/12.
Bertanding di Old Trafford, Herrera terpukau dengan atmosfer dan kemegahannya. Julukan Theater of Dreams rasanya memang pantas disematkan kepada Old Trafford.
Yang menjadi persoalan, Athletic punya kebijakan unik--yaitu hanya merekrut pemain-pemain asal Basque. Itulah sebabnya, mereka begitu memagari Herrera. Penawaran yang dilayangkan sejak Agustus 2013 ditolak melulu, padahal nilainya mencapai 36 juta euro.
ADVERTISEMENT
Ander Herrera saat membela Athletic Bilbao. Foto: ANDER GILLENEA / AFP
Sial bagi Athletic karena penggawanya yang satu ini kadung jatuh hati pada United. Sebagai tindakan nyata, Herrera sampai membayar sendiri klausul transfernya sebesar 36 juta euro tadi kepada Federasi Sepak Bola Spanyol (REFF). Ya apa boleh bikin, pergilah Herrera ke United.
Herrera punya tugas sebagai gelandang tengah di bawah asuhan Van Gaal yang berarti kewajibannya adalah di area pertahanan, bukan mencetak gol. Namun demikian, Herrera sanggup membukukan enam gol dan empat assist.
Terlebih, lesakan gol Herrera acap hadir di laga-laga monumental. Satu yang paling ternama tentu pada pertandingan melawan Liverpool yang diwarnai dengan fragmen kartu merah Steven Gerrard saat baru menginjak lapangan dalam hitungan menit.
Musim 2016/17 diawali Herrera dengan kecemasan luar biasa. Sampai-sampai tak bisa tidur, katanya. Kedatangan Paul Pogba dan Henrikh Mkhitaryan sebagai calon penghuni lini tengah menjadi persoalan.
ADVERTISEMENT
Jose Mourinho yang menjadi pelatih United pada musim itu memang gemar membikin geleng-geleng kepala. Pogba yang akrab dengan peran kreator serangan justru diberi tugas untuk mengisi pos poros ganda sehingga harus ikut membantu pertahanan. Sialnya, Pogba acap kesulitan dengan tugasnya yang satu ini.
Para pemain Paris Saint-Germain merayakan gol ke gawang Manchester United. Foto: Phil Noble/Reuters
Sebenarnya Mourinho punya dua cara untuk mengobati penyakit United kala itu: Mengganti formasi sekalian atau menemukan tandem terbaik bagi Pogba. Kenapa tandem terbaik buat Pogba? Ya, karena Mourinho ngebet menginginkan Pogba bermain sebagai poros ganda.
Solusi itu akhirnya muncul dalam bentuk kerja sama antara Pogba dan Herrera. Si anak Basque itu memang sudah mengemban tugas pertahanan semusim sebelumnya, saat Van Gaal menjadi bos besar.
Sebelum membela United dan melahap area pertahanan, Herrera adalah pemain nomor 10 sejati di Athletic. Namun, kebutuhan tim memaksanya untuk mengemban peran yang bukan dia banget. Bahkan kalau mau jujur, 'kan lebih menyenangkan buat disebut sebagai otak serangan ketimbang anjing penjaga.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancaranya eksklusifnya bersama Rob Dawson untuk ESPNFC yang tayang pada 22 Mei 2017, Herrera menyadari tanggung jawabnya untuk memastikan bahwa bukan kehendaknya, tapi kehendak timlah--lewat instruksi pelatih--yang jadi.
Bukan perkara mudah, karena serupa kita, setiap pemain bola pun punya hasrat dan pemahaman akan diri sendiri.
“Setiap pemain di tim ini ingin bertanding karena mereka punya kualitas yang membuat layak. Jadi, kamu harus bekerja keras, bahkan sangat sangat sangat keras untuk menjadi pemain penting. Jika saya tidak melakukan ini, saya tidak akan mendapat tempat di Manchester United,”
Bekerja keras di sini tidak hanya menjadi orang yang paling rajin di sesi latihan, tidak cuma menjadi pemain yang tampil beringas di setiap laga. Tapi, menjadi orang yang paling keras untuk menekan ego sendiri.
ADVERTISEMENT
Jose Mourinho dan Ander Herrera. Foto: Reuters/Jason Cairnduff
Lagipula, adakah pekerjaan yang lebih berat daripada menjadi orang lain? Adakah tugas yang lebih melelahkan ketimbang mengorbankan diri sendiri untuk orang lain dan tim?
Di bawah asuhan Mourinho, Herrera berubah menjadi tukang jagal. Ialah yang diberikan tanggung jawab untuk mengawal lawan (marking).
Saat pemain-pemain lain diberikan prestise untuk mencetak gol, Herrera-lah yang mesti turun arena sambil berhadapan dengan ancaman cap sebagai pemain kasar oleh kubu lawan. Kartu kuning karena menarik jersi Ross Barkley dan Roberto Firmino itu jadi buktinya.
“Manajer (Mourinho) dan saya pernah terlibat dalam percakapan serius soal peran di tim. Ia bilang begini, jika saya ingin menjadi pemain penting dalam tim, ia harus melakukan apa yang diinstruksikan," jelas Herrera.
ADVERTISEMENT
“Saya pikir kami saling memahami dan melihat sepak bola dari sudut pandang yang sama: Jika kau bersedia untuk memberikan segalanya berarti kau memberi hal penting bagi tim ini. Saya bisa dan memang selalu mau belajar. Bahkan bila ia meminta saya menjadi penjaga gawang, akan saya lakukan,” ucapnya.
Ole Gunnar Solskjaer bersama Chris Smalling. Foto: Reuters/Andrew Couldridge
Pontang-panting bersama Mourinho hingga paruh musim 2018/19, United kembali merekah sebagai salah satu kekuatan besar di ranah sepak bola Inggris. Ole Gunnar Solskjaer melakoni tugasnya dengan piawai, kehidupan baru menjadi modal bagi United setiap kali turun arena.
Kawin silang antara pendekatan yang tepat dan pengenalan akan klub melahirkan taktik yang mengantarkan United pada kemenangan demi kemenangan. Nasib baik cepat atau lambat akan menjadi kawan bagi siapa pun yang bersedia melangkah dua mil walau satu mil sudah cukup. Itu pulalah yang dialami oleh Herrera bersama United-nya Solskjaer.
ADVERTISEMENT
Sang juru taktik Norwegia menginstruksikan para pemainnya untuk berlaga dalam formasi 4-3-3. Memang bukan 4-3-3 murni karena tak jarang United akan beralih rupa menjadi 4-4-2.
Dengan posisi yang lebih maju, Herrera memang tetap berduet dengan Pogba. Ia pun tetap mengemban perannya sebagai perusak serangan lawan, sementara Pogba lebih leluasa untuk membantu serangan tim.
Solskjaer pernah menjelaskan mengapa ia begitu menyukai permainan Herrera. Katanya, Herrera tak pernah berhenti berlari di sepanjang laga. Permainannya juga cenderung sederhana, tak diribetkan dengan aksi-aksi individu yang malah menjadikannya seperti pemain sirkus.
Namun, kesederhanaan yang bertemu dengan kerja kerasnya inilah yang membuatnya menjadi roda bagi permainan United. Kegigihannya untuk berlari mempermudah pekerjaan pemain-pemain United.
ADVERTISEMENT
Karena mobilitas dan fleksibilitasnya inilah Pogba dan si gelandang bertahan, Nemanja Matic, dapat bekerja dengan leluasa di lini tengah. Konsistensi Herrera untuk menjadi salah satu pemain yang paling sibuk membikin Matic dapat melakukan aksi-aksi bertahan yang lebih cerdas, dengan mengandalkan intersep.
Selama berfungsi, roda akan selalu ada di bawah. Silakan cek kendaraan masing-masing. Roda yang sedang tak difungsikanlah yang ada di dalam atau atas mobil. Rasa-rasanya kebanyakan orang akan mengagumi body mobil dulu ketimbang roda karena bagian itulah yang paling terlihat.
Namun, sebagus-bagusnya bentuk, semuanya hanya akan menjadi rongsokan jika roda tak dapat berfungsi dengan baik. Begitu pula dengan United. Sehebat-hebatnya kualitas serangannya, itu akan menjadi senjata makan tuan jika mereka yang bertugas di area pertahanan gagal bekerja dengan brilian.
ADVERTISEMENT
Kabar baiknya, Herrera juga dibiarkan untuk membantu serangan. Peran yang sedikit-banyak mengingatkannya pada tugas masa lalu yang begitu disukainya itu. Teranyar, tentu laga melawan Chelsea di babak kelima Piala FA 2018/19 yang tuntas dengan kekalahan 0-2 untuk Chelsea.
Tak cuma meminta Pogba dan Herrera lebih merapatkan jarak dengan Matic, Solskjaer juga mempersilakan duet gelandang tengah ini untuk masuk ke kotak penalti bersama Marcus Rashford dan Romelu Lukaku yang bermain melebar. Akibatnya, gol pembuka yang diceploskan Herrera ke gawang Chelsea itu.
Perubahan positif macam ini tidak membuat Herrera lupa akan tugasnya yang lain. Kalau boleh dibilang, inilah tugas paling memuakkan bagi siapa pun yang bekerja dalam tim: Menopang mental pemain lain.
ADVERTISEMENT
Alexis Sanchez tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Oke, ia masih berstatus sebagai pemain mahal di Old Trafford. Setiap minggunya, Sanchez tak perlu pusing-pusing memikirkan untuk menghabiskan waktu santai di mana karena ia akan mendapat jatah 500 ribu poundsterling.
Alexis Sanchez terbaring di lapangan saat Manchester United melawan Reading. Foto: Phil Noble/Reuters
Kedatangan Sanchez ke United pada Januari 2018 dimulai dari ekspektasi. Alasannya logis karena bersama Arsenal ia menjadi salah satu pemain paling menjanjikan: jago dribel, mahir memberi umpan, pintar melepaskan tembakan tajam, kuat kala diserang, dan memiliki stamina oke.
Namun, ekspektasi besar yang datang dari harga mahal ini sejauh ini tak terbayar. Musim lalu, persentase tampil Sanchez di United mencapai 86%. Sementara, angkanya musim ini menurun drastis menjadi 37%.
ADVERTISEMENT
Penurunan menit bermain ini merupakan imbas dari kontribusinya yang minim. Musim lalu, dia mencetak tiga gol dan lima assist di seluruh kompetisi. Sementara, Sanchez musim ini baru membukukan dua gol dan empat assist. Intinya, United punya segudang alasan untuk mencampakkan Sanchez.
Pemain Manchester United, Alexis Sanchez, melakukan tekel kepada pemain Paris Saint-Germain, Julian Draxler. Foto: Reuters/Phil Noble
Yang menyebalkan, Solskjaer masih rela berpusing-pusing untuk mencari jawaban saat ditanyai sebenarnya Sanchez ini, kenapa, sih? Jawaban Solskjaer itu rasa-rasanya menjadi alasan jika suatu saat ban mobilnya ditemukan kempes di area parkir Carrington.
“Dia (Sanchez) masih muda. Usianya memang telah 30 tahun, tapi dia masih bisa bermain untuk beberapa tahun lagi. Saya baru di sini selama dua bulan dan dia telah mengalami cedera. Jadi, sangat tak adil mengharapkannya langsung bermain bagus,” ujar Solskjaer.
ADVERTISEMENT
Laga melawan PSG menjadi salah satu indikator mengapa Sanchez disebut sebagai salah satu pemain United yang mandek. Selain nihil dalam hal tembakan, ia pun gagal menembus lini pertahanan PSG maupun menjadi pengalir bola.
Tapi, kesempatan untuknya datang di laga melawan Chelsea. Kabar baiknya, Sanchez sadar bahwa bukannya tidak mungkin pertandingan ini bisa mengubah nasibnya. Walau hanya bermain sebagai pengganti dan masuk pada menit 73, Sanchez tampil menjanjikan.
Yang dilakukan Herrera seusai laga adalah alasan mengapa kini ada banyak suporter United yang mengharapkannya untuk menjadi kapten. Begitu peluit panjang dibunyikan, ia langsung mendatangi Sanchez dan keduanya saling mengaitkan kepalan tangan.
Entah apa yang dikatakannya, mungkin: “See?! You can be badass too!” atau silakan menerka-nerka sendiri. Yang jelas setelahnya, Herrera sedikit mendorong tubuh Sanchez. Gestur itu rasa-rasanya sering kita lakukan saat memberikan selamat pada kawan dekat. Gestur yang pada akhirnya ditutup dengan pelukan.
ADVERTISEMENT
Dalam konferensi pers usai laga, Herrera bahkan menyanjung Sanchez. Ia mengutarakan respek dan kekagumannya akan kerja keras yang dilakukan Sanchez di laga ini.
Ngomong-ngomong tentang Sanchez, kami teringat satu kisah yang terjadi di Real Madrid--tepatnya di masa kepelatihan Carlo Ancelotti.
Sebelum kedatangan Don Carlo, Pepe dikenal sebagai bek paling memuakkan yang pernah ada di Spanyol, bahkan Eropa. Entah pembicaraan macam apa yang dilakukan Ancelotti dan Pepe. Tapi di bawah didikannya, Pepe berubah menjadi salah satu bek paling bersih.
Bisakah dibayangkan, Pepe yang kerap kali di-meme-kan sebagai si brutal dan membuat penonton bertaruh akankah dia diusir dari lapangan, hanya menerima empat kartu kuning sepanjang musim 2014/15?
Tak cuma itu. Ancelotti datang ke Madrid saat Iker Casillas menjadi musuh sejuta umat di Madrid. Mourinho pergi dengan meninggalkan warisan pertengkaran antara Casillas dan sejumlah pemain.
ADVERTISEMENT
Kami juga tidak tahu metode apa yang digunakan Ancelotti untuk menyelesaikan permusuhan di antara anak-anaknya itu. Mungkin dengan menyuruh mereka kerja bakti di Santiago Bernabeu atau membiarkan mereka menyeselesaikannya dalam adu jotos.
Yang jelas, permusuhan itu selesai. Casillas turun gunung, mengusahakan kemenangan, menanggung kekalahan, dan merayakan La Decima.
Barangkali hal-hal macam itu pulalah yang dilakukan Herrera kepada Sanchez. Di satu sisi, ia tahu bahwa kawannya yang satu itu memang menyebalkan. Bagaimana tidak menyebalkan? Bergaji setinggi langit, tapi minim kontribusi.
Namun, di sisi lain, Herrera tahu bahwa ini bukan keadaan yang diinginkan Sanchez. Apa yang dialami oleh temannya itu memang pelik. Entah beban seberat apa yang dipikul oleh kedua pundaknya.
ADVERTISEMENT
Serupa Ancelotti, mungkin Herrera akan mengajak Sanchez bicara. Barangkali, ia akan mengajak Sanchez ke tempat tersembunyi dan membiarkannya meluapkan segala unek-unek. Mungkin ia membiarkan Sanchez membanting apa pun yang ada di depannya.
Lantas, setelah seluruh kekesalan terluapkan, Herrera mengajar segala hal yang diketahuinya untuk tetap hidup sebagai pesepak bola.
***
Herrera mungkin tak akan pernah semenarik Pogba ataupun Rashford. Ia mungkin tak akan bergaji semahal Sanchez. Tapi, bertahun-tahun dari sekarang mungkin orang-orang akan menyadari ada yang janggal dari United. Bila itu yang terjadi, artinya Herrera sudah tak ada lagi di Old Trafford.